Valeria Sinclair, seorang pengacara berbakat dari London, terjebak dalam pernikahan kontrak dengan Alexander Remington—CEO tampan dan dingin yang hanya melihat pernikahan sebagai transaksi bisnis. Tanpa cinta, tanpa kasih sayang.
Namun, saat ambisi dan permainan kekuasaan mulai memanas, Valeria menyadari bahwa batas antara kepura-puraan dan kenyataan semakin kabur. Alexander yang dingin perlahan menunjukkan celah dalam sikapnya, tetapi bisakah Valeria bertahan saat pria itu terus menekan, mengendalikan, dan menyakiti perasaannya?
Ketika rahasia masa lalu dan intrik keluarga Alexander mulai terkuak, Valeria harus memilih—bertahan dalam permainan atau pergi sebelum hatinya hancur lebih dalam.
🔥 Sebuah kisah penuh ketegangan, gairah, dan perang hati di dunia penuh intrik kekuasaan. 🔥
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leona Night, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam Pertama yang Dingin
Valerie’s POV
Tamu tamu mengucapkan selamat pada suamiku (setidaknya itu istilah yang tepat bukan) atas pernikahan kami. Tak satupun dari mereka yang aku kenal. Satu satunya orang yang kukenal di ruangan ini, di pesta perkawinan ini, hanya Alex, itu pun tidak lebih dari seminggu. Aku sadar posisiku benar benar tidak menguntungkan.
Malam makin larut, satu persatu tamu pulang, hingga tinggalah paman Damian, aku dan Alex. Tiba tiba Alex memelukku dari belakang dan mencium pipi serta leherku dengan mesra. Aku terkejut dengan sikapnya tetapi berusaha tetap tenang, tidak canggung dan tiba tiba dia berbisik.
“Laksanakan tugasmu dengan baik, terutama di depan Paman Damian,”
Sontak aku paham apa yang dia maksud. Segera begitu dia menciumku lagi, aku pun meresponnya dan memberikan bibirku padanya. Kami lama berciuman, wajahnya menegang saat paman Damian mendekat.
“Hemmm aku rasa kalian sudah tidak sabar untuk segera menikmati malam pertama,” ujar Paman Damian
Alex pura pura terkejut dan kemudian berkata,” Ah Paman tahu saja. Aku memang segera ingin menggendong istriku dan menghabiskan malam bersamanya.”
Dan begitu selesai dia mengatakan itu, dia pun menggendongku dengan Bridal Style, dan pamit pada Paman Damian.
“Permisi paman, aku yakin paman memahami posisi kami,” ujarnya sambil berkedip nakal pada pamannya.
Aku memegang lehernya dan memandang wajahnya, yang tersenyum dengan bibir merah basahnya itu. Kudengar tak lama paman Damian pun berpamitan.
“Oke lah nikmati malam panjang kalian, aku akan kembali ke Hotel,” teriak nya.
Segera Alex membawaku ke kamar kami dan setelah itu meletakkanku diatas tempat tidur. Setelah itu aku merasakan perubahan yang amat luar biasa pada gestur tubuh dan wajahnya.
“Gantilah bajumu, dengan baju tidur. Di dekat kamar mandi sudah disediakan satu set untukmu. Lalu kau bisa istirahat,” ujarnya.
Aku bengong melihat perubahan sikap dan ekspresi wajahnya, dari hangat dan penuh kasih menjadi dingin dan acuh. Aku perhatikan dia menuang Red wine dalam gelas kristal di dekat kursi tangan yang ada di pojok ruangan. Lalu dia membuka jass nya, melepas dasi dan membuka kancing baju bagian atas.
“Malam ini kita akan tidur berdua, besok ketika kembali ke Paris, aku sudah menyiapkan kamar khusus terpisah. So Kamu tidak perlu khawatir,” ujarnya acuh.
Perlahan aku melangkah ke kamar mandi mengganti bajuku dan menghapus make up ku. Aku tidak tahu apakah aku harus menangis atau tertawa, atau biasa saja. Seandainya pun aku harus menangis, maka untuk apa air mata itu? Aku tidak bisa menjelaskannya pada diriku sendiri.
Baju tidur yang telah disiapkan untukku ternyata dari jenis Silk Nightgown yang tampak mahal. Sialnya karena ini baju tidur, pastilah aku tidak mengenakan Bra. Hatiku bergejolak, jika aku berjalan di depannya dan tidur bersamanya tanpa Bra, apakah semua akan baik baik saja? Oh God, ini sungguh gila.
Ketika aku keluar dari kamar mandi, kulihat dia sudah melepas bajunya, sehingga terlihatlah dadanya yang bidang dan berotot. Sepertinya dia gemar berolahraga. Bodynya sangat bagus dan aku yakin dia pasti impian banyak wanita.
Aku duduk di tepi tempat tidur, saat dia berjalan menuju jendela kastil yang terbuka, lalu melihat ke arah lautan lepas yang berkilau bagai perak ditimpa sinar Rembulan.
“Ehm jadi beginilah malam pertama kita?” tanyaku. Segera aku mengutuk diriku sendiri, mengapa menanyakan hal itu padanya.
“Ini hanya pernikahan Bisnis Valerie, Jangan berharap lebih. Jalankan saja semuanya sesuai Kontrak,” jawabnya datar, tanpa sedikitpun menoleh ke arahku.
Aku terdiam mendengar jawabannya. Meskipun aku tahu, bahwa kami hanya berpura pura, tetapi aku tidak pernah menyangka bahwa dia akan terasa begitu jauh, terlebih setelah segala peluk cium yang kami lakukan di depan banyak orang. Setidaknya aku berharap, dia bisa menganggapku sebagai teman. Oh God ada apa denganku? Mengapa aku jadi terbawa suasana?
Kamar tidur kami di Chateau ini sangatlah luas. Kamar ini bukan hanya satu ruangan yang terdiri dari tempat tidur, tetapi ada beberapa ruang di dalamnya. Diantaranya adalah Walking Closet, kamar mandi dan ruang baca. Nuansa antik dan kuno begitu kental terasa. Aku bisa menduga, bahwa Alex pasti berasal dari keluarga Aristokrat. Mungkin salah satu keluarga Bangsawan Perancis yang sangat kaya. Meskipun bahasa inggrisnya sangat bagus, tetapi bahasa Perancisnya terkesan sangat kental.
Dia masih saja duduk di sofa kecil dekat meja bar tempat dimana terdapat Red Wine yang tadi diminumnya. Tiba tiba dia berdiri dan mematikan lampu besar, menyisakan cahaya Purnama yang menerobos masuk ke kamar kami.
Aku berjalan mendekatinya dengan gaunku, entah pikiran sinting apa yang menguasaiku sehingga aku nekad mendekatinya dalam posisi tanpa Bra!
“Kau sebaiknya tidak bersikap begitu dingin padaku, Bukankah seharusnya kita terlihat sebagai pasangan?” tanyaku padanya
“Hemm ya, didepan banyak orang, tetapi dibalik pintu, saat kita hanya berdua, kita tetaplah dua orang asing yang tidak saling kenal maupun saling cinta,” balasnya tanpa perasaan.
Entah mengapa, tapi aku merasa kata katanya begitu menusuk dan terasa perih di hati. Aku merasa diriku hanya seperti angin lalu dan bukan istri, bahkan sekedar teman pun bukan. Namun entahlah setan apa yang merasuki ku, aku tidak begitu saja surut mendengar kata katanya yang mengiris bagai sembilu.
“Apakah kau takut berdekatan denganku? Kau takut berperilaku seperti suami istri yang sebenarnya? Takut bahwa sesuatu akan terjadi jika kita melakukannya?”
Aku melihat dalam gelap wajahnya menjadi tegang, rahangnya beradu seperti menahan sesuatu dengan keras. Ada kebisuan yang panjang dan dingin diantara kita. Lalu tiba tiba dia mengambil kemeja dan jas nya, mengenakannya, lalu mengucapkan kata kata yang sama menyakitkannya dengan yang tadi.
“Kau jangan memulai permainan apapun yang tidak ada dalam kontrak. Ingat ini hanyalah sebuah game yang akan berakhir dalam satu tahun ke depan. Kau sebaiknya mengenali batasanmu dan jangan bertindak berlebihan,”
Tiba tiba dia melangkah pergi menjauhiku.
“Mau kemana kau Alex?” tanyaku
“Kau tidurlah dengan nyenyak di ranjang itu, aku akan tidur di ruang baca,” ujarnya tanpa menoleh sedikitpun padaku.
Aku memandangnya berjalan meninggalkanku seorang diri dalam kamar tidur yang super mewah ini. Perlahan aku berjalani dan duduk kembali di tepi ranjang.
Saat inilah aku merasakan apa artinya kemewahan tanpa cinta. Aku heran, mengapa Alex bisa memainkan permainan ini dengan baik? Mungkinkah sepanjang hidupnya, hal inilah yang dia alami. Bergelimang kemewahan tanpa cinta?
Lalu aku ingat diriku sendiri. Sebenarnya apa yang Alex rasakan sama dengan apa yang aku rasakan. Aku pun tidak pernah dibesarkan dalam buaian orang tua. Aku lahir dan besar di sebuah panti asuhan yang ada di pelosok Inggris. Kondisiku bahkan lebih parah, selain yatim piatu, aku juga miskin. Hanyalah sebuah keberuntungan, aku bisa mendapatkan bea siswa dan menempuh pendidikan hukum lalu menjadi seorang lawyer.
Kuamati cincin bertahtakan berlian, yang tadi diberkati pendeta dan disematkan oleh Alex ke jari manisku. Lalu apa artinya cincin ini bagi dia? Perhiasan belaka? Atau mungkin sejenis Aksesoris panggung pelengkap sandiwara kami? Bagaimana juga dengan pemberkatan pernikahan yang kami terima tadi pagi? Apakah juga pura pura? No… itu jelas tidak mungkin.
Pernikahan ini sah secara agama dan hukum. Pemberkatan itu nyata, demikian juga dengan doa yang kami terima. Tidak ada yang palsu, semua nyata. Hati kamilah yang palsu. Hati kamilah yang menipu Tuhan. OH God, apa kata suster Clara jika beliau tahu aku melakukan semua ini, membohongi pastur, dan menerima pemberkatan nikah untuk sebuah kontrak perkawinan atas dasar uang!
Aku tertunduk malu pada diriku sendiri. Valeria, kau sudah menggadaikan dirimu untuk uang, Kau bantu orang kaya tolol ini untuk mendapatkan warisan. Sementara kau? Apa yang kau dapat Valeria? Kepalsuan? Ku pejamkan mata meratapi kebodohanku yang sempurna.
Namun batinku yang lain tiba tiba berteriak, kau melakukannya untuk bisa keluar dari lingkungan yang toksik, bos yang toksik, Ah yaaa lingkungan toksik itu.
Tetapi lihatlah aku sekarang ! Aku berada dalam sebuah lingkaran kepalsuan yang bukan hanya toksik tetapi lebih dari itu, situasi ini menggerogotiku dari dalam, lingkungan ini akan memakan jiwaku pelan pelan sehingga aku tidak bisa lagi membedakan antara khayalan dan realita.
Perlahan aku bangkit lagi dan berjalan menuju meja dimana Red Wine berada. Segera kutuang satu gelas penuh dan mencecapnya sambil menikmati cahaya rembulan sambil duduk di kursi tangan nan nyaman.
Ya..setidaknya aku tidak terlalu sial. Setidaknya malam pertamaku bisa kunikmati dengan memandang Bulan Purnama sambil mabuk dan menghabiskan satu botol penuh Red Wine mewah ini, demikian bisikku dalam hati.
Dan itu memang yang kulakukan. Satu gelas, dua gelas, dan entah berapa gelas kutenggak dengan santai sambil menatap rembulan yang lama lama tampak seperti wajah ibuku yang sedang tersenyum, persis seperti Foto yang diberikan suster Clara padaku.
Aku terus minum red wine itu sampai aku tidak tahu lagi dimana aku berada, dan sampai dunia tiba tiba berputar kencang dan membuatku memejamkan mata.
Seuntai pertanyaan tiba tiba melintas di alam sadarku yang sudah timbul tenggelam. Bagaimana aku bisa melalui perkawinan brengsek ini tanpa sakit hati? Mampukah aku untuk tidak merasakan perihnya? Entahlah, aku sendiri tidak punya jawaban pasti.
*******