Putri Regina Prayoga, gadis berusia 28 tahun yang hendak menyerahkan diri kepada sang kekasih yang telah di pacari nya selama 3 tahun belakangan ini, harus menelan pahitnya pengkhianatan.
Tepat di hari jadi mereka yang ke 3, Regina yang akan memberi kejutan kepada sang kekasih, justru mendapatkan kejutan yang lebih besar. Ia mendapati Alvino, sang kekasih, tengah bergelut dengan sekretarisnya di ruang tamu apartemen pria itu.
Membanting pintu dengan kasar, gadis itu berlari meninggalkan dua manusia yang tengah sibuk berbagi peluh. Hari masih sore, Regina memutuskan mengunjungi salah satu klub malam di pusat kota untuk menenangkan dirinya.
Dan, hidup Regina pun berubah dari sini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Five Vee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 30. Kita Kawin Lari.
Alisha masih terus mengamati dua orang di depannya. Hatinya terbakar cemburu, kala melihat William meminum sisa minuman dari Regina.
“Sudah?” Regina merebut kembali botol yang kini telah kosong dari tangan sang atasan.
“Percuma meminta 2 gelas, jika pada akhirnya minum langsung dari dalam botol.” Wanita itu kembali berbicara dengan mengangkat botol kosong itu.
“Kita pulang, Hon.” William berbicara dengan nada rendah. Sungguh hatinya kini sangat kesal karena Regina mengaku sebagai sekretaris bukan sebagai kekasih.
“Kita baru datang. Sebentar lagi. Bukannya kamu mengajak aku kesini untuk menghilangkan beban pikiran ku? Kenapa jadi menambahnya?”
Deg!!
William tersentak. Bagaimana Regina bisa tau tujuannya membawa wanita itu ikut dengannya? Pria itu pun membuang nafasnya kasar. Tangannya kemudian terangkat, memanggil pelayan untuk mendekat.
“Bawakan satu botol lagi.” Pelayan itu mengangguk dan undur diri.
“Ekhm.” Romi menginterupsi. Ia merasa William dan Regina sibuk dengan dunia mereka sendiri.
Kedua orang itu, menoleh ke arah Romi. Di tempat duduk mereka, memang suara musik tidak terlalu keras.
“Ada apa?” Tanya William. Pria itu menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa. Satu tangannya membentang di belakang punggung Regina.
“Sudah berapa lama kalian kenal? Hmm,, maksudku, sudah berapa lama Regina bekerja di SG?” Tanya Romi menatap bergantian William dan Regina.
“Aku sudah bekerja selama lima tahun. Tiga tahun menjadi pegawai administrasi, dan dua tahun terakhir menjadi sekretaris pak Antony.”
“Wah.. sudah kenal dengan pak Antony rupanya.” Ucap Romi sambil menganggukkan kepalanya.
“Ya, aku juga mengenal nyonya Aurel dan Willona.”
Alisha semakin merasa cemburu, mendengar perkataan Regina. Ternyata wanita itu sudah mengenal semua anggota keluarga Sanjaya.
“Al.. kamu ada apa? Kenapa dari tadi diam saja?” William bertanya kepada wanita yang duduk di sisi Romi.
“Hah? Tidak apa-apa, Will. Hanya sedikit pusing saja.”
“Apa kamu meminum alkohol?”
“Hanya yang berkadar rendah.”
William mengangguk. “Jangan terlalu banyak minum. Kamu bukan Regina yang kuat minum alkohol.”
Alis Alisha mengerenyit. Ia baru saja senang karena di perhatikan oleh William. Tetapi kenapa pada akhirnya harus di bandingkan dengan wanita itu.
“Apa sih, Will. Aku juga tidak terlalu pintar minum.” Regina merasa tidak enak hati. Melihat perubahan air muka teman William itu.
“Apa kamu sudah punya kekasih, Re?” Romi iseng memancing.
“Aku—.” Regina menjeda ucapannya, karena pelayan datang, dan meletakan sebotol anggur di depannya.
William meraih botol itu, kemudian membukanya. Ia menuangkan kedalam gelas yang tersedia di hadapannya dan Regina. Pria itu menunggu, jawaban apa yang akan keluar dari bibir yang sering membuatnya mabuk kepayang.
“Aku apa? Apa kamu sudah punya kekasih? Kalau belum, apa aku boleh daftar?” Tanya Romi terkekeh.
William membulatkan matanya mendengar ucapan Romi.
“Jangan macam-macam. She’s Mine.!” Ucap William dengan tegas.
“Santai, bro. Bukannya tadi Regina berkata jika dia sekretaris mu? So, you just her boss.”
‘Ya aku memang bosnya. Lebih tepatnya, Boss with Benefit.’
“Sudah jangan berdebat. Kenapa kalian memperdebatkan status Regina? Bukannya dia bebas menjalin hubungan dengan siapapun?” Alisha ikut bersuara. Hatinya semakin terbakar, kala dua sahabatnya memperebutkan Regina.
“Betul begitu kan, Regina?” Tanyanya ke arah Regina kemudian.
“Ah, i-iya.”
Ponsel Regina berdering dari dalam tas, wanita itu melihat siapa yang menghubunginya malam begini.
“Si rahwana.” Gerutu William yang ikut melihat ke arah benda pintar milik sekretarisnya.
“Biarkan saja.” Regina menyimpan kembali ponselnya.
Mereka kembali menikmati minuman, dan mengobrol. Hingga waktu menunjukkan pukul sebelas malam.
“Kita pulang.” William berucap, setelah mereka kehabisan topik pembahasan.
Regina menatap arloji di pergelangan tangannya. Wanita itu kemudian menganggukkan kepalanya tanda setuju.
“Ya. Sebaiknya begitu.”
“Apa kalian masih mau disini?” Tanya William kepada dua sahabatnya.
Romi dan Alisha saling menatap sejenak, mereka pun memutuskan ikut meninggalkan tempat hiburan malam itu.
Berjalan beriringan, dengan William dan Regina yang berada di belakang. Langkah Regina melemah, kala ia melintasi sofa di dekat lantai dansa.
Wanita itu teringat kembali saat pertama kali bertemu dengan William. Dia atas sofa itu, bahkan dengan berani, ia duduk di pangkuan pria yang baru saja ia temui.
“Ada apa, Hon?” Regina tak menjawab, ia hanya menunjuk dengan dagunya. Membuat William ikut melihat kesana.
Pria itu mencebikan bibirnya. Ia kemudian meraih pinggang sang sekretaris, membuatnya menempel dengannya.
“Apa kamu teringat sesuatu?”
Regina mengangguk. Pipinya mendadak panas. Ia merasakan tangan William telah berada di atas b*kongnya.
“Kita ulangi lagi sampai di apartemen.”
Karena merasa tak ada yang mengikuti mereka, Alisha memutar kepalanya, menoleh ke arah belakang, memastikan William benar pulang atau tidak.
Namun, seketika ia menyesal telah memutar kepalanya. Di belakang sana, William dan Regina terlihat sangat intim. Bahkan ia melihat bibir William yang kini berada di cerukan leher wanita itu. Romi ikut melihat ke belakang, pria itu tersenyum mengejek.
Beberapa kali ia sudah memperingati Alisha untuk membuang perasaannya kepada William. Dan sekarang, sakit hati wanita itu rasakan sendiri. Meski William tak memiliki kekasih, toh mereka juga akan sulit bersatu.
“Jangan di lihat, itu hanya akan membuat kamu semakin sakit.” Pria itu meraih jemari Alisha. Kemudian membawanya pergi dari tempat itu, meninggalkan William yang masih asyik mencumbu sang sekretaris.
*****
“Will.. pelan… mmhhh”
“Pelan? Seperti ini?” William memelankan laju si boy. Sangat pelan sehingga membuat Regina semakin frustrasi.
“Lebihhh cepat…”
Pria itu mencebik, ia kemudian membungkam bibir sang sekretaris yang dari tadi begitu banyak bicara.
“Ini bukan masa subur mu, kan?” Tanya William di sela goncangan yang ia berikan kepada tubuh sang sekretaris.
Regina hanya mampu menjawab dengan anggukan kepala. Melihat itu, William pun menekan semakin dalam. Dan boy pun muntah di dalam sana.
“Aku mencintaimu.”
Ucap William dengan nafas yang memburu. Tak lupa pria itu melabuhkan sebuah kecupan di atas kening Regina. Hal wajib yang ia lakukan sejak pertama kali merasai Regina.
Pria itu membalik posisi. Membuat Regina berada di atasnya, tanpa memisahkan boy dan girl.
“Kamu kenapa?” Tanya Regina di atas tubuh William. Dengan tenaga yang tersisa, ia menumpu tubuhnya dengan kedua siku, di atas dada William.
“Apa kamu marah karena aku mengobrol dengan pak Romi?” Tanyanya lagi. Ia ingin tau alasan pria itu marah di klub tadi.
“Bukan.”
“Lalu?”
William menghela nafasnya pelan, ia kemudian membenamkan kepala Regina pada cerukan lehernya.
“Aku kesal karena kamu mengaku sebagai sekretaris, bukan kekasihku.” Jawab William jujur, tangan kanan pria itu mengusap lembut kepala dan punggung sekretarisnya.
“Maafkan aku.”
Regina sendiri bimbang, meski ia sudah tidak menganggap hubungannya dengan Alvino, tetapi sekarang ada masalah baru, rencana perjodohan pak Antony.
“Will..”
“Hmm?”
“Apa kamu akan memperjuangkan aku? Maksudku, jika hubungan ku dan Alvino sudah berakhir, apa kamu akan memperjuangkan aku?”
Tangan William yang sedari tadi mengusap punggung Regina, tiba-tiba terhenti.
“Bukannya sudah jelas? Bukannya sudah sering aku mengatakannya? Apa masih belum yakin?” Regina menggeleng, ia yakin dengan William, tetapi bagaimana dengan keluarga pria itu? Mereka telah memiliki pilihan.
“Seandainya, jika orang tuamu, atau orang tuaku tidak merestui hubungan kita? Apa kamu akan tetap memperjuangkan aku?”
Regina mencari kalimat yang tepat, agar William tidak mencurigai sesuatu yang berkaitan dengan pak Antony.
“Tentu saja. Kita akan kawin lari. Lagi pula, aku sudah punya bisnis sendiri. Kamu tidak akan hidup susah nantinya.”
William kembali membalik posisi. Membuat Regina berada di bawahnya. Ia menatap lekat kedalam mata sang sekretaris.
“Jadi hal itu yang membebani pikiran mu? Mmm?”
Dan wanita itu menganggukkan kepalanya.
“Jangan memikirkan yang tidak-tidak. Lagi pula, tidak ada hal yang dapat menentang hubungan kita. Yang perlu kamu lakukan hanya memperjelas status hubungan kita. Setelah itu, aku akan mengatakan kepada keluarga ku, jika kita memiliki hubungan.” William kembali menekan boy, dibawah sana. Membuat Regina mengeluarkan suara khas pergulatan.
“Kamu percaya padaku?” Tanya William sekali lagi. Dan Regina hanya mampu mengangguk. Ia sudah tidak bisa berkata apapun selain mengeluarkan suara keramatnya. Karena boy sudah kembali bekerja di bawah sana.
.
.
.
Bersambung