Memiliki saudara kembar nyatanya membuat Kinara tetap mendapat perlakuan berbeda. Kedua orang tuanya hanya memprioritaskan Kinanti, sang kakak saja. Menuruti semua keinginan Kinanti. Berbeda dengan dirinya yang harus menuruti keinginan kedua orang tuanya. Termasuk menikah dengan seorang pria kaya raya.
Kinara sangat membenci semua yang terjadi. Namun, rasa bakti terhadap kedua orang tuanya membuat Kinara tidak mampu membenci mereka.
Setelah pernikahan paksa itu terjadi. Hidup Kinara berubah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rita Tatha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Kinara mengernyit heran. Permintaan apa lagi yang hendak diminta orang tuanya. Soal uang, bukankah ia sudah memberikan lebih dari cukup.
"Apalagi?" tanya Kinara.
"Ara ... bukankah kamu tahu kalau kakakmu masih kuliah. Harus menyelesaikan kuliah yang tinggal sebentar lagi. Jadi, mana mungkin dia mengurus anak," kata Mama Yayuk.
"Apa maksud kalian, aku harus mengurus anak Kak Kinan kalau sudah lahir nanti?" tebak Kinara.
"Ya. Kurang lebih seperti itu. Apalagi kamu sudah menikah, semua orang akan mengira kalau itu anak kamu. Jadi, tidak akan ada yang curiga kalau itu anak Kinan," kata Papa Soni begitu lancarnya. Tanpa merasa bersalah atau tidak enak hati.
Sementara Kinara menatap kedua orang tuanya secara bergantian. Tatapan yang penuh akan makna.
"Kenapa harus aku lagi? Kenapa tidak diurus kalian saja. Bukankah Kak Kinan adalah anak kesayangan kalian?" sarkas Kinara. Hatinya mulai muak dengan sikap kedua orang tuanya.
"Jika kita yang mengurus, pasti orang akan bertanya-tanya."
"Iya, Ara. Anggap saja ini balas budi karena kami sudah membesarkanmu. Bahkan, mama dulu mempertaruhkan nyawa untuk melahirkan kamu," ujar Mama Yayuk.
Tangan Kinara mengepal erat. Hingga kuku-kukunya memutih saking kuatnya. Wanita itu menahan gejolak di dalam dada yang terasa seperti hendak meledak.
"Apakah balas budi yang selama ini aku lakukan masih kurang? Aku sudah melakukan apa pun yang kalian minta bahkan sampai mengorbankan kebahagiaanku." Suara Kinara bergetar menahan tangis.
Sakit. Jika mengingat semua yang dilakukan oleh orang tuanya justru membuat hati Kinara berdenyut sakit.
"Tapi Ara ...."
"Ma, Pa. Sudah cukup. Selama ini aku bersabar dengan kalian. Aku tidak banyak menuntut meski kalian lebih memprioritaskan Kak Kinan. Bahkan, saat aku sakit kalian justru bersenang-senang dengan Kak Kinan. Apa kalian peduli padaku? Tidak! Bahkan, kalian tega menjualku kepada Tuan Rico agar bisa tetap menguliahkan Kak Kinan."
"Ara, bukan seperti itu. Bukankah kamu tahu kalau Kak Kinan adalah ...."
"Putri sulung yang akan meneruskan usaha Papa." Kinara menyela. "Hampir setiap hari Papa mengucapkan itu. Aku sudah hafal di luar kepala, Pa."
"Kamu sekarang mulai kurang ajar, ya. Apa karena kamu sudah menjadi istri orang kaya? Kalau tanpa kita, kamu bukan apa-apa." Papa Soni berbicara setengah membentak.
"Nyonya, Tuan menelepon, Anda harus ke kamar sekarang." Mbok Nah datang tiba-tiba.
Kinara pun bangkit. "Maaf, Pa, Ma. Aku harus ke kamar dulu."
Tanpa peduli pada mereka, Kinara memilih meninggalkan keduanya. Ia tahu, itu tidak sopan, tetapi Kinara juga khawatir tidak mampu mengendalikan diri dan justru akan semakin kurang ajar kepada orang tuanya.
Memang benar. Menjauh adalah jalan terbaik.
Setibanya di kamar, Kinara langsung memeluk guling dengan erat. Tidak peduli meski Mbok Nah menatapnya dari kejauhan. Wanita itu hendak mendekat, tetapi ia ragu.
Hening.
"Nyonya ... "
Mendengar ada yang memanggil, dengan segera Kinara bangkit dan duduk di tepi ranjang. Mbok Nah pun memberanikan diri duduk di samping majikannya.
"Mbok," panggil Kinara. Mengusap wajah untuk memastikan tidak ada air mata di sana. "Papa sama mama sudah pulang?"
"Sudah, Nyonya. Apakah Nyonya baik-baik saja?" tanya Mbok Nah hati-hati.
Kinara terdiam dalam waktu yang lama. Kedua matanya basah dan dengan segera wanita itu mengusap. Lalu mengulas senyum seolah semua baik saja. Namun, tidak dipungkiri bahwa tatapan mata Kinara tidak bisa membohongi keadaan.
"Nyonya, kalau ingin menangis. Lebih baik menangislah. Tidak ada siapa pun di sini selain saya." Mbok Nah mengusap punggung Kinara dengan lembut. Seolah memberi ketenangan. Bersamaan dengan itu, air mata Kinara perlahan turun.
"Mbok, bisakah Mbok Nah jangan bilang sama Mas Rico kalau saya menangis?" pinta Kinara penuh harap. Wanita paruh baya itu mengangguk cepat. "Mbok, memang apa yang harus dilakukan anak agar tidak punya hutang budi lagi kepada orang tuanya?"
"Nyonya ... sebenarnya tidak ada anak yang hutang budi kepada orang tuanya. Melahirkan, mengurus, membesarkan dan mencukupi semua kebutuhan anak adalah kewajiban orang tua. Bukan menjadi hutang budi," ujar Mbok Nah.
"Iya, Mbok. Tapi kenapa mama selalu bilang kalau saya masih memiliki hutang budi karena mama sudah melahirkan dan membesarkan saya. Padahal sudah banyak yang saya korbankan untuk mereka termasuk kebahagiaan saya sendiri." Kinara menghela napas panjang seiring air mata yang kembali lolos jatuh membasahi wajah.
Dengan cepat wanita itu mengusap. "Banyak impian yang harus saya pendam hanya demi anak kesayangan mereka. Bahkan, saya sudah berusaha berjuang dan berkorban, tapi tetap saja kurang. Saya dan Kak Kinan itu kembar, tapi kenapa kami sangat berbeda. Andai ... Saya jadi Kak Kinan mungkin ...."
"Nyonya, jangan berbicara seperti itu. Anda adalah anak yang luar biasa baik, tapi maaf ... orang tua Anda saja yang terlalu pilih kasih. Maka dari itu, lebih baik Anda jangan terlalu fokus pada orang tua Anda. Lebih baik Anda fokus pada keluarga kecil Anda yaitu Tuan Rico. Saya tahu, betapa Tuan Rico menyayangi Anda melebihi apa pun."
Kinara terdiam mendengar ucapan Mbok Nah. Mana mungkin Rico mencintainya melebihi apa pun. Sementara hubungan mereka hanyalah sebatas hitam di atas putih. Ketika Kinan sudah selesai kuliah nanti, maka pernikahan mereka pun akan berakhir. Itulah kenapa Kinara sangat berharap, tidak ada janin yang tumbuh di rahimnya.
Mungkin hubungannya dengan Rico kini membaik. Namun, ia tidak mau berharap lebih. Takutnya, harapan itu hanya akan menjadi rasa sakit yang tak kunjung usai. Apalagi Rico sudah memiliki Veronica yang sudah pasti lebih dari dirinya.
"Nyonya?"
Mbok Nah menyadarkan Kinara dari lamunan.
"I-iya, Mbok."
"Jangan terlalu banyak pikiran. Lebih baik sekarang Nyonya istirahat. Nanti jam makan siang, Tuan Rico akan pulang."
Kinara mengangguk cepat. Lalu membiarkan Mbok Nah untuk pergi. Setelahnya, ia hanya diam menatap langit kamar. Pikirannya melayang jauh. Membayangkan hal yang ia sendiri pun tidak tahu. Sungguh, Pikiran Kinara seperti orang bingung.
***
"Memang kamu mau ke mana?" tanya Pak Abas saat Rico datang ke rumah dan langsung meminta beliau untuk menggantikan pekerjaannya selama sebulan.
"Papa dan Mama 'kan tahu kalau selama menikah, aku dan Ara belum pernah berbulan madu. Selama ini aku selalu sibuk bekerja. Jadi, aku ingin mengajak Ara berbulan madu selama sebulan," kata Rico menjelaskan.
"Mama sangat setuju kalau seperti itu. Bagaimanapun juga, kami ingin segera menimang cucu." Ibu Ratmi sangat antusias. Wajahnya berbinar bahagia.
"Kalau itu yang menjadi alasannya. Maka papa bersedia menggantikanmu sementara waktu. Rico, kamu yang memilih sendiri Ara menjadi istrimu, jadi jangan sampai kamu menyakiti dia. Papa selalu memegang janjimu untuk tidak menyakiti Ara. Kalau sampai kamu menyakiti Ara, maka papa tidak akan tinggal diam." Pak Abas berbicara tegas.
jangan² nanti minta anak kakaknya diurus oleh ara kalau iya otw bakar rumahnya
kinara masih bisa sabar dan berbaik hati jangan kalian ngelunjak dan memanfaatkan kebaikan kinara jika gk bertaubat takut nya bom waktu kinara meledak dan itu akan hancurkan kalian berkeping" 😏😂