Anna tidak pernah membayangkan bahwa sebuah gaun pengantin akan menjadi awal dari kehancurannya. Di satu malam yang penuh badai, ia terjebak dalam situasi yang mustahil—kecelakaan yang membuatnya dituduh sebagai penabrak maut. Bukannya mendapat keadilan, ia justru dijerat sebagai "istri palsu" seorang pria kaya yang tak sadarkan diri di rumah sakit.
Antara berusaha menyelamatkan nyawanya sendiri dan bertahan dari tuduhan yang terus menghimpitnya, Anna mendapati dirinya kehilangan segalanya—uang, kebebasan, bahkan harga diri. Hujan yang turun malam itu seakan menjadi saksi bisu dari kesialan yang menimpanya.
Apakah benar takdir yang mempermainkannya? Ataukah ada seseorang yang sengaja menjebaknya? Satu hal yang pasti, gaun pengantin yang seharusnya melambangkan kebahagiaan kini malah membawa petaka yang tak berkesudahan.
Lalu, apakah Anna akan menemukan jalan keluar? Ataukah gaun ini akan terus menyeretnya ke dalam bencana yang lebih besar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eouny Jeje, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Godaan calon ipar
Susan diliputi amarah saat membaca pemberitaan terbaru tentang Ethan. Bukan dirinya yang disorot sebagai calon istri seorang miliarder, melainkan seorang wanita asing yang tiba-tiba menjadi pusat perhatian. Wanita itu—yang hanya berdiri di depan ruang operasi, memeluk gaun seolah meratapi nasib—kini menjadi trending topic.
Dan lebih menyakitkan lagi, media menyebutnya dengan berbagai tajuk romantis.
“Cinta Sejati di Ujung Kehidupan, Wanita Misterius Ini Tak Melepaskan Gaunnya Saat Menunggu Ethan.”
“Kesetiaan Seorang Wanita, Menangis di Depan Kamar Operasi Demi Sang Kekasih.”
“Siapa Wanita Ini? Sosok yang Berani Mengorbankan Segalanya untuk Ethan.”
Susan ingin tertawa pahit. Kesetiaan? Pengorbanan? Sejak kapan wanita itu memiliki hubungan dengan Ethan? Sejak kapan dia dianggap lebih berharga daripada dirinya—calon istri yang asli seharusnya mendapat semua sorotan?
Susan adalah yang Asli. Bukan si penabrak maut!
Tangannya mengepal. Ponsel di genggamannya hampir ia banting ke lantai. Dunia wartawan benar-benar tak tahu batas! Mereka dengan mudahnya menggiring opini publik, mengubah fakta, dan yang lebih parah lagi—mengabaikannya.
Susan seharusnya yang mendapat semua perhatian ini! Dialah calon istri Ethan, dialah wanita kaya yang diidamkan banyak orang. Tapi kini, ia justru terpinggirkan, tergantikan oleh seseorang yang bahkan tak dikenalnya.
Namun, ia tidak boleh panik. Sebagai wanita dengan status sosial tinggi, ia tidak boleh menunjukkan kecemburuan atau bereaksi berlebihan. Tidak boleh ada drama. Tidak boleh ada klarifikasi yang menunjukkan bahwa ia merasa tersaingi.
Karena sejujurnya, ada hal lain yang lebih menakutkan daripada berita ini.
Susan menarik napas panjang, mengingat perkataan dokter malam itu setelah operasi Ethan selesai.
"Kita sudah melakukan yang terbaik," ujar dokter dengan nada datar, tanpa ekspresi meyakinkan. "Operasi berjalan lancar, tapi sekarang kita hanya bisa menunggu bagaimana tubuhnya merespons."
Susan mengerutkan kening. “Maksud Anda?”
Dokter melepas sarung tangannya, lalu menatapnya dengan serius. "Cedera yang dialami cukup parah. Kami berhasil menstabilkan kondisinya, tapi…" Dokter menghela napas sebelum melanjutkan, "Kita tidak bisa memastikan apakah dia akan pulih sepenuhnya. Ada kemungkinan… efek jangka panjang."
Susan merasakan dadanya mencelos. "Efek seperti apa?"
Dokter ragu sejenak sebelum akhirnya berkata, "Kemungkinan gangguan motorik, kesulitan bergerak, atau bahkan ketidakmampuan berjalan. Tentu saja, ini masih dugaan, tapi risikonya ada."
Risiko? Itu hanya cara halus untuk mengatakan bahwa Ethan mungkin akan cacat.
Darah Susan berdesir. Pikirannya berputar liar.
Pria yang ia pertaruhkan sebagai suami masa depan… mungkin tak akan pernah sama lagi.
Ia menelan ludah. Apa yang akan terjadi jika Ethan benar-benar lumpuh? Hidup macam apa yang harus ia jalani?
Menjadi perawat bagi pria yang tak bisa berdiri tegap di sisinya? Menghabiskan hari-harinya bersama seseorang yang mungkin tak lagi bisa memenuhi kebutuhannya, baik secara fisik maupun emosional?
Tidak, itu bukan hidup yang ia inginkan.
Namun, sebelum ketakutan itu semakin dalam, pintu kamar mandi terbuka.
Edward muncul.
Pria yang selama ini selalu ada di sisinya, bolak-balik menemani ke rumah sakit, kini berdiri di hadapannya dalam kilasan waktu yang begitu menggoda. Susan menelan ludah. Dalam diam, ia menyadari sesuatu yang selama ini berusaha ia abaikan.
Bagaimana jika Ethan benar-benar kehilangan segalanya?
Siapa yang bisa menggantikannya?
Edward Ruan. Kakak tirinya. Laki-laki ambisius dengan tubuh kekar, yang kini berdiri hanya dengan sehelai handuk melilit pinggangnya.
Langkahnya tegap, rambutnya masih basah, dan bulir-bulir air menetes perlahan di dada bidangnya. Ia berjalan menuju meja rias tanpa menoleh, seolah tahu bahwa matanya telah menangkap perhatian Susan sepenuhnya.
Dan Susan sadar.
Jika Ethan tak lagi bisa menjadi suami yang layak… Maka Edward adalah penggantinya yang sah.
Edward kuat, sehat, dan—tidak seperti Ethan—tidak membawa kemungkinan cacat.
Bukankah itu lebih baik? Bukankah lebih masuk akal baginya untuk berpindah ke pria yang bisa menjamin masa depannya?
Susan, yang duduk di depan cermin, menatap pantulan pria itu dengan debaran yang berbeda. Ada sesuatu dalam tatapannya—sesuatu yang tak pernah ia rasakan saat melihat Ethan.
Hari ini, dunia mungkin masih melihatnya sebagai calon istri Ethan.
Tapi siapa tahu? Besok, mungkin ia akan menjadi sesuatu yang lain.
Edaward berjalan mendekat dan merangkul Susan dari belakang, jemarinya yang kekar melingkari leher jenjang wanita itu, membiarkan bibirnya menyentuh kulitnya yang lembut. Ia menikmati kehangatan tubuh wanita itu, seolah sudah menjadi miliknya sepenuhnya.
Kesempatan ini terlalu berharga untuk dilewatkan.
Sejak pulang dari rumah sakit, ia sengaja menawarkan diri untuk menumpang mandi di rumah Susan. Alasannya sederhana—sudah terlalu larut untuk kembali ke apartemennya. Tapi Edward tahu, ini lebih dari sekadar menumpang istirahat.
Ini adalah momen emas.
Momen yang sudah ia tunggu sejak lama.
Ia ingin mengambil segala sesuatu yang pernah dimiliki Ethan.
Di depan meja rias, Susan duduk dengan wajah sedikit muram. Gaun tidur satin tipis membungkus tubuhnya, memperlihatkan kulitnya yang nyaris bersinar di bawah cahaya lampu. Edward melangkah mendekat, lalu mencondongkan tubuhnya, bibirnya mengecup bahu telanjang wanita itu dengan perlahan.
Susan tersentak sedikit, tapi tidak menolak.
"Susan… kau begitu cantik dan indah," bisiknya penuh rayuan.
Susan tersenyum samar, tetapi dengan cepat ekspresinya berubah masam. “Cantik mana dibanding wanita itu?”
Edward mendengus pelan. Wanita itu.
Wanita yang seharusnya menjadi penjahat dalam cerita ini, justru dipuja seolah ia adalah dewi penyelamat.
Tajuk berita beberapa hari terakhir terus menghantuinya:
"Cinta dan Pengorbanan: Wanita Misterius yang Menanti di Depan Ruang Operasi."
"Dari Tragedi Menuju Takdir: Kisah Seorang Wanita dan Ethan yang Menyentuh Hati."
Susan mendengus kesal. Semua berita tentang wanita itu membuatnya ingin muntah.
"Aku muak dengan semua ini," geramnya. "Seharusnya akulah yang dipuja, bukan dia."
Edward tersenyum kecil, lalu menelusupkan wajahnya ke rambut Susan. Aroma wanita itu menyeruak, mengaduk keinginannya.
"Lalu biarkan aku yang memujamu, Susan." Suaranya dalam dan menggoda, mengalir seperti madu yang memabukkan. "Kau lebih dari sekadar wanita. Kau ratu yang seharusnya disembah."
Susan menelan ludah.
"Apakah aku lebih cantik darinya?" bisiknya, menuntut jawaban.
Edward terkekeh, lalu berjongkok di hadapan Susan, tangannya melingkar di pinggang ramping wanita itu. "Cantik? Kau lebih dari itu, Susan. Kau sempurna. Wanita itu hanyalah bayangan yang tak akan pernah bisa menyentuh singgasana yang seharusnya menjadi milikmu."
Susan tersenyum tipis, puas mendengar kata-kata itu. Namun, ada sesuatu yang mengusik pikirannya.
"Tapi aku ingat sesuatu," bisik Susan tajam. "Di penjara, kau menyentuh wajahnya dan berkata ‘kau cantik sekali’ kepadanya."
Ekspresi Edward sedikit berubah. Ia memang pernah mengatakan itu. Bukan tanpa alasan, tapi karena ia ingin melihat ekspresi Susan saat mendengarnya.
"Kau diam!" Susan memotong lamunannya, nadanya penuh kecemburuan.
Edward segera tersenyum, kembali memainkan perannya sebagai pria yang haus akan wanita di hadapannya. "Aku memujinya hanya untuk melihat reaksimu, Susan. Percayalah, dia hanya umpanku untuk menarik perhatianmu. Kau tahu, kan? Aku sudah lama tergila-gila padamu, tapi kau terus menghindar dan menginjak perasaanku."
Susan tersenyum kecil. Ia ingin percaya. Ia ingin dipuja.
Dan Edward tahu, malam ini ia telah menang.
Tanpa menunggu lebih lama, ia bangkit, lalu dengan mudah mengangkat tubuh langsing Susan dari kursinya.
"Apa yang ingin kau lakukan?" Susan berbisik, pura-pura takut.
Edward tersenyum licik. "Membantumu melupakan Ethan," jawabnya santai, lalu membaringkannya di atas ranjang besar milik wanita itu.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Fashion House bukan sama dengan Rumah Mode dalam bahasa?