Zyan, seorang agen yang sering mengemban misi rahasia negara. Namun misi terakhirnya gagal, dan menyebabkan kematian anggota timnya. Kegagalan misi membuat status dirinya dan sisa anggota timnya di non-aktifkan. Bukan hanya itu, mereka juga diburu dan dimusnahkan demi menutupi kebenaran.
Sebagai satu-satunya penyintas, Zyan diungsikan ke luar pulau, jauh dari Ibu Kota. Namun peristiwa naas kembali terjadi dan memaksa dirinya kembali terjun ke lapangan. Statusnya sebagai agen rahasia kembali diaktifkan. Bersama anggota baru, dia berusaha menguak misteri yang selama ini belum terpecahkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichageul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Activated
"Saya sudah bicara dengan Letjend Yudi. Beliau meminta masalah ini diselidiki sampai tuntas. Status kamu sudah diaktifkan kembali. Kamu sudah bisa mengakses semua data yang ada di basis data Bais. Kode asksesmu masih sama seperti yang dulu. Dalam dua hati ke depan, saya akan mengirimkan equipment untuk kepentingan penyelidikan. Erik juga akan membantumu."
"Terima kasih, Mayor. Tapi untuk Erik, biar dia tetap di sisi Mayor. Keselamatan Mayor juga dalam bahaya. Kalau mereka tahu saya masih hidup, mereka pasti tahu kalau Mayor yang ada di belakang saya. Soal anggota tim, sudah cukup Armin, Putra dan Hana yang membantuku. Saya juga punya additional member."
"Maksudmu tiga muridmu yang tingkahnya luar biasa?"
Terdengar tawa Zyan mendengar ucapan atasannya. Dia sama sekali tidak terkejut kalau Gantika tahu soal ketiga muridnya. Pasti Putra atau Hana yang melaporkan soal ketiga muridnya itu. Zyan memang berencana merekrut mereka dalam penyelidikan kali ini. Harus diakui ketiganya memiliki potensi yang baik dibalik tingkah mereka yang ajaib.
"Apa kamu yakin mau menjadikan mereka anggota timmu?"
"Yakin. Mereka memiliki potensi besar. Sayang kalau tidak diasah. Saya akan menggembleng mereka dengan baik. Selama setahun ini saya sudah mengamati mereka."
"Baiklah. Saya percaya dengan setiap keputusan yang kamu ambil. Dia hari lagi Erik akan datang mengantarkan equipment. Dan saya juga akan menambahkan satu anggota lagi untukmu."
"Baik, Mayor. Terima kasih."
"Hati-hati Zyan and stay A live. Saya tidak mau kehilangan anggota lagi."
"Siap, Mayor!"
Panggilan keduanya segera berakhir. Saat yang ditunggu oleh Zyan akhirnya tiba juga. Dengan diaktifkannya kembali statusnya, maka akan lebih leluasa baginya untuk bertindak. Dia juga mengakses data penting dari Bais. Dengan langkah panjang dia kembali ke tempat semula. Pria itu berhenti ketika melihat ketiga muridnya sedang berkumpul. Tangannya melambai memanggil ketiganya. Dengan cepat mereka menghampiri Zyan.
"Setelah ini, apa rencana kalian?"
"Masih belum tahu, Pak. Mungkin cari pekerjaan," jawab Agam.
"Saya juga," sambung Tina.
"Saya juga," pungkas Febri.
"Kenapa kamu mau bekerja? Bukankah orang tuamu lebih dari mampu untuk membiayai mu kuliah?" Zyan melihat pada Febri.
"Saya udah ngga mau menerima uang dari Papa saya lagi. Saya mau menghasilkan uang sendiri, jadi dia tidak bisa mengatur saya lagi."
Dipandanginya wajah Agam, Tina dan Febri bergantian. Mendengar penuturan ketiganya, Zyan semakin yakin mengajak mereka bergabung. Pria itu menggerakkan jari telunjuknya, meminta mereka mengikutinya. Keempatnya duduk di bawah pohon rindang.
"Saya mau menawari pekerjaan untuk kalian. Apa kalian berminat?"
"Pekerjaan apa, Pak?"
"Masih berkaitan dengan urusan pondok. Tapi selama bekerja kalian harus tinggal di pondok. Apa kalian tidak keberatan?"
"Ibu saya lagi kerja di luar Tanjung Harapan. Daripada tinggal sendiri di rumah, lebih baik saya tinggal di pondok," jawab Tina.
"Saya juga ngga masalah. Di mana saya tinggal bukan masalah, yang penting bisa menghasilkan uang," sambung Agam.
"Saya malah senang bisa keluar dari rumah. Toh setiap harinya Mama ngga ada di rumah. Sibuk dengan urusannya sendiri," lanjut Febri.
"Oke, kalau begitu tiga hari lagi kalian saya tunggu di pondok. Bawa barang-barang kalian seperlunya. Dan ini, anggap uang muka untuk kalian."
Zyan mengeluarkan tiga amplop dari saku celananya lalu memberikan pada ketiga muridnya. Agam segera membuka amplop tersebut, dia terbengong melihat di dalamnya terdapat uang yang jumlahnya lumayan banyak.
"Ini apa, Pak?"
"Sudah saya bilang, itu uang muka. Untuk bekal kamu mulai bekerja dan mungkin sebagian bisa kamu berikan untuk orang tuamu."
"Terima kasih, Pak."
Wajah Agam nampak sumringah. Pria itu tidak menyangka kalau Zyan akan memberinya uang muka lebih dulu sebelum dia tahu apa pekerjaan yang harus dilakukan. Sama seperti Agam, Tina dan Febri pun ikut merasa senang. Uang yang diterima Tina akan digunakan untuk membayar orang untuk mengurus rumahnya selama dirinya pergi. Sedangkan Febri, akan menggunakan uang itu untuk membeli beberapa spare part laptopnya.
"Tiga hari lagi saya tunggu di pondok."
"Siap, Pak!" kompak ketiganya.
Zyan menganggukkan kepalanya lalu meninggalkan mereka. Acara perpisahan akan segera selesai, Zyan bermaksud segera kembali ke pondok. Banyak yang harus dia persiapkan sebelum equipment yang dikirimkan Gantika tiba.
"Armin, ayo kita pulang."
"Cepat banget. Aku masih betah di sini."
"Ck.. ayo pulang. Kita banyak pekerjaan."
"Oke."
Dengan malas Armin bangun dari duduknya. Pria itu melihat dulu ke arah deretan kursi guru yang masih terisi sebagian. Salah seorang guru berhasil menarik perhatiannya. Namun belum sempat dia beraksi, Zyan sudah mengajaknya pulang.
"Abang mau pulang sekarang? Aku ikut," seru Nisa.
"Aku pulang dengan Armin."
"Dia pulang denganku. Aku juga akan pulang," sambar Husein.
Semuanya segera meninggalkan tempat acara. Nisa berjalan bersama Fatimah menuju parkiran di mana mobil yang dibawa Husein berada. Ketika mereka sampai, sebuah sedan berhenti di dekat mereka. Dari dalamnya keluar Anaya. Wanita itu langsung mendekati Nisa.
"Nisa.. kamu sudah melakukan kekerasan pada Barly. Apa kamu tidak takut kalau itu akan menghalangi sidang bandingmu? Kami akan mengajukan somasi untukmu."
"Apa kamu punya bukti? Apa kamu punya bukti kalau aku melakukan kekerasan pada Barly?" Nisa menanggapi dengan santai tuduhan Anaya.
"Kamu terlihat mendatangi kantor Barly dan setelah kamu pergi, dia ditemukan terbaring di lantai dan ada luka memar di tubuhnya."
"Aku memang datang ke sana, tapi apa ada bukti kalau aku melakukan kekerasan? Apa ada saksi? Aku mendatanginya untuk mengatakan kalau aku akan keluar dari rumahnya. Dan kalau kamu melihatku di rekaman cctv, mungkin kamu bisa melihat kalau wajahku penuh dengan memar. Justru Barly yang sudah melakukan kekerasan padaku. Kamu bisa tanyakan pada sekretaris Barly, aku bertemu dengannya."
"Apa kamu punya bukti kalau Barly yang melakukannya?"
"Tentu saja. Aku punya bukti kongkret. Bahkan aku sudah mengirimkan bukti itu pada mertuaku, ups.. maksudku mantan mertua."
Nampak Anaya sedikit terkejut mendengar ucapan Nisa. Dengan santai Nisa segera meninggalkan wanita itu, namun Anaya kembali menahannya. Melihat Anaya dan Nisa yang sedang bersitegang, Zyan pun mendekat.
"Demi kebaikanmu, aku peringatkan, batalkan keinginanmu untuk bercerai dengan Barly."
"Kenapa? Kamu takut akan kalah di persidangan?"
"Kamu tidak akan bisa bercerai dari Barly, aku akan pastikan itu."
"Dan aku akan pastikan akan bercerai darinya."
Anaya dan Nisa saling melemparkan tatapan tajam. Aura permusuhan jelas terlihat di antara keduanya. Zyan segera menginterupsi keduanya. Dia meminta Nisa untuk segera pergi. Sekarang giliran Zyan yang berhadapan dengan Anaya.
"Berhentilah mengintimidasi Nisa. Lakukan saja tugasmu sebagai pengacara Barly."
"Kalian sudah bermain-main dengan orang yang salah. Kalau Nisa bersedia mencabut gugatan bandingnya, aku akan pastikan pemberitaan tentang Amma akan berhenti. Tapi kalau tidak, jangan salahkan aku kalau kasus Amma akan terus berseliweran di media massa dan sosial."
"Lakukan apa yang mau kamu lakukan. Aku tidak takut. Aku beri satu nasehat untukmu, saat ini kamu masih berguna di mata mereka, jadi mereka masih memperlakukanmu dengan baik. Tapi kalau kamu sudah tidak berguna, kamu akan disingkirkan seperti sampah. Ngomong-ngomong soal sampah, teruslah lanjutkan hidupmu yang seperti sampah!"
Anaya berjalan mundur ketika Zyan melangkah maju ke arahnya. Mata Anaya menatap wajah Zyan lekat-lekat. Jika tompel di wajah Zyan disingkirkan, maka pria itu akan terlihat sempurna. Manik mata Zyan yang berwarna kecoklatan untuk sesaat berhasil menghipnotis Anaya. Jantungnya seketika berdetak kencang. Bukan karena sikap Zyan yang menakutkan tapi pesona pria itu sudah berhasil memikat hatinya.
Lamunan Anaya buyar ketika Zyan pergi meninggalkannya. Wanita itu masih tertegun di tempatnya. Matanya terus memandangi Zyan yang mulai menaiki tunggangannya kemudian berlalu dengan kereta besi tersebut. Anaya meraba dadanya, ada desiran aneh yang dirasakan olehnya. Wanita itu segera menyadarkan diri. Dia segera mencari keberadaan Barly, ada yang harus dia bahas berkaitan dengan sidang banding Nisa yang akan digelar empat hari lagi.
***
Selama dua hari terakhir Zyan dan Armin sibuk menata ruang bawah tanah. Area yang belum terpakai, disulap menjadi kamar tidur tambahan. Zyan sudah melengkapi kamar dengan kasur tingkat sebanyak dua buah dan lemari pakaian. Kemudian di area lain, dia juga sudah menyiapkan sebuah ruangan khusus untuk menyimpan persenjataan. Senjata pribadinya sudah tersusun rapih dan menunggu senjata yang dikirimkan oleh Gantika.
Tempat kerja Armin juga sudah disulap. Yang awalnya hanya terdapat empat buah layar saja, Zyan sudah menambahkan menjadi dua puluh layar. Semuanya digabungkan dan menjadi sebuah layar besar. Armin juga sudah melengkapi komputernya dengan perangkat yang lebih baik. Zyan meminta Armin menyiapkan dua buah kursi, karena nantinya pria itu akan dibantu oleh Febri.
Di dekat ruang persenjataan, Zyan menggunakan area yang tersisa untuk anggota timnya melatih stamina. Dia sudah melengkapi ruangan dengan beberapa peralatan fitnes, matras untuk latihan beladiri dan samsak. Zyan memandang puas hasil kerjanya selama dua hari belakangan ini. Dia sudah berhasil menyulap ruang bawah tanah sebagai base camp tempat dia dan anggota timnya berkumpul. Besok ketiga muridnya akan bergabung bersamanya. Selama menyiapkan ini semua, pria itu juga dibantu oleh Putra dan Hana.
"Putra, aku mau kamu melatih Agam secara khusus. Dan kamu, tolong latih Tina," Zyan melihat pada Hana.
"Oke."
"Armin,tugasmu melatih Febri. Dia sudah punya kemampuan, kamu hanya tinggal mengasahnya saja."
"Siap!"
Pembicaraan mereka terhenti ketika mendengar suara mobil berhenti. Ruangan bawah tanah ini memang memiliki jalan keluar lain yang langsung menuju jalan besar. Zyan segera keluar, nampak dua buah mobil box berhenti di depan pintu. Zyan segera membuka rolling door dan meminta kedua mobil tersebut untuk masuk ke dalam.
Setelah dua mobil itu masuk ke dalam garasi ruang bawah tanah, anak buah Erik segera membongkar equipment yang dibawa dari Jakarta. Armin, Putra dan Hana segera memeriksa barang yang dikirimkan. Erik turun dari mobil lalu mendekati Zyan.
"Erik.."
"Apa kabar Zyan? Apa kamu sudah siap bertugas lagi?"
Keduanya langsung berpelukan ala lelaki. Erik adalah rekan seangkatan Zyan. Keduanya selayang sama-sama berpangkat Kapten. Erik lebih banyak bertugas di dalam negeri, berbeda dengan Zyan yang lebih sering bertugas di luar negeri.
"Aku membawakan semua yang kamu butuhkan. Jika masih ada yang kurang, kamu bisa mengatakannya padaku."
"Terima kasih."
"Oh ya, aku juga membawa personil tambahan yang dijanjikan Mayor."
Tak lama setelah mengatakan itu, muncul seorang pria yang akan menjadi anggota tim Zyan.
"Yunan!"
***
Yunan masih hidup🙀