Akademi Valdris. Medan perang bagi calon jenderal, penasihat, dan penguasa.
Selene d’Aragon melangkah santai ke gerbang, hingga sekelompok murid menghadangnya.
"Kau pikir tempat ini untuk orang sepertimu?"
Selene tersenyum. Manis. Lalu tinjunya melayang. Satu tumbang, dua jatuh, jeritan kesakitan menggema.
Ia menepis debu, menatap gerbang Valdris dengan mata berkilat.
"Sudah lama... tempat ini belum berubah."
Lalu ia melangkah masuk. Jika Valdris masih sama, maka sekali lagi, ia akan menaklukkannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seojinni_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#12 - Gideon Membungkam, Selene Menghukum
"Hormat pada matahari Kekaisaran."
Gideon dan Isolde memberi hormat pada Kaisar Magnus. Meskipun mereka teman lama, mereka ada di aula istana sekarang, jadi mereka harus tetap sopan. Sudah bertahun-tahun sejak terakhir kali mereka bertemu, jadi ada sedikit rasa canggung saat mereka saling menyapa.
Namun, Kaisar Magnus malah turun dari kursinya dan berjalan mendekat. Dengan senyuman tulus, dia memeluk sahabatnya tanpa ada formalitas. Dia menyapa Gideon seperti teman lama.
"Gideon, kau akhirnya kembali."
Gideon tahu bahwa Magnus mungkin menyadari kecanggungannya, jadi dia hanya tertawa. Dia membalas pelukan temannya, dan mereka menyapa dengan lebih hangat.
Kehangatan yang mereka rasakan berbanding terbalik dengan perasaan para pejabat yang ada di sana. Faksi putra mahkota Lucian tersenyum puas. Sikap Kaisar yang langsung menyambut Gideon menunjukkan betapa besar penghargaan sang Kaisar terhadap dukungan temannya. Sikap Gideon yang kembali setelah bertemu Cassian secara halus menyatakan bahwa dia menghargai pertemanan mereka dan mendukung Lucian.
Faksi pangeran kedua merasa lebih khawatir, khususnya Ravion Belmont. Dia adalah pendukung setia Pangeran Kedua Ditrian.
Ravion tidak tahan lagi dan akhirnya berkata dengan nada penuh kesombongan, "Yang Mulia, Anda adalah matahari Kekaisaran, Kaisar negeri ini. Tidak pantas bagi Anda untuk begitu ramah kepada seorang sampah busuk."
Terjadi kegaduhan saat Ravion dengan terang-terangan menghina Gideon, yang baru saja tiba. Terlebih lagi, Kaisar Magnus bahkan sangat menghargai Gideon. Ini seperti menampar wajah sang Kaisar.
Namun, Gideon hanya meliriknya dengan malas. Dia sudah sangat lelah berurusan dengan intrik murahan seperti itu. Namun, dia masih harus menjaga harga dirinya, karena dia bukan hanya membawa dirinya sendiri, tetapi juga harga diri istrinya dan putrinya.
***
Langkah Gideon berat dan berwibawa. Dia berjalan perlahan mendekati Ravion. Seperti harimau yang turun gunung, setiap gerakannya membuat udara di aula terasa menekan. Mata Ravion membesar, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya, sementara para pejabat lain menahan napas, menunggu apa yang akan terjadi.
Dengan cepat, Ravion berdiri dan menjauh, lalu meraung. "Tuan Gideon, apa yang coba kau lakukan?" teriaknya.
Dia benar-benar ketakutan dengan sorot mata tajam Gideon, yang seolah-olah bisa membunuhnya dengan sekali cekik. Keringat bercucuran dari keningnya, tangannya mengepal, dan suaranya bergetar. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terdengar terbata-bata.
Semua orang di aula menahan tawa. Bukankah dia yang mencari masalah sendiri?
Gideon hanya tertawa ringan, "Ravion, kau punya nyali untuk berbicara, tapi tidak cukup keberanian untuk menanggung akibatnya. Apa kau ingin mencoba seberapa 'sampah' aku sebenarnya?"
Ravion terlihat ketakutan, sementara Kaisar Magnus hanya diam. Dia sungguh sial. Akhirnya sebuah tangan terulur, menarik lengan Gideon.
"Suamiku, jangan buang waktu untuk hal sia-sia."
Mereka datang dengan tujuan lain. Jadi sangat tidak berguna jika mereka harus mengurusi pria membosankan seperti itu.
Gideon menghela napas, "Ya, kau benar. Orang yang bahkan tidak bisa membela dirinya sendiri, tidak pantas untuk dilawan."
Semua orang di aula akhirnya memiliki pandangan lain terhadap Gideon. Selama ini, mereka hanya tahu bahwa Gideon adalah tangan kanan Selene Everhart yang dikenal dengan julukan 'tangan besi'. Dia tidak banyak bicara dan lebih cenderung diam. Dia cukup kuat, namun sering kali tertutupi oleh bayangan Selene. Tapi kini, mereka melihat siapa sebenarnya 'tangan besi' itu. Gideon tidak bisa dianggap remeh.
Saat semua orang tenggelam dalam pemikiran masing-masing, Selene yang menguping dari balik pintu aula tersenyum.
Akhirnya, pria ini bisa membuat momentum untuk dirinya sendiri. Dia sangat bangga padanya. Awalnya Selene hanya ingin tahu bagaimana reaksi orang-orang ketika mereka kembali, lalu dia menikmati setiap adegan di aula dengan perasaan campur aduk. Melihat dua sahabatnya akhirnya bertemu, dia tidak bisa menutupi rasa rindu. Dia juga ingin bergabung dengan mereka.
Dan saat pria Ravion itu menghina Gideon, dia menantikan bagaimana temannya akan membalasnya. Pembalasan Gideon cukup memuaskan. Yah, tidak semua hal harus diselesaikan dengan otot. Jika kata-kata bisa menusuk lebih dalam, lebih baik begitu, bukan?
***
Dia melirik ke dalam aula sekali lagi, memastikan bahwa Gideon dan Isolde baik-baik saja. Melihat mereka masih dalam diskusi politik yang membosankan, dia memutuskan untuk mencari hiburan sendiri. Lagipula, tidak ada gunanya berlama-lama menguping di ruangan penuh pria tua yang hanya tahu berdebat.
Dia berjalan-jalan di sekitar taman istana. Bunga-bunga bermekaran di sepanjang taman. Warna merah, kuning, merah muda, ungu, dan putih berpadu menjadi satu, menciptakan suasana yang harmonis dan cantik. Karena sekarang musim semi, semua tanaman sedang dalam masa terbaiknya, dan aroma taman menjadi semakin harum.
Selene menyukai suasana ini, setidaknya sampai dia mendengar suara mengejek dari seberang taman.
"Hey, kau! Gadis miskin mana yang berani-beraninya masuk ke taman istana?"
Selene sedikit mengernyit. Telinganya cukup terganggu oleh kata-kata itu. Dia berbalik dan menemukan seorang bocah puber berpakaian mencolok. Rambutnya berwarna oranye, sangat mencolok di bawah terik matahari. Dasi kupu-kupunya juga sangat norak.
Selene menatapnya tajam. "Kau berbicara padaku?" katanya dengan suara datar.
"Tentu saja. Pada siapa lagi? Kau, gadis miskin yang bermimpi jadi Cinderella."
Pria itu menunjuknya dengan jari telunjuk. Selene merasa pria kecil ini akrab. Di mana dia pernah melihatnya sebelumnya?
Melihat Selene yang tidak merespon, pria kecil itu merasa diabaikan dan amarahnya memuncak. Dengan menggertakkan giginya, kakinya menghentak lantai dan memberi perintah pada pengawal pribadinya.
"Seret dia untukku. Lucuti pakaian-nya dan gantung dia di gerbang taman."
Pria kecil itu terlihat sangat marah, matanya memerah, dan kebencian seolah menguasainya.
Selene hanya terkikik. "Astaga... bisakah kau ulangi? Kau ingin menyeretku? Ingin melucuti pakaianku? Ingin menggantungku di gerbang istana?"
"Ahahahaha... Ini lucu sekali, sungguh!" Selene tertawa terbahak-bahak.
"Pria kecil! Apa ayahmu tidak mengajarkanmu tata krama?"
Saat menyebut ayah, Selene teringat mengapa pria kecil ini begitu akrab. Melihat dari rambutnya, dia tahu bocah ini adalah anak dari pria brengsek yang ada di aula—sebuah pasangan yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
"Bagus sekali. Mangsa pertama datang sendiri." Ucap Selene.
"Mari kita lihat apakah pengawalmu cukup mampu seperti omong kosongmu itu."
Ini bukan salahnya. Bocah ini yang memberikan dirinya pada Selene. Jadi, dia akan menjamunya dengan sepenuh hati.
"Tunggu apa lagi! Cepat seret gadis murahan itu!" teriak bocah laki-laki itu pada pengawalnya.
Para pengawal itu awalnya enggan, namun mereka harus mengikuti perintah tuannya. Dengan enggan, mereka mulai mengerumuni Selene.
Selene hanya menyeringai jahat, dan mulai menghitung. "Satu, dua, tiga, empat, lima..."
"Oh, ada tujuh pengawal? Kau pasti kaya, nak."
Dia berjalan maju dengan santai, membuka kancing lengan bajunya, dan menggulungnya setengah tangan. Kemudian, ia mengikat rambutnya dengan santai, membentuk ponytail.
"Nah, mari kita mulai..."