Apa jadinya jika seorang gadis remaja berusia 16 tahun, dikenal sebagai anak yang bar-bar dan pemberontak terpaksa di kirim ke pesantren oleh orang tuanya?
Perjalanan gadis itu bukanlah proses yang mudah, tapi apakah pesantren akan mengubahnya selamanya?
Atau, akankah ada banyak hal lain yang ikut mengubahnya? Atau ia tetap memilih kembali ke kehidupan lamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora.playgame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 8 - Kafilah Cinta
~💠💠💠~
Matahari pagi bersinar cerah, tapi bagi Miska, hari ini terasa lebih suram dari biasanya.
Di depan rumah, sebuah mobil sudah dipanaskan oleh sopir keluarga, dan siap untuk mengantar mereka ke pondok pesantren. Koper besar berwarna hitam milik Miska pun sudah dimasukkan ke dalam bagasi.
Sementara itu di ruang tamu, Miska berdiri dengan wajah datar, mengenakan kaos lengan panjang dan celana longgar yang masih jauh dari kata "syar'i" menurut standar keluarganya.
Tidak lama kemudian, Umi Farida muncul dari dapur sambil membawa bekal kecil untuk perjalanan. "Miska, yuk, sudah siap?," tanyanya dengan suara yang lembut.
Miska pun hanya mengangguk kecil tanpa berkata apa-apa.
Adapun Abi Rasyid, ia meraih ponselnya dari meja, lalu menatap putrinya dengan mata penuh harapan. "Ayo, Nak. Kita berangkat."
Tanpa menjawab, Miska pun melangkah keluar rumah dan langsung menuju mobil tanpa berpamitan dengan siapa pun.
Di dalam mobil, perjalanan terasa begitu panjang. Miska duduk di kursi belakang dan sibuk memainkan ponselnya tanpa peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya.
Tangannya dengan cepat menggulir layar sambil membaca chat terakhir dari teman-temannya.
"Mis, lo udah jalan? Hati-hati yaaa. Jangan lupa kabarin kalau udah sampai."
"Jangan nangis di hari pertama. Jaga nama baik geng kita di sana. HAHAHA."
Miska mendengus kecil, lalu mengetik balasan.
"Dasar norak. Oke, bakal gua kabarin," balas Miska.
Namun, saat ia hendak mengirim pesan lewat voice note, tiba-tiba suara Abi Rasyid terdengar dari depan.
"Miska."
Miska mengangkat wajahnya lalu menurunkan ponselnya. "Apa?."
"Sudah siap?"
Miska menatap ayahnya melalui kaca spion dalam mobil lalu menjawab, "Siap atau nggak, aku tetap harus ke sana, kan?," jawabnya datar.
Umi Farida pun menoleh ke belakang dan menatap Miska dengan sorot mata yang penuh kelembutan. "Nak, ini bukan hukuman. Ini kesempatan buat kamu belajar lebih banyak, mengenal agama lebih dalam, dan…"
"Dan jadi anak yang lebih baik, kan?," potongnya cepat sambil mendengus.
"Bukan cuma lebih baik, tapi lebih tenang, lebih bahagia," tambah Abi Rasyid.
"Bahagia? Umi dan Abi pikir aku bakal bahagia di sana?," balas Miska seraya tersenyum sinis.
"Mungkin nggak sekarang. Tapi siapa tahu nanti?," timpal Umi Farida sambil tetap tersenyum.
Lalu, Miska kembali fokus pada ponselnya dan mengabaikan pembicaraan itu. Namun, jauh di dalam hatinya, ada perasaan berat yang ia sendiri tidak bisa jelaskan.
Setelah beberapa jam perjalanan, akhirnya mereka tiba di gerbang pondok pesantren.
Bangunan besar dengan pagar tinggi berdiri kokoh di hadapan mereka. Di dalamnya, terlihat beberapa santri berjalan dengan gamis dan jilbab panjang. Beberapa santri laki-laki juga tampak berkelompok dengan mengenakan peci putih.
Miska menelan ludahnya dengan susah payah lalu bergumam, "Welcome to hell."
Abi Rasyid dan Umi Farida turun lebih dulu. Lalu, Umi Farida membuka pintu belakang dan mengajak Miska, "Ayo, Nak. Kita masuk."
Dalam beberapa detik, Miska hanya diam dan menatap gerbang besar itu. Kemudian, dengan langkah berat, ia akhirnya turun dari mobil, dan menjejakkan kaki ke dunia baru yang tidak pernah ia inginkan.
**
Langkah Miska terasa berat saat melewati gerbang pondok pesantren. Bangunan besar dengan pagar tinggi itu seakan menelannya bulat-bulat.
Udara di sini terasa berbeda menurutnya Terlalu tenang, terlalu rapi, terlalu… asing.
Saat memutar pandangan ke sekitar halaman luas, ia melihat para santri perempuan berseragam gamis longgar dan jilbab lebar sedang berjalan dengan langkah santai.
Beberapa dari mereka bercengkerama dengan wajah yang berseri, seolah tidak ada beban dalam hidup mereka.
Meski pemandangan disana akan membuat takjub semua orang yang melihat, tapi baginya, tempat ini bukan surga seperti yang digambarkan orang tuanya. Ini lebih seperti penjara.
Kemudian, Abi Rasyid dan Umi Farida berjalan di sampingnya dengan membawa koper dan tasnya menuju sebuah gedung administrasi.
Saat tiba, mereka langsung disambut oleh seorang ustazah berusia sekitar empat puluhan, dengan wajah teduh dan senyum yang ramah.
"Assalamu’alaikum, Pak Rasyid, Bu Farida. Ini ananda Miska, ya?," sapanya dengan lembut dan sopan.
"Wa’alaikumussalam, Ustazah. Iya, ini putri kami," jawab Abi Rasyid seraya mengangguk.
Sementara itu Miska hanya menunduk dan enggan menatap siapa pun.
"Alhamdulillah. Selamat datang, Miska. Semoga betah di sini, ya," balas bu Ustadzah tadi.
Tapi Miska hanya tersenyum kecut dan jelas tidak berniat menjawab.
Melihat sikap kurang baik Miska, Umi Farida pun mengelus punggungnya pelan, mencoba memberikan ketenangan bagi putrinya seakan mengerti perasaannya. "Nak, ayo, kita masuk dulu ke dalam."
Dengan langkah setengah terseret, Miska hanya mengikuti orang tuanya masuk ke ruangan administrasi.
Di dalam ruangan itu, suhunya terasa dingin karena AC yang menyala. Beberapa santri baru lainnya juga sedang mengurus pendaftaran mereka, ditemani keluarga masing-masing.
Setelah proses administrasi selesai, seorang santri senior datang menghampiri mereka.
"Assalamu’alaikum, Umi, Abi. Saya Nadira, kakak pendamping santri baru. Saya akan menemani Miska ke asrama dan mengenalkan lingkungan di sini," ucap santri senior tersebut.
Miska pun mengangkat wajahnya dan menatap Nadira dengan malas. Kakak kelasnya itu terlihat begitu bersahaja dengan gamis biru tua dan jilbab syar’i yang menjuntai sampai perut.
"Silakan, Kak Nadira. Tolong bimbing anak kami," kata Abi Rasyid sambil tersenyum.
Nadira pun mengangguk ramah dan menjawab, "InsyaAllah. Ayo, Miska, aku antar ke asramamu."
Miska pun menoleh ke Umi Farida dan Abi Rasyid lalu bertanya, "Udah selesai? Kalian mau pulang sekarang?." Suara Miska kali ini lebih terdengar sebagai harapan daripada pertanyaan.
Umi Farida pun tersenyum sedih, lalu mengusap pipi putrinya. "Umi dan Abi nggak akan pergi sebelum yakin kamu sudah nyaman di sini."
"Gak perlu. Aku udah gede. Bisa sendiri," jawab Miska sambil menghela napas.
"Kami cuma ingin kamu bahagia, Nak," kata Abi Rasyid seraya menatap putrinya dalam-dalam.
"Kalau aku bahagia, aku gak akan ada di sini," jawab Miska ketus.
Suasana pun menjadi canggung sejenak, tapi Nadira dengan tenang berkata, "Yuk, Miska. Aku tunjukin kamarmu."
Miska akhirnya menyerah dan mengikuti Nadira keluar ruangan, meninggalkan kedua orang tuanya yang masih berdiri di tempat.
"Abi... Apa Miska akan baik-baik saja?," tanya Umi Farida khawatir.
"Insyaallah..."
BERSAMBUNG...