NovelToon NovelToon
Azizah Dikira Miskin

Azizah Dikira Miskin

Status: sedang berlangsung
Genre:Penyesalan Suami / Ibu Mertua Kejam
Popularitas:18.3k
Nilai: 5
Nama Author: SOPYAN KAMALGrab

Azizah pura pura miskin demi dapat cinta sejati namun yang terjadi dia malah mendapatkan penghinaan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 5 setelah azizah tidak ada

Raka melangkah pelan menuju gerbang rumah setelah pulang dari kantor. Biasanya, saat mobilnya baru saja memasuki halaman, dia sudah melihat sosok Azizah berdiri di depan pintu, tersenyum menyambut kedatangannya dengan senyum manis. Namun, sore itu, tidak ada siapapun di sana. Hanya angin yang menggerakkan daun-daun pohon yang melambai pelan.

Raka menghentikan mobilnya, menatap halaman kosong, dan mulutnya sedikit menggumam. “Kemana dia? Tumben nggak ada…”

Dia merasa ada yang berbeda. Biasanya, setiap kali jam makan tiba, ponselnya sudah berdering dengan nama Azizah yang muncul di layar. Seperti sebuah rutinitas yang tak pernah terlewatkan, dia selalu menerima pesan-pesan singkat yang kadang membuatnya tersenyum, kadang membuatnya merasa sedikit jengkel. “Udah makan belum?” “Pulang jam berapa?” “Lembur nggak?” “Jangan lupa shalat, ya,” dan ribuan perhatian kecil lainnya yang sering kali membuat hatinya merasa hangat, meski kadang terkesan berlebihan.

Tapi sore ini, ponselnya tetap diam. Tidak ada pesan, tidak ada telepon. Semuanya terasa sepi. Hatinya sedikit tercuri oleh rasa heran. Biasanya, Azizah selalu ada di sana, mengingatkan hal-hal kecil yang kadang dia anggap remeh. Dan sekarang? Tidak ada apa-apa.

Raka menghela napas dan melihat layar ponselnya, masih kosong. Ia ingin menghubungi Azizah, ingin bertanya apa yang terjadi, tapi ada sesuatu yang menghalanginya. Sebuah rasa gengsi yang mengendap di dadanya. Masa iya, sekarang dia yang harus menghubungi istrinya terlebih dahulu? Setelah segala pencapaian yang sudah diraihnya, seharusnya dia tidak perlu menunjukkan kerentanannya seperti itu. Bukankah itu tugasnya untuk yang selalu menghubunginya dulu?

Dia menatap layar ponselnya, ragu. Gengsi dan ego sedikit mendominasi pikirannya. Ya, seicik itulah pikirannya saat itu, terselubung dengan kebanggaan dan sedikit kesal.

Sampai depan pintu rumah pun ternyata tidak ada azizah menghampirinya, biasanya aziza membawaka tasnya, membukakan sepatunya dan mencium tangannya, itu adalah kebiasaan azizah, yang sore ini hilang,

“Azizahhhhhh!”

Teriakan Raka menggema di halaman rumah. Tidak ada jawaban. Rumah terasa sunyi, terlalu sunyi.

“Azizahhhhhh!”

Nada suaranya naik, penuh kegelisahan.

Suara langkah tergesa terdengar dari dalam rumah, lalu muncullah Sumarni dari ruang tengah, wajahnya masam dan terganggu. “Ada apa sih, Raka? Ribut-ribut!”

Raka menatap ibunya tajam. “Azizah ke mana, Bu?”

Sumarni terdiam sesaat. Raut wajahnya berusaha tetap tenang, tapi sorot matanya menyiratkan kebingungan. Dia sendiri tidak tahu ke mana Azizah pergi. Saat bangun tidur tadi, menantunya itu sudah tidak ada di rumah.

“Azizah ke mana, Bu?”desak Raka lagi, suaranya lebih tegas.

Sumarni mendengus pelan, lalu mengangkat bahu. “Mana Ibu tahu? Pergi ngelayap kali. Ibu bangun tidur, dia udah nggak ada.”

Jawaban itu tidak memuaskan Raka. Hatinya menolak mempercayai begitu saja. Azizah bukan tipe orang yang pergi tanpa alasan, apalagi dalam keadaan hamil besar.

“Nggak mungkin, Bu! Azizah nggak mungkin pergi begitu saja. Dia hamil! Dia bukan orang yang suka keluyuran nggak jelas.”

“Ya udah, santai aja. Sebentar lagi juga dia pulang.”Sumarni mengibaskan tangannya, seolah menganggap hilangnya Azizah bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan.

Raka menatap ibunya lekat-lekat, menduga ada sesuatu yang disembunyikan. Hatinya mulai gelisah, mencium sesuatu yang tidak beres. “Ibu nggak ngapa-ngapain Azizah, kan?”

Sebuah pertanyaan terlambat. Pertanyaan bodoh yang seharusnya sudah dia tanyakan sejak lama.

Sumarni menatap Raka dengan wajah pura-pura tersinggung. Lalu, dengan suara penuh kepura-puraan, dia mulai berbicara. “Tadi, dia nuduh Ibu ngabisin duit kamu.”

Raka mengernyit. “Apa?”

“Iya! Terus dia juga bilang kamu terlalu berpihak ke Ibu. Aku dan Sari nggak terima dituduh begitu, makanya kami bentak dia. Eh, dia malah lari ke kamar. Setelah itu Sari pergi, dan Ibu tidur. Pas bangun, ya dia udah nggak ada.”

Ada jeda beberapa detik sebelum Raka merespons. Kata-kata ibunya bergema di kepalanya, tapi ada sesuatu yang terasa janggal. Azizah memang sensitif akhir-akhir ini, tapi dia bukan orang yang suka menuduh tanpa alasan. Dan kenapa Azizah tidak menghubunginya sama sekali?

Matanya menyipit, menatap ibunya dengan keraguan yang mulai menguat. “Ibu yakin itu yang sebenarnya terjadi?”

Sumarni tersenyum tipis. Senyum yang terasa palsu. “Ya kalau nggak percaya, tanya aja sama Sari.”

Raka mengepalkan tangannya. Dadanya terasa sesak. Ada sesuatu yang salah. Sesuatu yang tidak bisa dia abaikan begitu saja.

Raka melangkah masuk ke dalam kamar. Sepi. Sunyi. Hampa.

Tidak ada tangan lembut yang membukakan kancing bajunya seperti biasa. Tidak ada segelas air hangat yang telah disiapkan untuknya mandi. Tidak ada baju yang tersusun rapi di tempat tidur. Tidak ada sandal yang tersusun di depan kamar mandi. Tidak ada suara lembut yang menanyakan bagaimana harinya.

Hanya ada kesunyian yang terasa menyesakkan.

Raka duduk di tepi tempat tidur. Matanya menatap kosong ke sekeliling ruangan. Semua tampak sama, tapi terasa berbeda. Ada sesuatu yang hilang—atau lebih tepatnya, seseorang. Hal-hal kecil yang selama ini ia anggap remeh, kini meninggalkan lubang besar dalam hatinya. Azizah.

Betapa seringnya ia menyepelekan setiap perhatian kecil yang diberikan istrinya. Menganggapnya tidak penting. Ia bahkan sering mencemooh betapa berlebihannya Azizah dalam mengurus rumah tangga, betapa bodohnya wanita itu karena terlalu sibuk melayani suaminya.

"Wanita yang hanya di rumah itu tidak punya masa depan,"begitu pikirnya dulu.

Ia pernah membanding-bandingkan Azizah dengan perempuan karier. Baginya, wanita mandiri yang bekerja dan punya banyak pencapaian adalah sosok ideal. Sedangkan Azizah? Ia hanya seorang istri yang diam di rumah, mengurus suami, memasak, membersihkan rumah—pekerjaan yang bagi Raka terasa hina dan tidak berarti.

Bukan hanya dia, ibunya dan Sari pun kerap mengolok-olok Azizah. Menyebutnya kampungan. Menganggapnya bodoh karena terlalu tunduk pada suami.

Tapi sore ini, wanita yang selama ini mereka rendahkan itu menghilang.

Dan Raka... merasa kosong.

“Azizah... di mana kamu?”gumamnya, nyaris berbisik.

Dadanya terasa panas. Tangannya mengepal. Napasnya memburu.

“Awas saja kalau aku menemukanmu! Akan kupukul kamu! Harus kuberi pelajaran keras supaya kamu tahu bahwa menuruti suami itu kewajiban!”suaranya rendah tapi penuh kemarahan.

Ia berdiri, berjalan mondar-mandir di kamar. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena cemas, melainkan karena amarah yang tak bisa ia kendalikan.

“Azizah, kalau sampai terjadi sesuatu dengan anakku... Akan kusiksa kamu!”

Anaknya?

Raka terdiam. Kata-kata yang baru saja ia ucapkan bergema di kepalanya.

Sejak kapan ia benar-benar peduli pada anak itu?

Selama ini, kehamilan Azizah justru membuatnya ilfil. Ia tidak pernah benar-benar tertarik membahasnya. Setiap kali Azizah bercerita tentang tendangan kecil dalam perutnya, ia hanya mengangguk tanpa minat. Setiap kali Azizah meminta bantuan, ia selalu merasa malas.

Tapi sekarang, ketika wanita itu pergi, baru ia merasa kehilangan. Baru ia bersikap seolah peduli.

Raka terbangun. Kepalanya terasa berat, seolah baru saja ditindih batu. Matanya melirik jam di dinding. Pukul 9 malam.

Ia mengusap wajahnya, lalu turun dari tempat tidur. Tubuhnya masih terasa lelah, tapi rasa lapar dan kebiasaannya mencari kopi mendorongnya melangkah keluar kamar.

Begitu tiba di ruang makan, ia duduk dan bersandar di kursi dengan malas. Pandangannya menyapu meja yang kosong. Tidak ada secangkir kopi di sana.

Kerutan muncul di dahinya. Napasnya sedikit tidak sabar.

“Izahhhhhh! Mana kopiku?!”teriaknya lantang.

Sumarni yang sedang duduk di ruang tengah mendengus kesal. Ia bangkit, berjalan ke arah putranya dengan wajah jengah. “Kenapa sih kamu teriak-teriak terus, Raka?” tanyanya tajam.

Raka menoleh, wajahnya masih terlihat malas. “Ini kopi aku belum dibuat.”

Sumarni menyilangkan tangan di dadanya, menatap Raka seolah dia idiot. “Emang Azizah udah pulang?”

Deg!

Kepala Raka terasa seperti dihantam palu.

Bodohnya dia! Kenapa dia bisa lupa kalau Azizah tidak ada? Sudah jam segini, dan istrinya belum juga pulang.

Sekelebat perasaan aneh menyelinap dalam dadanya. Sebuah rasa yang mungkin bernama cemas.

Ia mendadak bangkit dari kursinya. “Aku mau cari Azizah, Bu.”

Sumarni mendecak keras. “Ngapain kamu cari dia?”

Raka menatap ibunya dengan rahang mengatup. “Dia mengandung anakku, Bu.”

Sumarni mendengus pelan. “Alah, nanti kalau kamu cari, dia makin gede kepala. Makin songong sama Ibu.”

Raka menghela napas kasar. Ia tahu ibunya tidak pernah menyukai Azizah, tapi sejahat itukah perasaannya? “Tapi dia mengandung anakku, Bu,” ucapnya lebih lirih, kali ini dengan nada khawatir yang mulai nyata.

Tapi bukannya merasa iba, Sumarni justru tertawa sinis. “Dia bisa apa sih, Raka? Keluarga nggak ada, teman nggak ada. Dia itu perempuan nggak berguna! Cocoknya jadi pembantu. Nggak pantas jadi istri kamu.”

Kata-kata itu menampar sesuatu di dalam hati Raka.

Dulu, ia mungkin akan mengiyakan ucapan ibunya. Ia juga pernah berpikir Azizah tidak lebih dari wanita kampungan yang hanya bisa mengurus rumah, seorang istri yang terlalu tunduk, terlalu sederhana untuk sekelas dirinya.

Tapi sekarang?

Kenapa ada perasaan yang mulai menolak ucapan ibunya?

Tangannya mengepal. Napasnya sedikit tersengal. “Tapi dia mengandung anakku, Bu. Aku mau cari anakku, bukan cari Azizah.”

Sumarni menatapnya tajam. “Sudah, nurut sama Ibu. Dia pasti balik. Jangan beri celah! Nanti dia belagu, Raka.”

Raka terdiam.

Ada pertarungan dalam hatinya.

Di satu sisi, egonya masih menahannya untuk bertindak. Tapi di sisi lain, ada perasaan yang mengusiknya—sebuah dorongan yang mengatakan bahwa ia harus menemukan Azizah.

Tapi apa yang harus ia lakukan sekarang?

1
hidagede1
bukan perbedaan wanita kaya atau wanita miskin, tapi keinginan menjadi seorang ibu, apakah mau atau tidak nya raka...
hidagede1
mata sumarni
hidagede1
menikahi susan kali ya?
hidagede1
bu jgn suka mimpi di siang bolong 🤪
SOPYAN KAMALGrab
jangan terlalu sempurna soalnya di indikasi novel di buat ai hehehe
hidagede1
maaf thor, mungkin posesif ya 🙏
Jumiah
lanjut thor yg panjang...trmks
hidagede1
depan altar? sebelum nya sama zizah?
hidagede1
banyak banget yang kaya gini, tetap menomor satu kan ibu walaupun sudah menikah, uang gaji yg pegang ibu, tp minya makan sama istri 🤦‍♀️
Rizky Sandy
kirain mantan istri yg datang,,,, kecewa
hidagede1
pengen tau gmna sikap nya bu sumarni kalo tau zizah anak dri anak pengusaha sukses seorang milyarder
hidagede1
Luar biasa
hidagede1
waktu zizah minta pembantu blng nya pemborosan, eee skrng dia minta prmbantu juga🤪
hidagede1
terbalik, kalo bukan zizah, raka bukan apa"😤
hidagede1
kalo bukan doa dan kontribusi seorang istri juga gak bakalan bisa sesukses ini bro...
hidagede1
laki" yg gak punya prinsip... mencla mencle😏
hidagede1
mmmh selembar sejuta? 🤔
Rizky Sandy
zizah g tau klau suaminya menikah lagi,,,,
Jumiah
Rommy cari tau dong kenapa azizah .
gk sma suamix tinggal ,dodol bangat Rommy...kejar cinta msa lalu mu
Ma Em
Tuh kan Azizah nya tdk apapa kan kalian keluarga pratama dan Aditama malah adu kekuatan dan pamer kekayaan , kalian harus akur karena mungkin tdk lama lagi kalian akan jadi besan 🤭🥰🥰
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!