"Kita putus!"
"putus?"
"ya. aku mau kita menjadi asing. semoga kita bisa menemukan kebahagiaan sendiri-sendiri. aku pergi,"
"Silahkan pergi. tapi selangkah saja kamu melewati pintu itu ... detik itu juga kamu akan melihat gambar tubuh indahmu dimana-mana,"
"brengsek!"
"ya. itu aku, Sayang ..."
***
Bagai madu dan racun, itulah yang dirasakan Eva Rosiana ketika jatuh dalam pesona Januar Handitama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eva Rosita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16
Setiap hari hubungan Eva dengan Janu semakin lengket. Keduanya selalu menghabiskan waktu untuk bersama, tak pernah sehari pun Janu absen untuk tidak menemui pacarnya.
Eva juga sudah dua kali menginap di apartemen Janu. Dengan catatan Eva yang ketiduran dan sengaja tidak dibangunkan oleh Janu, itu pun mereka tidur di kamar terpisah.
Namun ada satu hal yang membuat hati Janu tak tenang, lebih cenderung ke kesal rasanya. Sudah beberapa kali dia mendapati pacarnya yang sibuk sendiri dengan ponselnya. Entah bertukar pesan dengan siapa Janu tidak tahu karena setiap ditanya, jawaban Eva selalu sama 'teman'.
Memang tidak ada yang mencurigakan gelagat pacarnya, tapi Janu tidak suka di abaikan. Dia juga tidak suka pacarnya itu sering berkomunikasi dengan cowok lain meskipun hanya seorang teman.
"Mau kemana?" tanya Janu. Dia sedang memeluk pacarnya sambil nonton di sofa, dan bertanya saat pacarnya bergerak seperti akan beranjak.
"Ke kamar mandi," jawab Eva sambil meringis. Dia mules, mau boker.
Janu terkekeh dan mengacak rambut pacarnya yang bergerak tergesa-gesa itu. Detik selanjutnya tawa Janu luntur, wajahnya berubah datar.
Mengambil ponsel pintar yang keluaran lama dan tentu bukan miliknya. Itu milik pacarnya yang tergeletak di atas meja. Lalu Janu juga ambil ponsel ya sendiri. Mengotak ngatik kedua ponsel itu dengan lincah dan cepat. Sesekali matanya melirik dimana arah kamar mandi yang dimasuki pacarnya.
Tersenyum puas setelah berhasil menyelesaikan kepentingan yang ada dikedua ponsel itu.
Diletakkan kembali ponsel pacarnya dengan posisi yang sama sebelum dia ambil.
"Lega?" tanya Janu dengan kekehan gelinya melihat si pacar yang sudah muncul sambil meringis malu. "sini," menyuruh si pacar untuk berbaring. Dia mau peluk pacarnya lagi.
"Babe, laper nggak?" tanya Janu. Eva sudah di pelukannya, memeluknya dari belakang. Sesekali dia kecupi pucuk kepala pacarnya.
"Lo laper?" tanya Eva balik dengan kepala yang menoleh ke belakang agar bisa menatap Janu.
Janu bergumam dan menganggukkan kepala.
"Mau gue masakin?" tawar Eva.
Cup.
"Mau," seru Janu setelah mengecup bibir pacarnya.
Eva tersenyum tipis. Mau bangkit tapi Janu malah semakin memeluknya erat, tak mau melepaskannya. Padahal cowok itu tadi yang mau dimasakkan oleh Eva.
"Minggir dulu, Jan. Katanya laper?" Eva bertanya sambil cekikikan karena geli merasakan kepala Janu yang mendusel seperti kucing di leher belakangnya, dan rambut cowoknya itu mengenai kulitnya.
"Janu ah!"
"Apasih, Sayang?"
"Gue mau masak!"
"Ya masak aja,"
"Dih. Gimana bisa masak kalo masih lo kekepin gini?"
"Gini caranya,"' kata Janu. Bangkit lebih dulu dari Eva, lalu tanpa aba-aba dia gendong pacarnya untuk ke dapur.
Yang digendong tertawa-tawa sambil mengalungkan kedua tangannya di leher. Pacarnya ini sudah seperti lintah yang tak mau lepas darinya.
Geli tapi seneng si Eva tuh.
Janu menurunkan Eva, di sendiri sekarang sedang duduk di atas kitchen island. Mau liatin pacarnya masak.
"Mau dimasakin apa?" tanya Eva.
"Apa aja," jawab Janu, "ASAL NGGAK PEDES!" timpalnya sambil berseru. Tidak bisa makan pedes sama sekali, tapi pernah dimasakin sambel teri oleh Eva. Mau tidak dimakan kasihan sama usaha pacarnya, dan akhirnya itu sambel teri dimakan sambil cegukan hebat dia.
Eva tertawa dengan anggukan kepalanya. Beralih membuka kulkas, melihat apa yang bisa dia olah.
Semenjak Eva sering main ke apartemennya, Janu rajin mengisi kulkasnya dengan bahan-bahan yang bisa dimasak. Dia ketagihan dengan masakan si pacar.
"Tumis terong sama kacang panjang, mau?"
Dan gara-gara Eva, Janu sekarang bisa makan terong.
"Boleh,"
"Lauknya tempe sama ayam goreng ya?"
Janu angkat satu jempolnya membuat Eva mengangguk.
Kurang ajar memang si Janu, Eva masak dia cuma bengong ngelihatin doang. Kadang kalau bosan diam, dia akan turun dari duduknya hanya untuk mencium pipi Eva atau memeluknya dari belakang, yang langsung kena tabokan mautnya si Eva. Barulah Janu akan duduk kembali di tempatnya jika si pacar sudah menunjukkan taringnya. Tanda jika tidak mau diganggu.
Yang dimasak sudah matang. Kedua anak manusia itu makan dengan tenang. Lebih tepatnya Janu yang tenang karena Eva sibuk nyuapin pacarnya yang mode anak anjing.
Janu itu manja kalau lagi berdua. Rasanya Eva ingin ambil setrikaan buat ngilangin tatonya Janu secara manual, ngak cocok banget sama manjanya.
"Lo pakein cabe ya, Babe?" protes Janu, sudah ngeces-ngeces mulutnya kepedesan.
"Elah, dua biji doang. Nggak enak kalo nggak pedes dikit, Jan!"
JAnu mencebik setelah minum.Meski pedes tapi tetap mangap saat disuapi.
"Gue manggung bentar lagi," celetuk Eva.
"Nggak usah ngobrol sama gitaris lo sang sok kecakepan itu," balas Janu yang wajahnya berubah muram.
"Masa gue diem aja kalo di ajak ngomong, Jan? Jangan gitulah, dia temen gue,"
"Berhenti aja deh manggung. Gue bisa ngidupin semua biaya lo, Babe,"
Ini salah satu sifat Janu yang tidak disuka Eva. Terlalu memaksa dan suka seenaknya sendiri. Cemburunya nggak ngotak kata Eva.
Eva yang tidak suka dengan kalimat Janu, meletakkan sendok ke piring hingga menimbulkan dentingan lumayan keras.
"Kita udah bahas ini, Jan. Harus ya kita debat lagi?"
Janu berdecak dan membuang muka. Dia juga tidak ingin debat dengan Eva, tapi jujur dia tidak suka pacarnya itu bekerja di cafe Budi. Karena banyak yang memperhatikan pacarnya. Janu tidak suka.
Apalagi dia sering melihat salah satu personil band Eva yang sok akrab. Terlalu sering mengajak pacarnya berbicara.
Selera maka keduanya langsung hilang. Sama-sama diam, masih memendam emosi masing-masing.
"Oke. Gue anterin. Kurangin ngobrol sama cowok. Gue nggak suka," ujar Janu setelah beberapa menit saling diam.
Tak ada jawaban dari Eva, tapi diamnya sudah di anggap iya oleh Janu.
Moodnya Eva anjlok, dia diam saja walau Janu sudah berusaha untuk mengajaknya bicara.
Sebelum ke cafe Budi, Janu mengantar Eva ke kos lebih dulu untuk berganti baju. Dan disana mereka debat lagi. Janu melarang Eva memakai pakaian yang terbuka menurutnya.
"Ini baju juga pernah gue pake ke apart lo, Jan!"
"Di apart, cuma gue yang liat. Lo manggung yang mantengin banyak, Va!" balas Janu, "Gue nggak mau banyak cowok liat lo pake baju begini!" timpalnya membuat Eva terperangah dan menggeleng pelan.
Janu posesif. Posesifnya berlebihan. Baju yang dia pakai ini tergolong sangat normal dikalangan usianya. Hanya kaos crop pendek, dan udelnya juga tidak akan keliatan banget kalo dia tidak angkat tangannya terlalu tinggi.
Karena sudah diburu waktu, Eva buka lemari ambil satu kaos lagi dan pergi kedalam kamar mandi dengan bantingan menutup pintunya.
Janu mendengus kasar. Masalah marahnya Eva akan dia pikirkan nanti, yang penting gadis itu sudah nurut sekarang.
Eva itu miliknya. Hanya miliknya. Tak ada yang boleh satu pun yang boleh mengusik miliknya, meski hanya memandangnya saja.
kak kenapa ga di fizo aja sih novel ini..