Renjana, seorang gadis muda yang baru saja pindah ke kota kecil Manarang, mulai bekerja di panti asuhan Widarpa, sebuah tempat yang tampaknya penuh dengan kebaikan dan harapan. Namun, tak lama setelah kedatangannya, ia merasakan ada yang tidak beres di tempat tersebut. Panti asuhan itu, meski terlihat tenang, menyimpan rahasia gelap yang tak terungkap. Dari mulai bungkusan biru tua yang mencurigakan hingga ruangan misterius dengan pintu hitam sebagai penghalangnya.
Keberanian Renjana akan diuji, dan ia harus memilih antara melarikan diri atau bertahan untuk menyelamatkan anak-anak yang masih terjebak dalam kegelapan itu.
Akankah Renjana berhasil mengungkap misteri yang terkubur di Widarpa, atau ia akan menjadi korban dari kekuatan jahat yang telah lama bersembunyi di balik pintu hitam itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Karangkuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
WIDARPA 27
Renjana perlahan membuka matanya, merasakan berat di kelopak mata yang seakan-akan menahan beban tak terlihat. Kepalanya terasa berat, seperti ada kabut tebal yang menyelimuti ingatannya. Suara detak jam yang terdengar teratur membuatnya semakin sadar akan tempatnya. Cahaya terang dari lampu-langit-langit memantul di sekeliling, membuat ruangan terasa steril dan tidak nyaman.
Ia mengedarkan pandangannya, mencoba mencari tahu di mana dia berada. Perlahan, aroma yang khas mulai tercium—bau antiseptik dan desinfektan yang tidak asing. Renjana tersadar, dia berada di rumah sakit. Tapi kenapa? Apa yang terjadi? Kepalanya berdenyut, dan perasaan bingung mulai mengguncang dirinya.
Tak lama, suara lembut terdengar di samping tempat tidurnya. “Renjana… kamu bangun…” suara itu terdengar seperti desahan penuh harapan, dan ketika Renjana menoleh, dia melihat sosok yang sangat dikenalnya. Nek Ayun duduk di kursi samping tempat tidurnya, tampak terharu dan mata tuanya memancarkan kelegaan yang mendalam.
Air mata hampir menetes di mata Nek Ayun, dia menatap Renjana dengan penuh kasih sayang. “Akhirnya kamu bangun, Nak... dua hari kamu tidur panjang. Aku takut sekali,” suaranya bergetar, seolah semua beban yang ia rasakan selama dua hari terakhir ini pecah begitu saja.
Renjana mencoba menahan rasa pusing di kepalanya saat mencoba untuk duduk, tubuhnya terasa lemah, seolah kehilangan energi. Matanya masih terasa berat, dan tubuhnya seperti baru saja melewati perjalanan panjang yang melelahkan. Namun, kehadiran Nek Ayun yang penuh kasih sayang memberikan sedikit kenyamanan di tengah kebingungannya.
“Apa yang terjadi, Nek?” Renjana bertanya pelan, suara seraknya keluar dengan susah payah. Ia berusaha mengingat, tapi pikirannya kosong, terpecah oleh kabut yang sulit dijelaskan.
Renjana merasa kebingungannya semakin dalam mendengar kata-kata Nek Ayun. Wajah Nek Ayun yang biasanya penuh ketenangan kini tampak sedikit berbeda, ada kekhawatiran yang mendalam yang tak bisa disembunyikan. Renjana menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu, namun ia merasa lelah dan tak tahu harus merespons apa.
Nek Ayun menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, “Renjana, aku tahu kamu baru bangun, dan tubuhmu masih lemah.” Suaranya terdengar pelan, penuh kehati-hatian. “Kamu harus makan dulu.” Nek Ayun berkata dengan lembut, seraya meraih sebuah nampan berisi makanan dari meja samping tempat tidur. Ada nasi hangat, sayur, dan sedikit lauk yang sederhana, namun tampak begitu menggoda dalam keadaan Renjana yang lapar.
Renjana merasa perutnya mulai keroncongan, menyadari bahwa ia belum makan dalam waktu yang lama. Dengan perlahan, dia mengambil suapan pertama, merasakan setiap butir nasi yang masuk ke mulutnya memberikan sedikit kekuatan baru. Nek Ayun mengamati dengan penuh perhatian, menunggu Renjana menyelesaikan makanannya. Ketika Renjana selesai makan, ia mengambil napas panjang dan meletakkan sendoknya.
Sepeninggal kepergian Nek Ayun, yang tiba-tiba harus pulang karena kedatangan tamu, membuat Renjana merasa sepi. Renjana duduk menatap dengan hening melalui jendela rumah sakit bersalin yang besar, matanya terpaku pada pemandangan alam yang memukau di luar sana. Hamparan laut biru terhampar luas, berkilauan di bawah cahaya matahari sore yang lembut. Ombak yang tenang bergulung perlahan, menciptakan riak kecil yang menyentuh bibir pantai. Di kejauhan, burung-burung laut terbang bebas, menciptakan garis-garis hitam yang memotong langit biru. Mereka terbang berkelompok, terkadang saling menyusuri angin yang bertiup lembut, kadang terpisah sejenak sebelum kembali menyatu.
Langit sore itu tampak begitu indah, dilukis dengan warna-warna lembut yang berpadu sempurna. Awan-awan putih keemasan perlahan bergerak menyusuri langit yang mulai berubah menjadi biru keunguan, menandakan matahari yang semakin rendah. Sinar matahari yang lembut menyinari laut, memantulkan cahaya keemasan yang merata di permukaannya, sementara matahari itu sendiri perlahan menghilang dari balik awan, seolah-olah mengucapkan selamat tinggal untuk hari itu.
Keindahan alam yang luas itu memberikan ketenangan pada Renjana, meskipun dalam hatinya ada perasaan campur aduk yang sulit dijelaskan. Laut yang tak pernah berhenti bergerak, burung-burung yang bebas terbang, dan langit yang berubah warna seiring berjalannya waktu.
Renjana terkejut saat dokter Gio masuk ke ruangannya, melangkah dengan tenang namun penuh wibawa. Matanya menyusuri sejenak wajah Renjana, sebelum akhirnya ia duduk di kursi yang terletak tidak jauh darinya, menyandarkan tubuhnya, dan memandang pemandangan di luar jendela. Laut biru yang membentang dan langit yang mulai berubah warna tampak begitu kontras dengan suasana tegang yang tiba-tiba mengisi ruangan itu.
"Bagaimana keadaanmu hari ini?" tanya dokter Gio dengan nada suara yang lembut, namun ada ketegangan terselip di balik kata-katanya.
Renjana mengangguk pelan, merasakan perasaan campur aduk. Bagaimana bisa dia tidak tahu kalau pria yang tampak begitu profesional dan peduli terhadap kondisinya, ternyata menyimpan rahasia besar? Dari nada bicara dan sikap dokter Gio yang penuh perhatian, Renjana bisa merasakan ada sesuatu yang tidak biasa. Ternyata, dia baru saja tahu bahwa dokter Gio adalah seorang mata-mata dari kepolisian, yang ditugaskan untuk mencari bukti-bukti kejahatan yang dilakukan di WIDARPA.
Renjana merasa cemas, tetapi juga merasa sedikit terkejut. "Terima kasih dokter, karena sudah menolong saya," ucap Renjana dengan tulus dan kembali menatap dokter Gio. "Apa yang sebenarnya terjadi dokter?"
Dokter Gio menghembuskan napas panjang, kemudian melanjutkan penjelasannya dengan suara yang berat, seolah setiap kata yang keluar mengungkapkan bagian yang lebih kelam dari cerita yang belum terungkap.
"Helena ditangkap atas tuduhan pembunuhan berantai terhadap sepuluh anak dan bayi. Ternyata, dia sudah melakukan kejahatan ini sejak lama, jauh sebelum kita mengetahui siapa dia yang sebenarnya. Untuk menutupi jejak kejahatannya, dia sering berpindah-pindah tempat, berusaha menghindari penyelidikan polisi. Semua itu agar tidak terendus oleh aparat. Namun, akhirnya, dia memilih kota Manarang sebagai tempat pelariannya."
Renjana terdiam, mencoba mencerna semuanya. "Jadi... selama ini dia sudah membunuh anak-anak?" tanyanya, suaranya bergetar, hampir tak bisa percaya.
Dokter Gio mengangguk perlahan. "Ya, itu benar. Semua bukti yang kami temukan mengarah pada dirinya. Setiap kali ada kematian, dia selalu ada di sekitar situasi itu, namun selalu dengan alasan yang bisa dibenarkan. Dia sangat pintar menyembunyikan niat jahatnya, bahkan di hadapan banyak orang."
Renjana merasa terkejut, tetapi rasa ingin tahu mulai memunculkan pertanyaan-pertanyaan baru. "Bagaimana bisa seseorang seperti itu tidak ketahuan? Bagaimana dia bisa berbuat sekejam itu?"
Dokter Gio melanjutkan, "Helena dulunya adalah lulusan keperawatan. Setelah lulus, dia bekerja di sebuah panti sosial yang dikelola oleh seorang pengurus bernama Bu Suri. Bu Suri mengajarkan banyak hal padanya, dan Helena menjadi orang yang sangat cerdas dalam mengelola orang-orang, terutama anak-anak. Tapi yang paling penting, dia belajar bagaimana memanfaatkan posisi itu untuk mendapatkan keuntungan pribadi." Renjana tercengang.
"Setelah Bu Suri meninggal, Helena menggantikan posisinya sebagai pengurus panti tersebut. Namun, dia bukanlah seseorang yang peduli dengan anak-anak atau dengan tujuan mulia panti itu. Semua yang dia lakukan hanyalah untuk kepentingan pribadinya. Dia tahu betul bagaimana cara menutupi tindakannya, dan dengan posisi barunya, dia bisa dengan mudah mengakses anak-anak dan bayi-bayi yang menjadi korban. Bukan untuk merawat mereka, tetapi untuk tujuan lain yang jauh lebih kejam. Helena hanya peduli dengan keuntungan yang bisa dia dapatkan. Anak-anak itu hanyalah alat baginya, bukan sesuatu yang perlu dirawat atau dilindungi. Kejahatan yang dia lakukan sudah sangat lama, dan dia telah mengubah banyak nyawa menjadi korban."
Renjana merasa kepalanya pusing, mencoba menghubungkan semua informasi yang diberikan dokter Gio. Setiap detail yang keluar semakin mengungkapkan kenyataan yang jauh lebih gelap daripada yang bisa ia bayangkan.