Ini tentang gadis ambigu yang berhasil merayakan kehilangannya dengan sendu. Ditemani pilu yang tak pernah usai menyapanya dalam satu waktu.
Jadi, biarkan ia merayakannya cukup lama dan menikmatinya. Walau kebanyakan yang ia terima adalah duka, bukan bahagia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raft, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Obrolan yang menyenangkan - 17
...Orang yang rentan terluka ternyata selalu bijak ya dalam mencipta kata? ...
***
Menginap di rumah Rey ternyata bisa mengobati rasa rindu kepada Ibunya. Sentuhan hangat yang ia terima dari Ibu Rey membuat ia merasa diterima berada disini.
"Rai mau sarapan sama apa? Biar Tante bikinin."
Ketika Rai melangkah ke bawah, ada Ibu Rey yang sudah sibuk di dapur untuk menyiapkan sarapan penghuni rumah.
"Rai biasanya suka beli bubur kacang yang ngelewat. Jarang masak soalnya, Tan." Balas Rai diakhiri dengan kekehan kecilnya.
"Makanya hari ini Tante masakin. Rai mau apa, Nak?"
Sudah lama rasanya ia tak mendengar kalimat ini, setelah Ibunya sakit dan tak bisa membuatkan makanan untuknya.
"Nasi goreng aja."
Ibu Rey tersenyum sembari mengangguk pelan. Dan Rai langsung menghampiri untuk membantu agar pekerjaan Ibu Rey cepat selesai. Ia tidak mau jika dirinya menginap hanya untuk numpang tidur dan makan.
"Rai bantu ya, Tan!"
"Kalau tidak merepotkan. Tante senang bisa menerima bantuan."
Wanita yang sebaya dengan Ibunya ini selalu tersenyum ketika menjawab perkataannya. Membuat wajah yang terlihat awet muda itu indah di pandang mata. Tidak seperti anaknya yang dingin melebihi kutub utara.
Apa mungkin sikap dingin Rey ini turunan dari Ayahnya? Tapi Rai belum pernah melihatnya.
"Tante. Rey itu sifatnya dari kecil emang cuek, ya? Jarang senyum gitu." Karena penasaran, Rai langsung bertanya.
Kata Rey 'kan, punya mulut gunanya apa kalau bukan dipakai untuk bertanya?
Ibu Rey terkekeh pelan. "Dari dulu emang banyak yang bilang gitu. Tapi kalau sama Tante atau Renata, dia kayak beda. Selalu ceria sama senyum tanpa diminta."
Rai mengangguk-anggukan kepalanya mengerti.
"Secuek apa sih Rey itu? Kamu emang dicuekin juga?" Tanya Ibu Rey membuat Rai memutar kembali ingatannya, ketika pertama bertemu dengan lelaki bernetra coklat itu.
"Bukan cuek, sih. Tapi lebih ke dingin. Mukanya datar banget."
"Tapi kayaknya sekarang Rey sering senyum kalau ada kamu." Ibu Rey sepertinya sedang menggoda Rai. Karena ketika kalimat itu terucap, ada colekan pelan di tangan kanannya.
"Itu karena Rai paksa Rey buat senyum."
"Oh, gitu..Tante kira Rey nganggep kamu orang spesial."
Ada desiran tak biasa ketika Rai mendengar kalimat itu. Rasanya seperti dejavu. Karena waktu itu, Rey juga pernah mengatakan hal serupa padanya.
Orang spesial katanya.
"Tante maaf, kalau Ayah Rey ada dimana? Karena semenjak pindah, Rai belum pernah liat beliau." Rai berusaha mengalihkan pembicaraan. Dan lagipula ia memang ingin tau dimana Ayahnya Rey berada sekarang.
Sembari memotong bawang, Ibu Rey menjawab dengan tenang. "Ayahnya Rey kerja jadi dokter di Jerman, Rai. Pulangnya setahun sekali. Makanya gak pernah keliatan disini."
Dengan antusias Rai menjawab. "Wah, hebat banget bisa sampai ke Jerman!"
"Iya, alhamdulillah Rai."
Ibu tersenyum getir. Terdengar hebat memang. Tapi dibalik kata hebat itu, ada hati yang selalu merindu, terhalang jarak yang membentang panjang, juga waktu yang mereka habiskan tanpa kata bersama di dalamnya.
Ditengah keheningan yang tak sengaja mereka ciptakan, handphone Rai berdering kencang. Menunjukkan nama Tante Dilla di atas layar.
"Ijin sebentar ya, Tan." Ucapnya sebelum mengangkat panggilan.
"Hallo? Kenapa, Tan? Mamah baik-baik aja, 'kan?"
Jantungnya berdegup kencang menanti jawaban.
"Mamahmu baik. Justru kamu ini, kamu sekarang dimana? Kata Ananta kamu gak pulang semalam."
Astaga, Ananta sampai melapor ke keluarga besar di Bandung sana.
"Rai pulang, cuman pintunya udah dikunci dari dalem. Rai juga udah teriak, tapi mereka tetep gak keluar. Ya udah Rai nginep aja di rumah tetangga depan rumah."
Terdengar helaan napas di sebrang sana. "Syukur kalau kamu gak minggat. Tante takutnya kamu gak betah tinggal sama mereka."
Rai tertawa ringan mendengarnya. "Gak akan, Tan. Tenang aja. Nanti siang juga Rai pulang."
"Iya. Kalian selalu jaga diri ya disana. Jangan berantem terus, awas!"
Rai mengangguk, walau ia tau Tantenya tak bisa melihat itu.
"Em, Tan. Mamah gimana sekarang?"
Berdiri di samping Ibu Rey membuatnya mengingat Ibunya juga. Sedang apa Ibunya disana?
"Mamahmu baik. Kamu gak usah terlalu khawatir, semuanya baik-baik aja. Kamu malah harus fokus buat ujian, sebentar lagi 'kan itu?"
"Iya."
"Ya udah, Tante tutup, ya!"
"Iya. Kalau ada apa-apa, kasih tau Rai, ya!"
"Iya, itu pasti."
Setelahnya, panggilan langsung tertutup. Kembali memunculkan foto masa kecilnya dulu dengan Sang Kakak yang sudah tiada, sebagai wallpaper handphonenya.
"Bu, sekarang sarapan sama apa?" Tanya Rey yang baru keluar kamar, dengan tampilan yang jauh dari kata berantakan. Karena ia sudah mempercantik dirinya sebelum keluar.
"Nasi goreng."
Acara masak mereka sudah selesai, dan sekarang waktunya mereka makan. Tapi yang baru keluar hanya bertiga saja, sisanya masih betah dengan alam mimpinya.
"Bangunin adikmu, Rey. Suruh turun, dia kalau minggu harus dibangunin. Terus Angkasa juga. Kita sarapan bareng sekarang."
Rey mengangguk dan melakukan apa yang Ibunya perintahkan.
***
"Kenapa kita harus makan, kalau akhirnya laper lagi?" Tanya Angkasa ketika mereka tengah sarapan bersama.
Semua mengira jika Angkasa sedang bertanya pada dirinya sendiri, kecuali Rai. Ia menganggap jika pertanyaan Angkasa sangat bagus untuk ia tanggapi.
"Kenapa kamu hidup, kalau akhirnya kamu juga mati?" Rai ingin tau bagaimana Angkasa merespon pertanyaannya.
"Ya karena hidup emang buat mati. Kita harus hidup dengan baik, untuk mempersiapkan mati dengan baik juga. Gitu, 'kan?"
Rai mengangguk membenarkan. "Yaps! Begitupun dengan makan. Kamu makan buat hidup. Walaupun akhirnya emang bakal laper lagi, tapi tubuh kamu menyerap makanan yang kamu konsumsi. Dan menjadikan tubuh kamu kuat lagi. Tapi ini bukan tentang makan. Ini tentang pertanyaan yang aku ajukan barusan."
Rey mengerutkan alisnya, ia tak mengerti dengan kalimat panjang milik Rai. "Maksudnya?"
Dan Rai mulai menatap Rey untuk menjelaskan lebih detai.
"Gini lho. Hidup itu 'kan buat mati. Jadi kamu harus bisa hidup dengan baik, agar bisa mati dengan baik juga. Begitupun dengan makan, kamu harus makan dengan baik, supaya tubuh kamu juga bisa tumbuh dengan baik juga. Kalau tubuh kamu selalu baik, bukannya bakal gampang buat hidup dengan baik?"
Tubuh yang baik, ya? Tapi sayangnya tubuh Rey tidak sebaik itu, ada cacat yang berusaha ia sembunyikan di dalamnya.
"Oke, oke. Ngerti."
Rai tersenyum, lalu ia kembali melanjutkan sarapannya yang sempat tertunda.
"Abis sarapan kita ke pasar minggu. Mau, gak?" Tanya Renata yang ingin main kesana.
"Mau banget!" Balas Rai yang selalu antusias dengan ajakan seseorang.
"Oke, habis ini kita kesana!" Ucap Angkasa yang memberikan semangat membara kepada hati Rai yang berusaha melupa.
Melupa tentang kehilangan yang menjadi luka, yang sudah lama bersemayam di dalam hatinya sejak lama.
***
^^^24-Mei-2025^^^