Setelah sepuluh tahun menjanda setelah pernikahan kedua, Ratna dihadapkan oleh perilaku tak terduga dari anak tiri yang ia rawat. Setelah menikah dengan Dirli, Amora mengusir Ratna dari rumah peninggalan ayahnya (suami Ratna).
Suatu hari, ia bertemu dengan seorang pria tua memakai jaket ojek online. Pria bernama Robin itu melihat ketulusan Ratna yang menolong orang yang tak dikenal. Dengan lantang ia mengajak Ratna menikah.
Dalam pernikahan ketiga ini, ia baru sadar, banyak hal yang dirahasiakan oleh suami barunya, yang mengaku sebagai tukang ojek ini.
Rahasia apakah yang disembunyikan Robin? Apakah dalam Pernikahan yang Ketiga dalam usia lanjut ini, rumah tangga mereka akan bahagia tanpa ada konflik?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CovieVy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. Menggenggam Harga Diri
Bingkisan yang dilempar itu jatuh ke lantai, menghantam ubin putih dan menghasilkan bunyi gedebuk yang mengiris udara pesta yang semula penuh musik dan gelak tawa. Bunyi itu seolah menghentikan waktu sesaat. Beberapa tamu spontan menoleh, sebagian mulai berbisik-bisik.
Ratna tercekat. Tangannya masih menggantung di udara. Ia berdiri kaku, seperti patung yang kehilangan makna. Hatinya tercebur ke dalam rasa malu yang pekat, sepekat tatapan-tatapan asing yang kini menusuk dirinya dari berbagai arah. Benda yang ia bawa penuh harap dan doa kini tergeletak seperti sampah.
Robin, yang berdiri di sampingnya, langsung menatap tajam ke arah perempuan yang tadi melempar bingkisan itu adalah Amora.
Namun sebelum Robin sempat bicara, Amora sudah lebih dulu menghardik, seolah merasa benar dan layak bertindak semena-mena.
“Kamu pikir kamu siapa? Sok-sokan datang ke sini bawa-bawa hadiah segala? Toh palingan bawa benda murahan!"
Senyum sinis tersungging di wajahnya, membumbung dari kepuasan semu, seperti anak kecil yang berhasil membanting mainan saingannya.
Namun, semua berubah ketika dari dalam paperbag itu meluncur sebuah kotak jam beludru hitam. Logo Longines terukir elegan di permukaannya, mengilat terkena pantulan lampu kristal ballroom.
Tamu-tamu di sekitar mulai berbisik lebih nyaring.
"Itu… Longines Master Collection?"
"Serius? Itu jam couple, kan? Mahal banget!"
"Setahu gue yang kayak gitu harganya puluhan juta sepasangnya, ya?"
Wajah Amora berubah. Kulitnya yang semula tampak halus dan penuh percaya diri kini pucat dan menegang. Dagu yang semula terangkat tinggi perlahan turun, tak tahu harus disembunyikan di mana rasa malu yang datang tiba-tiba.
Ratna menggigil. Tangan tuanya hendak menunduk memungut kotak jam itu, namun Robin lebih dulu melangkah. Ia memungutnya dengan tenang, mengelap debu tipis di sudut kotak, lalu menatap lurus pada Amora.
“Ini memang bukan buat kamu,” ucapnya datar, namun tegas. “Tapi tak perlu melemparnya seperti itu. Selama ini aku diam. Tapi sekarang, tak bisa lagi. Karena dia sudah menjadi istriku. Apa kamu selalu merusak harga diri ibumu seperti ini?"
Amora membuka mulut, hendak membalas, tapi suara yang keluar hanyalah:
"Diam kau, pria tua! Jangan berlagak bersahaja! Kau cuma tukang ojek, tak usah ikut bicara!"
Sekejap, suasana makin tegang. Beberapa karyawan yang mengenal Robin sebagai pimpinan perusahaan saling pandang, kaget mendengar penghinaan itu. Salah satunya langsung bergegas mencari Dirli, suami Amora.
Dirli yang sedang sibuk menemani orang tuanya, mendapat bisikan di telinga. Ekspresinya langsung berubah. Ia tahu, jika ini tak segera dikendalikan, pesta akan berubah menjadi skandal.
Tak lama, Dirli sudah berada di lokasi kejadian. Robin merangkul pundak Ratna, menenangkan istrinya yang masih menyimpan sisa gemetar di ujung jari.
"Hmmm, Mama Ratna dan suami sudah datang?" sapanya kikuk.
Robin hendak menjawab dengan ketus, tapi Ratna menyentuh lengannya dan menggeleng perlahan.
“Nak Dirli, di mana orang tuamu? Kami ingin bertemu,” katanya mencoba tersenyum meski matanya belum bisa menyembunyikan luka.
“Ayo ke sini, Mama. Mereka ada di dalam.”
Dirli memimpin keduanya melewati kerumunan tamu. Setiap langkah seperti perjalanan panjang melewati hutan penuh duri: tatapan, bisikan, cibiran diam-diam.
Di dalam, Linda, ibu Dirli, duduk di kursi anyaman rotan berlapis beludru. Tangannya memegang secangkir teh yang belum disentuh. Matanya tajam, menyisir penampilan para tamu seperti menaksir nilai jual manusia.
Saat melihat Robin dan Ratna mendekat, ia menoleh. Pandangannya tajam, menghunjam. Senyum tak muncul, sapaan tak keluar. Ia hanya mengusap bros mewah di dadanya dan berpura-pura membuka ponsel.
‘Oh, ini si tukang ojek yang dibilang Amora kemarin?’ batinnya.
Tanpa menegur, ia justru tertawa kecil melihat layar ponsel. Tawa yang terdengar lebih sebagai penghinaan diam-diam daripada reaksi candaan.
Dirli mendekatinya, membisik pelan. “Ma, ibu mertuaku datang. Sama suaminya.”
Linda hanya mengangkat alis. "Suruh saja mereka menunggu,” gumamnya.
“Mereka bawa kado buat Mama dan Papa,” tambah Dirli hati-hati.
Linda akhirnya menoleh, tatapannya lambat. Ia melihat kotak beludru hitam di tangan Robin. Ada cahaya rakus sekilas di matanya, tapi segera tertutup kabut sinisme.
‘Kayaknya itu dari butik mahal deh? Tapi ya, siapa tahu palsu...’
Tanpa menyambut, ia justru melambaikan tangan ke tamu lain, membiarkan Robin dan Ratna berdiri tanpa tempat, tanpa sambutan.
Beberapa menit berlalu. Keheningan menyiksa. Robin menggenggam jemari Ratna, mencoba menahan, tapi batas kesabaran telah lewat.
"Perutku lapar," gumam Robin pelan, “Tapi tak akan ada makanan untuk kita di sini.”
Ia menggenggam tangan Ratna lebih erat.
Dengan langkah mantap, mereka mendekati Linda dan suaminya, Ali, yang tengah menyapa tamu penting.
"Permisi," ucap Robin, sopan namun tegas. Ia menjabat tangan Linda dan Ali.
"Selamat atas pernikahan kalian."
Ratna ikut menjabat tangan mereka dengan senyum canggung.
“Kami membawakan kado buat kalian,” lanjut Robin, “tapi sepertinya kalian tidak tertarik dengan pemberian kami. Maka, biarlah kami bawa pulang saja.”
Ia memasukkan kotak jam kembali ke dalam paperbag berlogo butik jam ternama kota.
Linda mendadak tersentak. Ia maju hendak merebut paperbag itu, namun Robin dengan halus menghindar. Gerakannya membuat tamu-tamu di sekitarnya menoleh.
“Kenapa hadiahnya tidak jadi diberikan?” tanya seseorang dengan nada ingin tahu.
Robin hanya menatap tenang. “Karena harga diri tidak untuk dilempar, Bu. Kami rasa, kado ini lebih baik untuk kami saja.”
Lalu, tanpa menunggu tanggapan, Robin menarik tangan Ratna dan melangkah pergi, meninggalkan pesta dengan kepala tegak.
Tak ada yang bicara. Bahkan musik pesta mendadak terdengar hambar.
Amora hanya terpaku. Tangan yang tadi dengan pongah melempar bingkisan itu kini gemetar di sisi tubuhnya. Sementara itu, banyak bisikan yang mulai berebak menanggapi kejadian ini.
Di sudut ruangan, seorang wanita yang berpenampilan elegan mengenakan gaun biru tua menatap kepergian Robin dengan sorot mata heran. Ia tak ikut bertepuk tangan, tak ikut bersorak. Ia hanya menggenggam gelas anggurnya dengan kuat, hingga nyaris lepas.
"Ah, bukan kah itu Robin?" gumamnya pelan, nyaris tak terdengar di antara riuh musik yang kembali diputar.
Wanita cantik itu itu menoleh ke asistennya membisikkan sesuatu. “Cari tahu siapa wanita yang ada di sampingnya. Termasuk alamat rumah dan apa pekerjaannya. Jangan sampai ada yang lepas.”
Ia menggenggam gelas ramping dia antara kuku-kuku yang dipenuhi gliter. "Akhirnya, kita bertemu kembali."