NovelToon NovelToon
Cinta Seorang Perempuan Dingin

Cinta Seorang Perempuan Dingin

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos / Balas Dendam / Konflik etika / Bad Boy
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: syah_naz

Di ruang tamu rumah sederhana itu, suasana yang biasanya tenang berubah menjadi tegang.

"Ummi, Abiy, kenapa selalu maksa kehendak Najiha terus? Najiha masih ingin mondok, nggak mau kuliah!" serunya, suara serak oleh emosi yang tak lagi bisa dibendung.

Wajah Abiy Ahmad mengeras, matanya menyala penuh amarah. "Najiha! Berani sekarang melawan Abiy?!" bentaknya keras, membuat udara di ruangan itu seolah membeku.

"Nak... ikuti saja apa yang Abiy katakan. Semua ini demi masa depanmu," suara Ummi Lina terdengar lirih, penuh harap agar suasana mereda.

Namun Najiha hanya menggeleng dengan getir. "Najiha capek, Mi. Selalu harus nurut sama Abiy tanpa boleh bilang apa yang Najiha rasain!"
Amarah Abiy Ahmad makin memuncak. "Udah besar kepala rupanya anak ini! Kalau terus melawan, Abiy akan kawinkan kamu! Biar tahu rasanya hidup tak bisa seenaknya sendiri!" ancamnya dgn nada penuh amarah.
mau lanjut??
yuk baca karya aku ini🥰🤗

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syah_naz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

semburat cinta dan amarah

Setelah motor berhenti di depan gedung apartemen, Najiha turun dengan tenang.

"Terima kasih, Rey," ucapnya lembut, disertai senyuman kecil yang jarang sekali terlihat. Senyuman itu hanya sekilas, tetapi cukup untuk membuat hati Haidar bergetar.

Haidar terpaku sejenak, memperhatikan punggung Najiha yang mulai menjauh menuju pintu gedung. Senyuman tadi terukir jelas di benaknya, seperti cahaya kecil yang menembus lapisan gelap hatinya.

Saat Najiha sudah menghilang di balik pintu, Haidar tiba-tiba melepaskan tawa pelan yang penuh rasa lega sekaligus bahagia. "Dia tersenyum... ke gue? " gumamnya, suara rendahnya mengandung kekaguman.

Lalu, seolah tak bisa menahan perasaan yang meluap, ia berseru keras, "Wow! Terima kasih, Rey!" menirukan ucapan Najiha dengan nada yang penuh kebanggaan.

Ia memutar gas motornya, melesat di jalanan malam dengan kecepatan yang menggambarkan luapan hatinya.

Angin dingin yang menerpa wajahnya seakan tak berarti. Wajahnya masih menyimpan senyum lebar, dan matanya berkilat cerah.

Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Haidar merasa dunia ini tidak sepenuhnya gelap. Ada sesuatu yang hangat... dan itu datang dari senyum kecil Najiha.

......................

Pagi itu, ketenangan Najiha hancur oleh suara notifikasi ponselnya. Matanya yang masih sedikit berat langsung terbelalak saat membaca pesan dari Abi Ahmad.

"Najiha, kamu Abi jodohkan dengan temannya Abi! Jadi, jangan macam-macam di sana. Jaga jarak dengan laki-laki yang bukan mahram!"

Tangannya menggenggam erat ponsel, sementara darahnya mendidih.

"Ya Allah... apa lagi ini?!" teriak Najiha, nada suaranya menggema di kamar yang sepi. Napasnya terasa sesak, emosinya meluap-luap tanpa bisa ditahan.

"Kok bisa-bisanya Abi ngatur jodoh aku?! Ini hidup aku! Bukan haknya untuk memutuskan semuanya!" gumamnya dengan nada penuh kemarahan. Tanpa berpikir panjang, ia mengetik balasan.

"Abi! Najiha nggak mau dijodoh-jodohin. Abi boleh atur semua tentang Najiha, bahkan masa depan Najiha sekalipun, tapi kalau masalah pasangan, Najiha nggak setuju."

Pesan itu dikirim dengan jemari yang bergetar. Tapi belum sempat ia menarik napas lega, ponselnya kembali berbunyi. Pesan dari Abi Ahmad masuk, dan kali ini, isi pesannya menusuk lebih dalam.

"Kamu tidak boleh membantah! Ini adalah yang terbaik untukmu. Keluarganya bisa menjamin masa depanmu! Ini sudah keputusan Abi, jadi, besok Abi ke Jakarta!"

Najiha menatap layar ponsel dengan mata yang membara. Ia merasakan kemarahan bercampur dengan kekecewaan yang menghantam batinnya.

Kali ini, ia tak ingin membalas. Dengan kasar, ia melempar ponsel ke atas ranjang.

Kepalanya menunduk, napasnya tersengal, dan matanya mulai memanas. "Ya Allah... siapa sih laki-lakinya? Ganggu hidup orang aja!" ujarnya dengan nada getir.

Ia mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba menenangkan diri meski hatinya terus berontak.

Tanpa berpikir panjang, Najiha mengambil jaketnya. Ia butuh keluar, butuh udara segar untuk meredakan badai di dadanya.

Dengan langkah cepat, ia menuju garasi, menghidupkan motor, dan melaju di jalanan pagi yang masih lengang.

Di atas motor, angin dingin menyentuh wajahnya, namun tak mampu mendinginkan emosi yang terus berkecamuk.

"Kenapa Abi nggak pernah mau dengar aku? Kenapa semua keputusan selalu ada di tangannya? Apa aku nggak punya hak untuk hidupku sendiri?" bisiknya lirih, nyaris tak terdengar di tengah deru mesin.

Air mata menggenang di sudut matanya, tapi ia segera mengedipkannya kuat-kuat. Ia tak mau terlihat lemah, bahkan di hadapan dirinya sendiri.

Namun di lubuk hati yang terdalam, ia tahu bahwa masalah ini bukan sesuatu yang bisa ia hindari begitu saja.

Najiha berhenti di sebuah tempat olahraga tradisional yang menyediakan fasilitas memanah dan berkuda.

Wajahnya dingin, dengan amarah yang masih membara di dalam hati. Ia melepas helmnya dengan kasar, menggantungkan jaket, lalu melangkah menuju loket penyewaan.

"Pak, saya sewa alat panahnya," ucapnya tegas tanpa basa-basi. Tangannya mengeluarkan beberapa lembar uang sebelum menerima busur dan anak panah.

Dengan langkah mantap, ia berjalan menuju arena, menyiapkan diri untuk melampiaskan emosi.

"Biarin gue bolos kuliah. Siapa yang salah? Mereka seenaknya ngambil keputusan, aku juga bisa!" gumamnya dingin, menarik busur dengan penuh tenaga. Anak panah melesat dan menancap tepat di tengah papan target.

Tiba-tiba, suara dering ponselnya memecah konsentrasi. Najiha mendesah kesal, merogoh kantongnya dengan gerakan kasar. "Siapa?!" ucapnya dingin, tanpa niat menyembunyikan emosinya.

Di seberang, suara Kasih terdengar pelan dan gugup. "Ha-halo, Naj?"

"Hmmm... Kasih," jawab Najiha dengan nada datar, meski ada ketegangan yang jelas.

"Lo nggak masuk kuliah, Naj? Bentar lagi Pak Rizal mau mulai," tanya Kasih hati-hati.

"Gue hari ini bolos," jawab Najiha tanpa ragu, suaranya tetap tenang namun dingin. "Kalau Pak Rizal nanyain gue, bilang aja gue sakit. Kalau lo nggak bisa bohong, yaudah, jujur aja."

Kasih terdiam sejenak sebelum menjawab dengan ragu, "O-oke, Naj. Jadi, lo sekarang di mana?"

"Gue sekarang lagi di tempat berolahraga ala Rasulullah," jawab Najiha santai, meskipun nada bicaranya tetap dingin.

"Lo memanah?" Kasih terdengar kaget di seberang.

"Iya. Ini gue lagi main panah," ucap Najiha singkat, seolah tak ingin berbasa-basi.

"Yaudah. Gue tutup. Assalamu'alaikum," lanjut Najiha, langsung memutus panggilan tanpa menunggu jawaban Kasih.

Di sisi lain, Kasih menatap layar ponselnya dengan bingung. "Gimana, Kasih? Apa kata Najiha?" tanya Rini yang duduk di sebelahnya.

"Dia bilang bolos... tapi nggak jelas kenapa. Gue takut nanya banyak-banyak," jawab Kasih dengan ekspresi khawatir.

"Hmmm... mungkin dia lagi punya masalah. Kasihan ya, Najiha. Dia kayaknya lagi berat banget," ujar Rini sambil menghela napas, memperhatikan Kasih yang masih memikirkan sahabatnya.

Tiba-tiba Haidar masuk ke kelas. Langkahnya cepat, wajahnya menunjukkan ekspresi dingin, namun matanya menyiratkan keresahan.

Ia melirik kursi kosong di sampingnya, kursi tempat Najiha biasa duduk.

"Najiha mana?" tanyanya tajam, menatap Kasih dan Rini.

"E-eee... Dia... Dia nggak masuk kuliah," jawab Kasih dengan nada gemetar, jelas takut dengan tatapan Haidar yang menusuk.

Haidar mengernyitkan dahi. "Najiha sakit?" tanyanya lagi, kali ini dengan nada lebih khawatir.

Rini mencoba menjawab, namun suaranya terdengar gugup. "Nggak... dia-dia..."

Haidar kehilangan kesabaran. "Cepetan! Dia kenapa?!" bentaknya, membuat kedua gadis itu terlonjak.

Kasih akhirnya menyerah di bawah tekanan. "Dia ada di tempat olahraga tradisional... katanya," ucapnya pelan, hampir berbisik.

Tanpa berpikir panjang, Haidar langsung berbalik dan berjalan cepat menuju pintu kelas. Langkahnya penuh tekad, wajahnya serius.

"Rey, lo mau ke mana?! Sebentar lagi Pak Rizal datang, Reyy!" panggil Dendi, mencoba menghentikannya.

Namun, Haidar tak peduli. Ia tetap melangkah keluar kelas, berlari menuju parkiran, lalu dengan cepat menghidupkan motornya.

motor meraung keras, dan tanpa ragu, ia melesat menuju tempat Najiha berada.

Di tengah perjalanan, pikirannya penuh dengan kecemasan. "Apa yang dia lakukan di sana? Kenapa dia nggak bilang apa-apa? Apa dia lagi punya masalah besar?" gumamnya, angin dingin pagi menampar wajahnya, namun tak mampu mengusir kekhawatiran yang terus menghantui.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!