Di sekolah, Dikta jatuh hati pada gadis pengagum rahasia yang sering mengirimkan surat cinta di bawah kolong mejanya. Gadis itu memiliki julukan Nona Ikan Guppy yang menjadi candunya Dikta setiap hari.
Akan tetapi, dunia Dikta menjadi semrawut dikarenakan pintu dimensi lain yang berada di perpustakaan rumahnya terbuka! Pintu itu membawanya kepada sosok gadis lain agar melupakan Nona Ikan Guppy.
Apakah Dikta akan bertahan dengan dunianya atau tergoda untuk memilih dimensi lain sebagai rumah barunya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yellowchipsz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dijebak!
...٩꒰。•‿•。꒱۶...
...𝙏𝙐𝘼𝙉 𝙆𝙐𝘿𝘼 𝙇𝘼𝙐𝙏 & 𝙉𝙊𝙉𝘼 𝙄𝙆𝘼𝙉 𝙂𝙐𝙋𝙋𝙔...
...© Yellowchipsz...
...—Jangan tenggelam oleh rasa percaya yang disertai gentar.—...
...꒰˘̩̩̩⌣˘̩̩̩๑꒱♡...
Dimulai dari sebelum kejadian itu.\~🩸
Bel pulang sekolah yang dinanti dengan riang oleh siswa-siswi pun berbunyi nyaring. Siang ini mendekap mendung, tapi rinai masih memberi harapan palsu. Tunggu saja, sebentar lagi awan membiarkan cucurannya menyerbu para insan.
Saila pamit dari bangkunya, lalu berhadapan dengan Dikta yang berdiri menghadangnya. Bertatapan, lalu mengekspos senyum berdua.
"Besok!" seru Dikta berseri-seri, tidak sabar ingin mengantar Saila pulang menggunakan Belly—motornya.
"Iya! Besok ya, Dikta!" balas Saila terkekeh geli melihat ekspresi Dikta yang tidak berhenti mengharapkan hari esok.
Dikta dan Saila berjalan beriringan keluar dari kelas. Inginnya Dikta menggamit kelingking kecil Saila menggunakan kelingkingnya yang nakal, tapi hal itu takut membuat Saila risi, apalagi baru ini mereka banyak bercengkerama langsung. Dahulu, mereka hanya saling melirik dan bersapa singkat dari kejauhan karena berbeda kelas.
Dikta pun mengurungkan niatnya itu, berjalan di sebelah Saila saja sudah membuat jantungnya mendobrak gila pada tulang pelindungnya.
📲Drrrttt!
Dikta melihat layar smartphone, bahwa wali kelas meneleponnya.
"Siapa, Dikta?" tanya Saila hendak tahu.
"Pak Satria nelepon aku. Duh, kenapa ini? Pasti bakalan ada sesuatu!" sebal Dikta pasrah.
"Angkat aja, Dikta. Mungkin penting," bujuk Saila.
Dikta mengangkat telepon dengan muka lempem, lalu menjawab telepon, "Iya, Raja kesayangan Dua Belas IPA Dua. Tukang kipas Raja sudah menjawab."
📞"Bersihkan meja pribadi saya di kantor sampai kinclong! Ada debu sedikit, kamu gundul besok!" marah pak Satria sampai membuat Dikta sedikit menjauhkan smartphone dari telinganya.
"Pak. Salah saya apa? Kenapa saya dianiaya begini? Saya mau segera pulang, mau meluk nenek saya!" tolak Dikta jengkel.
📞"Pantun sintingmu hampir bikin rambut saya tersakiti! Cepat jalankan hukuman atau saya laporin kenakalanmu sama nenek!" ancam pak Satria terbakar di sana.
"Bapak siapanya nenek, mau ngaduin saya? Saya ini segala-galanya bagi nenek saya," tantang Dikta terkekeh dengan Saila.
📞"Hoy, Budak ni!" kesal pak Satria mendengarnya. "Nenek kamu nggak akan lupa sama saya. Tanyalah sama nenekmu ..., pasti dia ingat orang paling ganteng ini pernah ke rumahnya!"
"Saya akui kepedean Bapak walau otak saya kontra karena Bapak lebih kayak orang gila! Tentu nenek nggak akan lupa!" balas Dikta sebal, "Karena Bapak udah nyuri susu saya berkali-kali!"
"Hah?" pelongo Saila kaget mendengar kata ‘susu’.
📞"Nyuri susu apa'an, Manik?! Memangnya, kamu punya susu?! Sadar, Nak! Kamu laki-laki!" suara pak Satria terdengar polos.
"Punya!!! Warna cokelat!" terang Dikta dengan muka dongkol.
📞"Oh—Alaaa!" kata pak Satria baru paham. "Susu murah, pun! Hahah!"
"Bapak jangan meremehkan, ya! Susu saya memang murah, tapi Bapak ketagihan sampai maling! Balikin!" tuntut Dikta.
Saila begitu kaget dan bingung mendengar pembicaraan Dikta, "Pak Satria maling susu siapa, Dikta? Susu Dikta ... maksudnya?"
Dikta bersemu karena melihat wajah Saila yang memikirkan banyak hal. "S-susuku, susu bubuk cokelat, Saila," kekeh Dikta tersenyum lebar.
📞Pak Satria berkata heboh, "Sudah, Manik-manik! Saya sibuk! Awas kalau meja saya besok masih berantakan! Saya telepon penjaga ruang sekarang untuk mastiin kamu!"
Panggilan telepon berakhir. Dikta mengembus napas lelah, lalu menatap Saila dengan pendar. "Yaaah. Aku harus ke ruang guru sekarang. Kamu hati-hati di jalan ya, Saila."
"Iya, Dikta. Semangat bersihin meja pak Satria. Aku udah ditelepon mama, nih. Dadaaah!" lambai Saila menyipitkan mata, berpisah dari Dikta.
"Dadaaah!" balas Dikta melambaikan tangannya, lalu lanjut dengan lirih, "Nona Ikan Guppy."
"Dadaaah lagi!" lambai Saila berat berpisah. Dia berjalan mundur karena masih ingin memperhatikan ketua kelasnya.
Dikta kaget, tapi tersipu. "Iya, dadaaah lagi!" balas Dikta menjadi tidak rela jika jam belajar di sekolah sudah berakhir.
Saila pun berlari-lari kecil menjauhinya.
Jantung Dikta melompat-lompat di dalam, membuat reaksi tubuhnya ikut melompat-lompat pula dan membatin, ARRRGHHH! SAILAAA, KENAPA KAMU OVERDOSIS MENGGEMASKAN?!!!
Di barisan belakang, terlihat Puri dan Lingga berjalan berdua. Mereka menonton perpisahan antara Dikta dan Saila. Dikta ke arah gedung besar, sedangkan Saila berjalan kecil di sekitar lorong jurusan IPA.
Puri meneropong langkah Dikta yang makin jauh. "Dikta mau ke mana, ya? Perasaan, parkiran motornya di sebelah sana. Kok malah melewati gedung besar?" tanya Puri bingung.
"Biarin. Ada urusan mungkin," jawab Lingga malas.
Puri melirik sebal ke arah Saila yang terlihat kegirangan usai melambaikan tangan dengan Dikta.
Lingga menebak, "Kayaknya, mereka udah lama pacaran, tapi baru ketahuan sekarang."
"Aaaa, nggak mungkin!" tolak Puri, "Kok tega 'sih Dikta nggak cerita kalau emang pacaran sama Saila nyebelin itu?!"
Saila yang melintas pun mengincar kontak mata Puri dan Lingga. "Puri, Lingga, Wleee!" ledeknya sambil berlari memegang smartphone.
"HOOOYYY, GUPPY!" kesal Puri ingin melempari Saila dengan sepatunya, "Sok imut lo ya selama ini, ternyata nakal macam setaaan!"
Setelah Puri menyebut nama Guppy, hal itu membuat Lingga teringat akan sesuatu. "Ah, Guppy? J-jangan-jangan ...," tebak Lingga mendapat titik cerah.
"Apa???" Puri bertanya-tanya.
"Lo ingat surat di kolong meja Dikta yang gue remukin waktu itu?" beber Lingga mengenai hal itu.
"Iya, ingat!" angguk Puri.
"Di situ tertulis dari Nona Ikan Guppy! Guppy 'kan nama belakang Saila!" terang Lingga dengan keyakinan kuat.
"ASTAGA! APA SURAT ITU DARI SAILA?!" kaget Puri tak kuasa, "Harus gue interogasi Dikta nanti!"
...٩꒰ 'ᆺ'꒱۶...
Dikta sudah berbelok ke arah kantor yang berseberangan dengan gedung besar. Dia masuk ke sana, menyapa singkat bapak penjaga ruang, lalu berjalan ke ruang guru. Dia menghampiri sebuah meja besar yang dituju.
Hati Dikta tertampar kisah lampau saat melihat pemandangan pertama yang dia temukan di atas meja pak Satria, yaitu sebuah kertas foto yang sedikit mencuat dari dalam buku catatan penilaian.
Dikta tidak tertarik untuk mengintipi nilai-nilai anak 12 IPA 2, malah dirinya mengambil kertas foto yang membuat matanya berlinang. Foto pak Satria bersama Dirham—abangnya Dikta—di era SMA. Gara-gara foto tersebut, Dikta jadi memikirkan keadaan Lingga yang cedera karenanya.
Bang Dirham sama pak Satria nggak pernah bertengkar kayaknya, batin Dikta meyakini itu.
Awalnya, Dikta ingin menangis melihat muka tampan abangnya ditambah tulisan good boy di sana. Namun, air matanya menolak keluar saat melihat muka menyebalkan pak Satria jaman dahulu disertai tulisan bad boy, tak lupa menggunakan topi terbalik.
"Anjir, pak Satria! Sok-sok'an bad boy, lebih cocok jadi Orang Gila si Maling Susu!!!" umpat Dikta jengkel, lalu memasukkan kembali foto itu ke dalam buku penilaian.
Dikta mulai kepeningan untuk memulai dari mana membersihkan meja pak Satria yang kelewat berjejal. "Ya ampun, Pak ... Pak. Ini meja, apa sarang rambut keramatmu, Pak?! Kalau dilihat sama nenek, meja amburadul kayak gini ... hmmm, pasti kepala Bapak dijitak pakai sapu!"
...٩꒰ 'ᆺ'꒱۶...
Saila berjalan gesit, lalu menduduki kursi batu. Dia mengangkat panggilan telepon dari mamanya.
"Halo, Mama? Mama udah di deket gerbang, ya? Tunggu bentaaar aja, Ma. Aku mau ngelakuin sesuatu," senyum Saila.
📞"Maaf ya, Sayang. Mama masih ada urusan di rumah sakit. Kamu pulang sama Juna, ya," pinta sang mama.
"Yaaah, kata Mama tadi bisa jemput aku." Saila mendadak lesu. "Ma ..., aku boleh nggak?"
📞"Boleh apa, Sayang? Katakan. Kapan mama nolak permintaan baik kamu?"
Saila perlahan jujur tentang keinginannya. "Aku nggak mau pulang bareng Arjuna lagi, Ma."
📞"Sayang, kamu berantem sama Juna?" suara mamanya cemas.
"Aku cuma nggak mau aja, Ma. Ya udah, aku naik gojek aja," terang Saila yakin.
📞"Duh, kok tiba-tiba jadi gitu? Junanya mana? Mama mau ngomong sama dia. Jangan gitu sama Juna, Sayang. Juna itu kan-"
"Bye, Ma," tutup Saila tak bersemangat. Saila berniat untuk berterus terang dengan mamanya tentang isi hati yang sebenarnya, nanti.
...꒰・-・꒱...
Beberapa menit yang lalu, Puri dan Lingga baru selesai menghayati kepermaian taman sekolah sebelum benar-benar akan pulang.
Puri dan Lingga berjalan menuju gerbang utama yang mulai sepi. Hari ini memang Puri yang menyetir mobil Lingga, rumah mereka berdua berdekatan. Karena hal itu, tidak sulit bagi Puri untuk merawat Lingga yang masih menanggung cedera lengan kiri.
"Harusnya, lo nggak usah sekolah dulu hari ini, Ga," cemas Puri melihat lengan kiri pacarnya itu.
"Udah nggak terlalu sakit 'kok, tapi belum bisa gerak bebas aja," ungkap Lingga tersenyum ringan.
"Kalau udah beneran sembuh ..., baikan sama Dikta, mau?" bujuk Puri menggandeng manja lengan kanan Lingga.
"Iya, kalau sembuh," jawab Lingga dengan muka berserah.
"Ih! Pasti sembuh, lah! Kok nada bicaranya seolah-olah nggak sembuh!" rengek Puri. "Baikan beneran, ya? Nggak usah marahan lagi gara-gara bukunya bang Dirham."
Belum sempat Lingga membalas permohonan Puri, atensinya kaget tertuju pada seseorang yang menunggu di depan gerbang.
Puri refleks cemberut mengetahui ada Arjuna yang seperti menghalangi langkah. "Mau apa lo?!" ketus Puri.
"Gue mau ngobrol sama kalian, tapi nggak enak di sini," pinta Arjuna memelas.
"Nggak!" tolak Puri yang menarik lengan kanan Lingga.
"Gue mau ngebahas masa lalu kita. Tolong," ajak Arjuna yang masih mencegat, "Dikta juga gue ajak. Dia udah nunggu di sana."
"Di sana?" tanya Lingga memastikan maksudnya.
"Di atas gedung besar. Gue udah dari lama mau ngobrol sama kalian bertiga, dan Dikta setuju," kata Arjuna meyakinkan.
Mendengar nama Dikta, tentu Puri dan Lingga menyetujui hal itu tanpa berpikir panjang. Lingga juga percaya perkataan Arjuna karena dia tadi sempat melihat Dikta pergi ke arah gedung besar.
Sementara, Saila yang hampir tiba di gerbang pun melihat Arjuna sedang berjalan bersama Puri dan Lingga.
"Mereka bertiga mau ngapain?" gumam Saila waswas, mengintip di balik pohon bougenville. Karena rasa penasarannya itu, Saila diam-diam mengikuti ke mana langkah ketiganya bertekad.
Puri dan Lingga berjalan menaiki tangga, mengikuti langkah Arjuna yang agak terburu.
Lingga bertanya, "Bukannya pintu bagian atap sekolah ini biasanya dikunci sama guru olahraga?"
"Lingga. Lo pinter, tapi kayaknya kekurangan informasi tentang gedung sekolah," ledek Arjuna yang membuka pintu besi itu.
Sesampainya di bagian pertengahan atap, angin berdesir mengibarkan surai mereka.
Puri meninjau keadaan sekitar, tidak ada sosok yang dia pikirkan sejak tadi. "Mana Dikta?" tanya Puri celingak-celinguk.
Lingga melantas waspada, memegang erat lengan Puri saat dirinya menyaksikan ada beberapa anak bandel dari berbagai jurusan menghalangi pintu dan sudah bertebaran menampakkan diri.
Puri merasa ada yang tidak beres. "Ga, kita pergi dari sini," bisiknya takut.
Tubuh Lingga terhempas ke lantai saat Arjuna menendangnya dengan brutal. Lengan kirinya yang masih sakit itu menjadi penghambat gerakannya untuk melindungi diri.
"Lingga!" teriak Puri.
Bersambung ... 👑