Di sebuah kota kecil yang diselimuti kabut tebal sepanjang tahun, Ardan, seorang pemuda pendiam dan penyendiri, menemukan dirinya terjebak dalam lingkaran misteri setelah menerima surat aneh yang berisi frasa, "Kau bukan dirimu yang sebenarnya." Dengan rasa penasaran yang membakar, ia mulai menyelidiki masa lalunya, hanya untuk menemukan pintu menuju dunia paralel yang gelap—dunia di mana bayangan seseorang dapat berbicara, mengkhianati, bahkan mencintai.
Namun, dunia itu tidak ramah. Ardan harus menghadapi versi dirinya yang lebih kuat, lebih kejam, dan tahu lebih banyak tentang hidupnya daripada dirinya sendiri. Dalam perjalanan ini, ia belajar bahwa cinta dan pengkhianatan sering kali berjalan beriringan, dan terkadang, untuk menemukan jati diri, ia harus kehilangan segalanya.
---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HARIRU EFFENDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16:Desa Tanpa Waktu
Desa itu muncul seolah-olah melayang dalam kabut, jauh dari batas logika dan nalar. Ardan memandangi gerbang kayu besar yang diukir dengan pola bunga-bunga liar. Angin yang berhembus membawa aroma tanah basah dan wangi daun yang mengering, seperti tempat ini telah tertidur selama ribuan tahun. Namun, tidak ada suara burung, tidak ada hiruk pikuk kehidupan. Hanya keheningan yang mencekam.
Dia menatap ke dalam desa, tempat yang terlihat seperti surga bagi mereka yang lelah. Rumah-rumah kecil berdiri dengan damai, setiap jendelanya menyala hangat, seolah menantangnya untuk masuk. Tapi ada sesuatu yang aneh. Sesuatu yang membuat langkahnya tertahan.
Selina muncul dari bayangan pohon. Kali ini, dia tidak tersenyum. Tatapannya datar, seakan menyembunyikan ribuan kata yang tidak bisa diucapkan.
“Kenapa kau di sini?” Ardan bertanya, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdegup cepat.
Selina tidak menjawab. Dia hanya berjalan melewati Ardan, pintu gerbang kayu terbuka perlahan tanpa ia sentuh. Udara menjadi lebih dingin, dan kabut semakin tebal.
“Aku tidak punya waktu untuk permainan ini,” gumam Ardan sambil mengepalkan tangan.
Dia mengikuti Selina masuk ke desa. Setiap langkahnya terasa seperti melangkah ke dalam mimpi, atau mungkin ke dalam jebakan. Penduduk desa keluar dari rumah mereka, tetapi wajah mereka tidak bisa dilihat. Mereka seperti bayangan yang bergerak tanpa suara, hanya sesekali menunduk memberi hormat kepada Selina, seolah-olah dia adalah ratu mereka.
Selina berhenti di tengah alun-alun desa, di mana sebuah pohon besar berdiri, cabangnya menjulur seperti tangan yang mencoba meraih langit. Di bawah pohon itu, ada seorang wanita tua dengan pakaian sederhana, duduk di kursi goyang. Wajahnya setengah tertutup kerudung putih.
“Dia menunggumu,” ujar Selina dengan nada dingin.
“Siapa?” Ardan menoleh padanya, tetapi Selina sudah tidak ada lagi.
Wanita tua itu mengangkat wajahnya, memperlihatkan mata hitam pekat yang tidak mencerminkan apapun. Tidak ada bayangan, tidak ada emosi. Hanya kehampaan.
“Kau tidak akan menemukan jawaban jika terus berjalan,” kata wanita itu. Suaranya seperti bisikan angin, hampir tidak terdengar. “Duduklah.”
Ardan ragu, tetapi sesuatu dalam dirinya memaksa untuk menurut. Dia duduk di bangku kayu yang dingin, berhadapan langsung dengan wanita itu.
“Siapa kau?” tanyanya.
“Aku hanyalah bayangan, seperti mereka,” jawab wanita itu, menunjuk ke arah penduduk desa. “Kami adalah sisa-sisa dunia yang kau tinggalkan.”
“Dunia yang aku tinggalkan?” Ardan mengerutkan alisnya.
Wanita itu mengangguk pelan. “Setiap pilihanmu meninggalkan jejak. Setiap dosa, setiap kegagalan, setiap harapan. Tempat ini adalah bayangan dari semuanya. Tapi aku di sini untuk mengingatkanmu bahwa tidak semua hal bisa dilupakan.”
Kata-kata itu menusuk hati Ardan seperti pedang dingin. Dia tidak tahu apa yang wanita ini maksudkan, tetapi ada rasa bersalah yang mulai merayap di dalam dirinya.
“Selina… siapa dia?” Ardan mencoba mengalihkan pembicaraan, meski suara wanita itu masih terngiang di telinganya.
“Dia adalah bagian dari dirimu yang kau coba lupakan. Sama seperti aku. Sama seperti desa ini,” wanita itu menjawab sambil tersenyum samar.
Ardan berdiri dengan cepat, rasa cemas membakar pikirannya. “Aku tidak punya waktu untuk teka-teki ini. Jika kau tahu sesuatu, katakan padaku!”
Wanita tua itu hanya menggeleng. “Kau tidak bisa lari, Ardan. Tidak dari kami, tidak dari dirimu sendiri.”
Tiba-tiba, tanah di bawahnya bergetar, dan kabut yang melingkupi desa mulai bergerak liar. Penduduk desa yang seperti bayangan itu perlahan memudar, menghilang satu per satu. Pohon besar di tengah alun-alun retak, suaranya seperti jeritan yang memekakkan telinga.
Wanita tua itu tersenyum untuk terakhir kalinya sebelum tubuhnya juga hancur menjadi debu. “Ingatlah, Ardan. Untuk maju, kau harus kembali.”
Ardan mencoba melangkah mundur, tetapi kabut yang tebal sudah menutupinya dari segala arah. Dia terjebak, tidak tahu apa yang harus dilakukan.
“Selina!” panggilnya, berharap gadis itu muncul lagi.
Namun, yang muncul adalah sosok lain. Bayangan yang lebih tinggi, lebih gelap, dengan mata merah menyala. Itu bukan manusia. Itu sesuatu yang lain.
“Ardan…” suara itu berbisik, tetapi terasa seperti menggema di seluruh desa.
Ardan menghunus pedangnya, bersiap untuk bertarung. Tapi pedangnya tidak menyala. Cahaya yang biasanya terpancar dari senjata itu redup, hampir padam.
Bayangan itu mendekat, mengulurkan tangan hitam yang panjang dengan kuku tajam. “Kau tidak bisa melawanku. Aku adalah bagian darimu.”
“Apa maksudmu?” Ardan bertanya, meski hatinya penuh ketakutan.
“Aku adalah semua yang kau sembunyikan. Rasa takutmu. Rasa bersalahmu. Aku adalah alasan kenapa kau selalu sendirian.”
Ardan menggertakkan giginya, mencoba melawan suara itu. Tetapi kata-kata bayangan itu terasa seperti kenyataan yang tidak bisa dia tolak.
Kabut semakin pekat, dan bayangan itu menutup seluruh pandangan Ardan. Desa, pohon, bahkan langit, semuanya lenyap. Yang tersisa hanyalah kegelapan total.
Dan dalam kegelapan itu, Ardan mendengar suara wanita tua itu lagi, kali ini lebih pelan, seperti bisikan yang jauh.
“Ingatlah, Ardan. Untuk maju, kau harus kembali.”
[Bersambung...]
---