Siapa sangka, Vanya gadis cantik yang terlihat ceria itu harus berjuang melawan penyakitnya. Dokter mengatakan jika Vanya menderita penyakit ALS (Amyotrophic Lateral Sclerosis) yang terjadi akibat gangguan pada saraf motoriknya.
Segala pengobatan telah di upayakan oleh keluarganya, namun belum ada cara untuk bisa mengobati penyakit yang di derita Vanya. Ia yang sudah ikhlas menghadapi penyakit yang ia derita hanya bisa tersenyum di hadapan keluarganya. Walaupun begitu Vanya tetap melakukan aktivitas seperti gadis lainnya agar keluarganya tak terlalu mengkhawatirkan dirinya.
Siapa sangka pertemuannya dengan seorang pemuda bernama Shaka yang memiliki sikap dingin yang jarang berinteraksi dengan teman-temannya jatuh hati saat pertama kali melihat Vanya. Tanpa ia sadari wanita yang ia sukai sedang berjuang melawan penyakitnya.
Mampukah Shaka menjadi penyemangat Vanya di saat ia mulai down? Yuk nantikan kelanjutannya.
Siquel dari Novel yang berjudul "Cerita Kita"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musim_Salju, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Vanya dan Vanka menoleh ke belakang, mendengar suara yang tak asing bagi mereka. Mereka kaget karena salah satu pelayat yang datang dan yang memanggil nama mereka ternyata Shaka, pemuda yang telah menolong mereka.
Baba Daffa dan Ummah Khalisa juga berhenti dan menatap Shaka.
"Maaf, saya baru tahu jika almarhumah adalah keluarga kalian. Saya turut berdukacita cita atas meninggalnya nenek kalian. Kebetulan saya ke sini ikut kakek saya, mereka adalah teman almarhum kakek dan almarhumah nenek kalian."
"Terimakasih, ternyata dunia ini begitu sempit. Oh iya, baba, ummah, kenalkan, dia Shaka, yang kemarin nolongin Vanka dan adek."
Baba Daffa dan ummah Khalisa langsung tersenyum. Beruntung bisa bertemu orang yang telah menolong anak mereka. Shaka juga menyalami baba Daffa, sang kakek yang menyusul cucunya pun bersalaman dengan baba Daffa.
"Loh, kamu anak dari almarhum ustadz Taqa ya nak. Dan apa mereka anak kalian? Apa kalian masih ingat aku?"
Ummah Khalisa dan baba Daffa tampak mengingat. Kumis tebal dan klimis serta memakai baju kemeja kotak-kotak itu mengingatkan mereka kepada seseorang yang pernah datang ke rumah ibundanya nenek Balqis, kebetulan mereka juga ikut bertamu ke sana. Dan beberapa kali bertemu saat ada acara keluarga.
"Maa Syaa Allah, anda tidak berubah sama sekali. Saya masih sangat ingat. Anda ini dulu sering membawa permen dan coklat jika ke rumah nenek kami. Sudah lama kita tidak bertemu. Mari kita ke rumah saya. Lebih enak mengobrol di rumah."
Walaupun dalam keadaan berduka, mereka tetap berusaha menghormati kakeknya Shaka. Namun, karena kakek Shaka masih ada pekerjaan, ia tidak bisa mampir ke kediaman baba Daffa.
Sang kakek juga memperkenalkan cucunya yang bernama Shaka kepada baba Daffa dan ummah Khalisa. Ia memang seumuran dengan nenek Balqis, namun anehnya ia berteman dengan almarhum orang tuanya nenek Balqis. Yah, itu yang di namakan pertemanan bisa dari kalangan manapun, tak melihat usia, baik lebih tua maupun lebih muda. Buktinya persahabatan mereka terpaut jarak dua puluh tahun. Jika di tanya kenapa bisa, ya hanya mereka yang tahu jawabannya.
Mereka berpamitan lebih dulu, bersamaan dengan Shaka. Namun baba Daffa berharap Shaka dan kakeknya bisa memenuhi undangan makan malam, sebagai ucapan terimakasih. Mereka pun pulang setelah berpisah di sana.
......................
Tiga hari berturut-turut telah terlewati, walaupun suasana masih berkabung. Namun kehidupan akan terus berlanjut. Seperti pagi itu Vanya sudah bersiap untuk mengambil tasnya, namun tiba-tiba tangannya tak bisa ia angkat. Lebih tepatnya tangan sebelah kanan.
"Ayolah tanganku bekerjasama." Vanya bermonolog. Ia yang sudah pernah mengalami situasi ini hanya tersenyum tipis. Apa akan secepat ini? Ya, Vanya sudah mempersiapkan dirinya jika sewaktu-waktu penyakit itu kembali menyerang tubuhnya.
Setelah berusaha, akhirnya Vanya bisa meraih tas itu dan menyandangnya di punggung. Ia turun ke lantai bawah dan ikut sarapan bersama di sana.
"Assalamualaikum, pagi semuanya."
"Wa'akaikumsalam."
"Cerah banget pagi ini putri baba. Ada apa sayang?"
Vanya hanya tersenyum. Ia menggelengkan kepala pelan. "Tidak ada apa-apa baba. Bukankah kita harus selalu mengawali hari dengan senyuman."
Pandai sekali gadis cantik ini menjawab. Ummah Khalisa hanya tersenyum melihat keceriaan putrinya. Vanka memperhatikan adiknya. Perasaannya seperti tidak tenang. Apalagi saat Vanya meminta untuk di suapi pagi itu. Perasaan dirinya sebagai seorang kembaran begitu kuat. Namun ia tak ingin berpikiran buruk kali ini. Semuanya pasti baik-baik saja, dan harus baik-baik saja.
"Anka, suapin Anya dong. Aaa..." Suapan itu di dapatkannya, Vanka menyuapi adiknya tanpa berkata. Vanya mengunyah roti selai itu dengan senyuman mengembang. Suapan demi suapan ia dapatkan dari sang kembaran.
"Nih, makan sendiri dek." Vanka ingin melihat reaksi adiknya. Namun Vanya mengatakan sudah kenyang.
"Hehe, Alhamdulillah sudah kenyang. Terimakasih Anka. Anya pagi ini mau ke perpus dulu, soalnya ada buku yang mau Anya cari. Jadi Anka tidak usah berangkat ke kampus buru-buru. Anya tahu, Anka tidak ada kelas pagi bukan?"
Huh, tahu saja gadis satu ini jika saudara kembarnya hanya ada jam siang. Jadinya tidak ada alasan untuk Vanka pergi cepat hanya untuk mengawasi dirinya. Ya, sejak kejadian di kunci di toilet, dan walaupun pelakunya sedang menjalani hukuman skors dari pihak kampus, namun Vanka tetap khawatir kepada Vanya.
"Hati-hati, kabari kalau sudah sampai. Kalau ada yang gangguin Anya di kampus, kasih tahu Anka ya." Ia mengusap kepala adiknya setelah Vanya menyalim sang kembaran. Vanya juga menyalami baba dan ummahnya dan mendapatkan pelukan hangat sebelum berangkat.
"Assalamualaikum,"
"Wa'akaikumsalam."
Vanya terlihat riang saat meninggalkan rumah. Namun saat memasuki mobil, ia terlihat melamun. Wajah yang tadi bersinar seketika sendu. Tak ada lagi senyuman di wajahnya yang cantik. Matanya lurus menatap ke arah jalanan. Begitu pintarnya Vanya menyembunyikan rasa sakitnya. Itu ia lakukan agar keluarganya tidak menghawatirkan dirinya.
Mang Karyo menatap kaca depan, melihat anak majikannya hanya terdiam di pojokan belakang. Namun ia tak enak jika menegur Vanya. Namun rasa khawatirnya membuat ia mengurungkan rasa tak enak itu.
"Non Vanya teh kenapa? Non sehat?"
"Hehe, Alhamdulillah sehat mang. Kenapa atuh? Karena Anya diam saja ya. Anya ini teh mang, lagi menghapal, soalnya mau ada kuis. Jadinya perlu konsentrasi."
Vanya pandai kali berkilah demi menutupi dirinya yang tak baik-baik saja. Mang Karyo percaya-percaya saja. Walaupun ada sedikit keraguan dari ucapan Vanya.
Tak lama mereka tiba di parkiran. Kali ini Vanya memang meminta di turunkan di depan gedung fakultas. Alasannya lagi capek saja.
"Terimakasih mang, hati-hati teh pulangnya. Jangan ngebut ya!"
Mang Karyo tersenyum. Nona mudanya itu memang selalu seperti itu. Setelah mang Karyo pergi meninggalkan kampus, Anya bukannya ke perpus, ia malah berbelok ke arah taman kampus. Di sana masih sepi, karena memang masih sangat pagi.
Vanya duduk di salah satu kursi yang memang sering ia jadikan tempat untuk rehat setelah belajar di kelas.
"Kamu kenapa pagi-pagi sendirian di sini?"
Vanya mendongak, suara lelaki yang tak asing baginya tiba-tiba menghampiri. Setelah tiga kali pertemuan mereka, Vanya seperti sudah sangat mengenal suara Shaka. Ya, Shaka yang tiba-tiba ada di sana dan ikut duduk tak jauh dari Vanya.
"Kamu juga kenapa pagi-pagi sudah di sini." Bukannya menjawab, Vanya malah balik bertanya. Shaka hanya menggeleng dan menatap lurus ke arah bunga yang ada di hadapan mereka.
Mereka sama-sama terdiam di waktu yang cukup lama. lima belas menit termasuk waktu yang lama untuk berdiam diri.
......................
...To Be Continued...
kalau shaka anak siapa ya thor?