DILARANG PLAGIASI! KARYA ORISINIL NURUL NUHANA.
Apa yang akan kalian lakukan jika menyadari kehidupan kalian dalam bahaya? Tentunya takut bukan?
Itulah yang saya alami, setelah secara tidak sengaja membantu membayarkan makanan seorang pria di sebuah Kafe. Sebuah kebaikan dan ketidaksengajaan yang membuat hidup saya masuk ke jurang kesengsaraan dan kriminalitas. Pria yang sempat saya tolong itu menjadi obsesi dan semua tindakannya untuk mendapatkan saya sudah sangat mengganggu ketenangan dan membahayakan.
Gilanya obsesi pria itu sampai memaksa saya untuk menikah dengannya. Saya yang ketakutan dan terancam, menerima pernikahan itu dengan terpaksa. Saya tetap saja tidak mencintai suami saya, walau perlakuannya seperti malaikat. Tapi suami saya juga bisa langsung berubah menjadi iblis jika saya memberontak.
"Kurang ajar! Kabur sejauh ini ternyata kamu ingin mengaborsi anak kita!" Hans membentak dan mencengkram dagu saya.
"Kamu tidak akan pernah bisa lari dari saya Mona!" ejeknya tertawa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NURUL NUHANA., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SAHABAT SMA.
"Riko?" Panggil saya setelah melihat siapa yang menyapa dan menepuk bahu kanan saya.
"Hai Mona?" sapanya tersenyum.
Saya membalas senyumnya dengan antusias dan bertanya,"Apa kabar Riko?"
"Alhamdulillah baik." jawabnya.
"Kamu baik juga kan?" tanya Riko.
"Iya Alhamdulillah saya juga baik," jawab saya.
"Em ... tunggu sebentar ya Riko, saya mau bayar dulu," izin saya diangguki Riko.
"Pak, ini kentang saya. Sama daun seledri du ribu dan daun bawangnya juga kasih dua ribu ya Pak," pinta saya dan sang penjual langsung menyiapkannya.
"Apa lagi Mbak?" tanya penjual itu.
"Sudah Pak, itu saja," jawab saya.
Penjual menghitung total belanjaan saya dengan kalkulatornya. Saya mengeluarkan dompet bersiap untuk membayar dari saku celana. Penjual menyebutkan total nominalnya,"49 ribu rupiah Mbak totalnya."
Saya mengambil uang selembar 50 ribu dari dalam dompet, namun saat hendak membayarkan, Riko lebih dulu memberikan uangnya,"Ini Pak uangnya."
Melihat hal itu saya menahan tangannya agar penjual tidak menerima uang 50 ribu milik Riko, dan menolaknya,"Jangan Riko, pakai uang saya saja."
"Tidak apa Mona. Biar saya yang bayar, uang kamu simpan saja," jawab Riko.
"Ini Pak uangnya, kembalian seribunya kasih seledri lagi saja Pak," pinta Riko seraya memberikan uangnya.
"Ini Mas, terima kasih ya." Ucap penjual seraya memberikan daun seledri. Riko menerima daun seledri itu dan memasukkannya ke dalam kanton plastik yang saya pegang.
"Sama-sama Pak," jawab kami berdua.
"Sini biar saya yang bawa," pinta Riko langsung merebut kantong plastik berisi belanjaan yang saya pegang.
"Mau belanja apa lagi?" tanya Riko seraya pergi dari sana.
"Tidak ada lagi, kita menunggu di depan saja. Karena tadi saya janjian menunggu kedua teman saya di sana," jawab saya dan mengajaknya ke luar dari pasar.
"Baik," sahut Riko.
Kami berdua berdiri di dekat lapak penjual kelapa dan ikan. Sambil menunggu Milu dan Lisa kembali dari dalam Pasar setelah selesai membeli daftar belanjaan mereka. Riko berdiri di sebelah kanan saya, pandangannya melihat ke sekitar. Jujur saja, saya sangat gugup sekarang, entah apa yang harus salah lakukan selain memilin jari.
"Mona?" panggil Riko.
"I-iya?" sahut saya.
"Dari dulu kamu tidak berubah ya. Masih saja pendek dan suka mengucir rambut," ucap Riko diselingi tawa.
"Ih ... apaan sih!" sahut saya.
"Ih ... merajuk ... makin jelek kalau bibirnya manyun," ejek Riko menggoda.
"Namanya saya tidak pernah skincarean. Nanti kalau saya perawatan, baru kamu tahu kalau saya cantik!" seru saya membela diri.
"Gak perlu skincarean, kamu cukup tersenyum saja sudah membuat cantik," balasnya.
"Mana ada," tolak saya.
"Ada, kan itu dari pandangan mata saya," jawabnya.
"Kamu masih sama saat kita SMA dulu. Tidak ada yang berubah sedikitpun," ucapnya tersenyum.
Saya tersipu malu mendengarnya, entah itu suatu pujian atau hinaan. Saya bertanya,"Itu pujian atau hinaan?"
"Pujian," jawabnya.
"Tadi kamu bilang saya jelak!" sindir saya.
Riko sontak tertawa dan menjawab,"Itu saya hanya menggodamu."
Riko adalah teman SMA saya, bisa dibilang kami adalah sahabat yang baik dulu. Riko satu-satunya teman yang saya punya saat SMA. Dimana semua teman menjauhi dan merundung saya, Riko selalu membela dan menjadi garda terdepan dalam hidup saya. Namun, kami harus berpisah setelah lulus SMA karena Riko mendapat beasiswa dan lulus di Perguruan Tinggi Negeri Terbaik di Indonesia. Saat itu, komunikasi kami terputus, karena saya tidak memiliki telepon genggam. Jadi sangat sulit untuk memberi kabar satu sama lain, beruntung takdir mempertemukan kami sekarang.
"Kamu sudah lulus kuliah?" tanya saya.
"Sudah, tapi belum lanjut S2. Belum kepikiran, masih mau bekerja dulu," jawabnya.
"Bagaimana masa-masa kuliah kamu? Tidak ada yang jahatkan?" tanya saya.
"Tidak, semuanya baik. Hanya saja, saya merasa tidak seru karena tidak ada kamu di sana," jawabnya.
"Hidup kita sudah masing-masing Riko," balas saya.
"Saya mencari kamu selama bertahun-tahun Mona. Setiap saya libur kuliah, saya selalu datang ke rumah kamu. Tapi kata tetangga sekitar, keluarga kamu sudah pindah rumah. Saya sulit menghubungi kamu, karena kamu dulu belum punya telepon genggam. Saya bertanya kabar kamu dari semua teman SMA kita, tapi mereka juga tidak ada yang tahu dan tak peduli. Bahkan saya sedih sekali saat kamu tidak datang ke wisuda saya, karena saya tidak berhasil menemukan kamu." Ucap Riko menjelaskan membuat saya sangat terharu.
"Maafin saya Riko, saya tidak datang ke wisuda kamu," mohon saya.
"Tidak apa. Yang penting kamu sekarang baik-baik saja," balasnya.
"Oh iya, kamu mau beli apa Riko?" tanya saya.
"Saya tidak mau membeli apa-apa," jawabnya.
Saya heran mendengar jawabannya dan kembali bertanya,"Loh, jadi kamu mau ngapain ke Pasar?"
"Mengikuti kamu," jawabnya.
"Ha? Untuk apa?" tanya saya terkejut.
"Untuk bercerita, saya punya cerita bagus," jawabnya.
"Mau dengar?" tanyanya.
"Boleh," jawab saya.
"Tadi malam saya melihat ada seorang gadis bertengkar sama penjual makanan. Terus si gadis itu dengan lantang menyuarakan perlawanannya hingga sang lawan menyerah dan mati kutu. Pokoknya seru sekali perdebatannya Mona. Seharusnya kamu ada di sana," ujar Riko menceritakan dengan antusias.
"Oh ya? Di mana?" tanya saya penasaran.
"Di Dekat simpang empat Hamrin Taram," jawab Riko.
"Loh, iya kah? Saya juga tadi malam sama teman saya berantam sama penjual ayam penyet," ujar saya.
"Nah iya, itu yang saya lihat kamu," ucap Riko dengan santai.
"Loh! Jadi kamu ada di situ? Jadi kamu tadi menyindir saya dengan ceritamu ya?" tanya saya.
Riko tertawa dan menjawab,"Iya Mona."
"Sebenarnya tadi malam kita sudah bertemu, tapi saya ragu mau menegur kamu. Saya sedikit tidak yakin apakah itu kamu, dan kamu juga tidak sadar bahwa itu saya. Padahal kita sempat saling bertatap mata sebelumnya. Entah karena kamu melamun makanya tidak ingat saya," jelas Riko.
"Masa sih? Saya tidak sadar ada kamu Riko. Jujur saja, tadi saya sempat tidak tanda kamu siapa, karena perubahan fisik kamu sudah sangat banyak. Tapi saya sadar itu kamu saat melihat luka di pelipis kiri kamu." Ucap saya jujur.
"Masih ingat saja luka ini," balas Riko.
"Masih dong," jawab saya.
"Mata saya rabun Riko, jadi tidak terlalu bisa melihat dengan jelas. Mungkin itu alasan saya tidak tanda kamu tadi malam, maaf ya," mohon saya.
"Kamu belum beli kacamata juga? Padahal sudah sejak SMA matanya rabun," tanya Riko.
"Uang saya belum cukup. Nanti saja belinya," jawab saya jujur.
"Oh iya, jadi kamu tadi mengikuti saya?" tanya saya memastikan.
Untung berhasil selamat.
Walau baju sudah compang-camping!
Tapi masa Mona mati?/Sob/
Makanya jangan banyak tingkah Hans!
Masuk ICU kan jadinya/Drowsy/
Riko siapa ini?/Scream/