Jangan pernah sesumbar apapun jika akhirnya akan menelan ludah sendiri. Dia yang kau benci mati-matian akhirnya harus kau perjuangkan hingga darah penghabisan.
Dan jangan pernah meremehkan seseorang jika akhirnya dia yang akan mengisi harimu di setiap waktu.
Seperti Langit.. dia pasti akan memberikan warna mengikuti Masa dan seperti Nada.. dia akan berdenting mengikuti kata hati.
.
.
Mengandung KONFLIK, di mohon SKIP jika tidak sanggup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NaraY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16. Si lugu Mahadinar.
Sekuatnya Dinar menarik sikunya kemudian menghantamkan ke perut Bang Ratanca.
buugghh..
"Astaghfirullah.. Dinaaarr..!!!!!!!!!" Dekapan itu akhirnya merenggang juga.
"Lemah sekali. Seperti ini kenapa bisa jadi tentara." Oceh Dinar.
Seisi gedung tidak ada yang berani menjawab Omelan Ibu Danton. Seluruh dunia pun tau, lelaki sejati tidak akan menggunakan tenaganya untuk menyakiti wanita terlebih wanita tersebut sedang hamil. Setidaknya mereka tau kabar tersebut dari Prada Slamet.
"Hajar Din..!!!!" Kata Bang Dalu yang akhirnya tiba di gedung olahraga.
Mendengar restu dari Abangnya, jelas Dinar langsung menghajar suaminya tanpa ampun.
buuugghhh..
Bang Ratanca melirik Bang Dalu dengan gemas sedangkan disana Bang Langkit menatap Dinar dengan senyum yang sulit untuk di artikan.
"Aduuuhh Tuhan.. remuuuk..!!!!!" Gerutu Bang Ratanca.
Tawa Bang Dalu membahana. Di bantu Prada Slamet dan Prada Dhito, ia membawa Bang Ratanca untuk beristirahat. Di sudut sana, Bang Langkit terus memandangi wajah Dinar kemudian kwmbali tersenyum kecut.
'Jika saja aku tau lebih awal. Jika saja Ditho dan Sammy tidak menceritakan padaku tentang perasaanmu, mungkin aku akan lebih memilih mu, aku tidak tega jika kau menikah dengan Ranca. Dia laki-laki yang kasar, tapi apalah daya.. Nada sudah mengandung buah hatiku.'
"Katakan, darimana uangnya??????" Sekali lagi Dinar mengancam dengan tatapan matanya. Dirinya berharap Bang Ratanca ketakutan karena melihatnya sudah seperti induk harimau yang sedang marah.
Berbeda dengan Bang Ratanca yang sebenarnya ingin tertawa terbahak di balik rasa gemasnya. Dinar bagai anak kucing yang sedang ingin di manja.
"Sebelum Ranca jadi tentara, dari jaman sekolah pun dia sudah punya pekerjaan di luar. Sudahlah, jangan banyak tanya lagi..!!" Tegur Bang Dalu.
"Ini dia yang buat Dinar curiga. Benar kan, Om Ran ram...."
"Dinaaaarr..!!! Ya Allah Gustiii..!!!!" Terpaksa Bang Dalu menjepit bibir Dinar yang terus mengoceh.
"Lain kali saya ajak kamu lihat apa yang saya kerjakan. Kamu tenang saja, semuanya halal." Kata Bang Ratanca meyakinkan Dinar. "Uang dan barang yang saya kirimkan padamu, murni hasil kerja keras saya. Di terima ya, dek..!!"
Dinar seperti terbius suara lembut Bang Ratanca. Haruskah dirinya menerima pria yang berprofesi sebagai seorang tentara padahal sebenarnya sang Ayah tidak pernah menginginkan punya menantu seorang tentara.
"Yang di dalam kotak kaca, berapa jumlahnya??" Tanya Dinar.
"Kamu tidak lihat?? Semua sesuai dengan tanggal lahirmu." Jawab Bang Ratanca kemudian menunjukan foto seserahan dari ponselnya yang sempat ia abadikan.
Dinar menghitung jumlah angka nol yang ada disana sampai kemudian menutup mulutnya yang ternganga lebar dengan kedua telapak tangannya.
"Dua puluh dua juta dua ratus ribu rupiah?????" Pekik Dinar.
"Iya. Maaf saya nggak berunding sama kamu tentang nominalnya."
Dinar terduduk lemas. Di ingatnya satu persatu barang yang ada di rumahnya. Kepalanya pening sendiri. Jumlah uang di tangannya sudah sebanyak itu, bagaimana dengan barang yang ada di rumah. Mungkin bagi sebagian orang, seluruh nominal tersebut tidak berarti apapun tapi bagi dirinya yang tidak pernah tau rasanya memegang uang tersebut jelas membuat dirinya merasa menjadi 'orang terkaya di dunia'.
Bang Ratanca mulai cemas karena Dinar malah jadi terdiam tanpa kata. Ia berjongkok dan memastikan keadaan sang istri.
"Dek, kamu kenapa?" Bang Ratanca menggoyang lengan Dinar yang masih terdiam dengan tatapan kosong.
Bang Langkit semakin takjub melihat polosnya istri Letnan Ratanca.
...
Lima belas panggilan telepon dari Nada belum sempat di angkatnya. Hati dan pikirannya masih terbayang sosok Dinar yang ceria di balik kepolosannya. Perasaannya menjadi tidak menentu.
'Aku sudah membuatmu menangis. Bagaimana caraku menebus kesalahanku, Dinar??'
Tak lama berselang, Nada masuk ke dalam ruangannya.
"Kenapa tidak angkat telepon dari Nada??" Protes Nada.
"Maaf, sayang..!! Abang masih ada pekerjaan." Jawab Bang Langkit.
Kening Nada berkerut, ia tidak melihat berkas atau apapun terkait pekerjaan calon suaminya. Perasaannya tiba-tiba saja menjadi tidak enak.
Tau Nada mulai mencurigai dirinya, Bang Langkit segera menarik tangan Nada agar duduk di pangkuannya.
"Hanya tinggal tanda tangan Danyon saja, kan?? Tidak usah secemas itu. Setelah ini kita menikah dan resmi menjadi suami istri." Kata Bang Langkit membujuk Nada.
Senyum Nada pun merekah. Memang itulah yang di inginkan nya. Perutnya akan semakin membesar dan tidak bisa di sembunyikan lagi.
//
Bang Ratanca membiarkan Dinar yang sedang sibuk dengan barang-barang nya. Dari sofa ruang tamu, ia hanya mengawasinya saja sambil menikmati kopi hitam namun kali ini tanpa rokok karena dirinya begitu menjaga kehamilan bumil.
"Setelah Om Ran beli semua barang ini, apakah sekarang Om Ran masih punya uang?" Tanya Dinar.
Bang Ratanca mengambil dompetnya lalu membuka isinya yang sudah kosong melompong.
"Habis??????"
Hanya senyum saja mengulas wajah tampan Danton kompi.
"Sudah Dinar duga. Pasti sekarang Om tidak punya apa-apa lagi. Kenapa tidak berunding dari awal?? Kita tidak harus beli barang sebanyak ini." Kata Dinar kini nampak berpikir keras. Jiwa tangkas wanitanya pun tiba-tiba muncul.
"Kalau saat itu saya berunding dengan kamu, pasti sekarang kita belum jadi suami istri." Jawab Bang Ratanca.
"Iya lah, Dinar masih suka sama Om Langkit." Dinar mengatakannya dengan sangat jelas.
Sebersit rasa sakit menyelinap dalam hati Bang Ratanca namun sebagai kepala keluarga, dirinya harus bisa menekan emosi dan sanggup membimbing istri kecilnya.
"Dinar.. nggak boleh bilang begitu, sayang..!! Nggak pantas kalau di dengar orang. Dinar sekarang sudah jadi istri Om Ran." Tanpa kata kasar, Bang Ratanca mencoba mendidik sang istri. "Kalau semua masalah ini menyinggung saya pribadi, tak masalah. Saya sanggup menjawabnya sendiri tapi kalau kamu.. saya khawatir kamu tidak akan kuat menanggung kerasnya dunia yang sesungguhnya. Dinding ini mampu berbicara, angin pun menyampaikan berita."
Sebenarnya Dinar tidak begitu paham dengan ucapan Bang Ratanca tapi ia menyadari kemungkinan besar akan ada bahaya jika dirinya salah berbicara.
Dinar kembali terfokus pada banyaknya barang di hadapannya. Rasanya barang sebanyak ini akan membingungkan untuk di habiskan nya seorang diri.
Masih dalam kebingungan nya, ia melirik Bang Ratanca yang kini memantau informasi dari ponselnya.
"Om Ran..!!"
"Dalem.. ada apa?" Jawab Bang Ratanca meskipun matanya masih mengarah pada ponsel.
"Sebenarnya Om Ran suka sama Dinar atau tidak??" Tanya Dinar.
Bang Ratanca pun meletakan ponselnya lalu menatap kedua bola mata Dinar yang menunggu jawaban darinya.
"Kalau tidak suka, mana mungkin pernikahan ini terjadi. Kalau saya tidak suka, tidak akan ada dedek bayi di perutmu." Jawab Bang Ratanca simple saja mengikut alur pikiran Dinar agar istrinya itu mudah untuk mengerti ucapannya. "Dinar sendiri, suka sama Om Ran atau tidak??"
"Hmmm.. sebenarnya Dinar nggak ngerti. Belakangan ini Dinar pengen dekat sama Om Ran, rasanya pengen meluk tapi pengen muntah juga kalau lihat wajah Om Ran." Jawab jujur Dinar dan Bang Ratanca hanya bisa menggeleng kepala mendengar jawaban ajaib si cantik Mahadinar.
.
.
.
.