NovelToon NovelToon
Love Or Tears

Love Or Tears

Status: sedang berlangsung
Genre:Mengubah Takdir / Tukar Pasangan
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: Putu Diah Anggreni

Rani seorang guru TK karena sebuah kecelakaan terlempar masuk ke dalam tubuh istri seorang konglomerat, Adinda. Bukannya hidup bahagia, dia justru dihadapkan dengan sosok suaminya, Dimas yang sangat dingin Dan kehidupab pernikahan yang tidak bahagia.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putu Diah Anggreni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kemarahan Dimas

Malam telah larut ketika Bu Siti akhirnya pamit pulang. Udara terasa berat, seolah masih menyimpan ketegangan dari pertemuan yang baru saja berlalu. Dimas berdiri di ambang pintu, menatap kosong ke arah jalanan yang sepi. Lampu-lampu jalan berkedip lemah, menciptakan bayangan-bayangan aneh di pekarangan rumah.

Setelah menutup pintu, Dimas berdiri diam di ruang tamu. Matanya menyapu ruangan yang kini terasa asing. Foto-foto keluarga yang terpajang di dinding seolah mengejeknya, mengingatkan akan kehidupan normal yang kini terasa begitu jauh.

Dengan langkah berat, Dimas menaiki tangga menuju lantai dua. Setiap derit kayu di bawah kakinya terdengar memekakkan di tengah kesunyian rumah. Ia berhenti di depan pintu kamar Rani, tangannya terulur ke gagang pintu namun terhenti di udara. Untuk beberapa saat, ia hanya berdiri di sana, mencoba mengumpulkan keberanian.

Akhirnya, tanpa mengetuk, Dimas membuka pintu dengan kasar. Suara pintu yang terbanting ke dinding memecah keheningan malam, membuat Rani yang sedang duduk di tepi tempat tidur terlonjak kaget.

"Dimas!" seru Rani, matanya melebar kaget. "Kau mengagetkanku."

Kamar itu remang-remang, hanya diterangi oleh lampu tidur di sudut ruangan. Bayangan-bayangan menari di dinding, menciptakan atmosfer yang mencekam. Dimas melangkah masuk, tubuhnya yang tinggi memenuhi ambang pintu. Ia menutup pintu di belakangnya dengan suara 'klik' pelan yang terdengar seperti vonis.

"Cukup sudah sandiwaramu," ujar Dimas, suaranya rendah dan dingin. Matanya yang gelap menatap tajam pada Rani, seolah ingin menembus ke dalam pikirannya. "Apa sebenarnya yang kau rencanakan?"

Rani mencoba mempertahankan ekspresi bingungnya, tapi jemarinya yang gemetar mengkhianatinya. "Apa maksudmu? Aku tidak mengerti."

Dimas mendengus, suaranya penuh sarkasme. "Jangan pura-pura bodoh," desisnya. Ia melangkah mendekat, setiap langkahnya terasa menggetarkan lantai kayu di bawahnya. "Kau pikir aku tidak tahu kau sedang berpura-pura? Bagaimana mungkin kau tidak mengenali ibumu sendiri?"

Rani berdiri, mencoba menjaga jarak dari Dimas. Punggungnya menabrak lemari pakaian, menimbulkan suara berderit yang memecah keheningan. "Aku sudah bilang, aku tidak ingat. Amnesiaku...."

"Omong kosong!" potong Dimas. Suaranya yang keras memantul di dinding-dinding kamar, membuat Rani tersentak. "Kau ingat hal-hal lain dengan baik. Kau bahkan tiba-tiba bisa memasak. Tapi tiba-tiba kau lupa pada ibumu sendiri? Aku tidak bodoh, Adinda?"

Rani terdiam, matanya bergerak gelisah. Ia bisa merasakan jantungnya berdegup kencang, suaranya seolah terdengar di seluruh ruangan. "Aku... aku tidak berbohong, Dimas. Sungguh."

Dimas mendengus lagi, kali ini lebih keras. Ia berjalan mondar-mandir di kamar, setiap langkahnya terdengar seperti hentakan. "Kalau begitu jelaskan padaku," tuntutnya. "Kenapa kau berpura-pura tidak mengenal ibumu? Apa yang sebenarnya kau sembunyikan?"

Rani menggigit bibirnya, pikirannya berpacu mencari alasan. Keringat dingin mulai membasahi dahinya, terlihat berkilau di bawah cahaya remang-remang. "Aku... aku benar-benar tidak ingat. Mungkin ingatanku tentang keluarga yang paling terganggu."

"Omong kosong," ulang Dimas. Ia berhenti berjalan dan menatap Rani lekat-lekat. Matanya yang gelap seolah menyala dalam keremangan kamar. "Kau ingat tentang ayahmu minggu lalu. Kau bahkan menceritakan tentang liburan keluarga kita tahun lalu. Tapi tiba-tiba kau lupa pada ibumu? Aku tidak percaya."

Rani mulai panik, tapi ia berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang. Tangannya mencengkeram erat pinggiran lemari di belakangnya. "Dimas, kumohon percayalah padaku. Aku tidak berbohong. Aku benar-benar tidak ingat."

Dimas melangkah mendekat, setiap langkahnya terasa menggetarkan udara di sekitar mereka. Ia berhenti tepat di depan Rani, matanya menatap tajam ke mata istrinya. "Katakan yang sebenarnya," desisnya. "Apa yang kau sembunyikan? Apa yang terjadi antara kau dan ibumu?"

Rani mundur hingga punggungnya menempel rapat ke lemari. Ia bisa merasakan nafas Dimas yang panas di wajahnya. "Tidak ada apa-apa, Dimas. Aku bersumpah."

"Berhenti berbohong!" Dimas menggebrak lemari di samping kepala Rani, suaranya menggelegar di ruangan yang sunyi. Rani terlonjak kaget, matanya melebar ketakutan. "Aku sudah cukup bersabar dengan semua kebohonganmu. Katakan yang sebenarnya atau aku akan menelepon ibumu sekarang juga dan menceritakan semua kecurigaanku."

Rani menatap Dimas, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Cahaya dari lampu tidur memantul di air matanya, menciptakan kilau yang kontras dengan kegelapan di sekitar mereka. Ia tahu bahwa kebohongannya sudah di ujung tanduk. Namun, ia masih mencoba bertahan. "Dimas, kumohon... aku tidak berbohong. Aku benar-benar tidak ingat."

Dimas menatap Rani lama, mencoba membaca ekspresinya. Keheningan yang mencekam menyelimuti mereka, hanya terdengar deru nafas mereka yang berat. Akhirnya, ia mundur selangkah. "Baik," ujarnya, suaranya kembali dingin dan terkontrol. "Jika kau memang tidak berbohong, kita akan ke dokter besok. Kita akan melakukan pemeriksaan menyeluruh. Jika memang ada yang salah dengan ingatanmu, kita akan tahu."

Rani menelan ludah, tahu bahwa ia terjebak. "Ba-baiklah," ujarnya terbata.

Dimas berbalik, berjalan menuju pintu. Langkahnya yang berat bergema di kamar yang sunyi. Sebelum keluar, ia berhenti dan berkata tanpa menoleh, suaranya sedingin es, "Aku harap kau siap menghadapi konsekuensinya jika ternyata kau berbohong, Adinda."

Dengan itu, Dimas keluar dan membanting pintu, suaranya bergema di seluruh rumah. Rani jatuh terduduk di lantai, kakinya tidak lagi mampu menopang berat tubuhnya. Air matanya akhirnya tumpah, isakan tertahannya memecah kesunyian malam.

Di luar kamar, Dimas bersandar pada dinding, matanya terpejam erat. Ia bisa mendengar isakan pelan Rani dari balik pintu. Untuk sesaat, ia tergoda untuk kembali masuk dan memeluk istrinya. Namun, kecurigaan dan amarah yang telah lama terpendam mengalahkan dorongan itu. Dengan langkah berat, ia berjalan menuju kamar tamu, meninggalkan Rani sendirian dengan pikirannya yang kacau.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!