"Tarian di Atas Bara"
(Kisah Nyata Seorang Istri Bertahan dalam Keabsurdan)
Aku seorang wanita lembut dan penuh kasih, menikah dengan Andi, seorang pria yang awalnya sangat kusayangi. Namun, setelah pernikahan, Andi berubah menjadi sosok yang kejam dan manipulatif, menampakkan sisi gelapnya yang selama ini tersembunyi.
Aku terjebak dalam pernikahan yang penuh dengan penyiksaan fisik, emosional, dan bahkan seksual. Andi dengan seenaknya merendahkan, mengontrol, dan menyakitiku, bahkan di depan anak-anak kami. Setiap hari, Aku harus berjuang untuk sekedar bertahan hidup dan melindungi anak-anakku.
Meski hampir putus asa, Aku terus berusaha untuk mengembalikan Andi menjadi sosok yang dulu kucintai. Namun, upayaku selalu sia-sia dan justru memperparah penderitaanku. Aku mulai mempertanyakan apakah pantas mendapatkan kehidupan yang lebih baik, atau harus selamanya terjebak dalam keabsurdan rumah tanggaku?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bintang Ju, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hanya Untuk Kesenangan Sendiri
Setelah kejadian Andi berselingkuh saat aku sedang dalam masa nifas, hubungan kami semakin memburuk. Andi semakin sering pulang dalam keadaan mabuk dan jarang membawa uang hasil kerjanya.
Awalnya, Andi masih bekerja serabutan di sana-sini untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga kami. Tapi lama-kelamaan, uang yang ia dapatkan hanya dipakai untuk mabuk-mabukan dan berjudi.
Aku hanya bisa menangis menyaksikan semua ini. Sementara aku dan anak-anak kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari, Andi justru lebih mementingkan kesenangannya sendiri.
Aku sudah berkali-kali minta uang belanja kepada Andi, tapi selalu saja ada alasannya.
“Andi, aku minta uang belanja. Di rumah kita sudah tidak ada apa-apa”
Tapi Andi selalu marah dan memukulku jika aku memintanya.
"Uang itu milikku! Aku bisa menggunakannya sesuka hatiku!" bentaknya.
“Tapi kami ini anak istri kamu Andi. Kami tidak mungkin terus-terusan meminta kepada ibuku, apalagi kepada tetangga”
“Itu bukan urusanku. Lagian kalian bisa mencari sendiri uang untuk beli makan”
“Satu lagi ya, kalian itu hanya jadi beban hidupku saja” Ujarnya sambil berjalan meninggalkanku.
Aku berusaha menahan sakit hati setiap kali melihat Andi pulang dalam keadaan mabuk. Ia tidak lagi peduli pada aku dan anak-anak. Yang ia pikirkan hanya bagaimana cara mendapatkan uang untuk berjudi dan mabuk-mabukan.
Kadang Andi bahkan mengambil barang-barang berharga di rumah untuk dijual demi mendapatkan uang judi. Aku benar-benar tidak berdaya menghadapi perilakunya yang semakin liar itu.
“Ibu malam ini kita mau makan apa? Aku sudah lapar bu” Kata Tri dengan polosnya.
“Sabar nak. Ibu berusaha dulu mencarikan kita bahan makanan”
Hatiku terasa teriris melihat anakku kelaparan seperti itu.
Di saat kami kekurangan biaya untuk makan, Andi malah asyik bermain judi sampai larut malam. Ia selalu pulang dengan tangan hampa atau bahkan membawa utang yang harus kami tanggung.
“Harus sampai kapan hidupku menderita seperti ini?” Tanyaku dalam hati diiringi tetesan air mataku.
Kehidupan kami semakin menyedihkan. Anak-anak sering menangis kelaparan, tapi Andi tidak peduli. Ia lebih memilih mabuk dan berjudi daripada memperhatikan keluarganya.
Aku sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa. Setiap hari, hatiku semakin terluka menyaksikan kesengsaraan yang kami alami. Apakah aku harus tetap bertahan, atau pergi meninggalkan Andi?
***
Situasi kami semakin hari semakin memburuk. Andi semakin tenggelam dalam dunia mabok dan judinya, sementara aku dan anak-anak harus berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tapi Andi akan senang makan hasil jerih payahku memenuhi kebutuhan, sebaliknya dia akan marah jika tidak tersedia makanan di rumah saat dia hendak makan.
Kadang aku merasa heran dan aneh dengan sikap suamiku. Dia tidak mau memberikan uang belanja, tapi dia selalu ikut menikmati makanan yang tersaji. Sebaliknya, jika dia membeli makanan, maka itu hanya untuk dinikmati sendiri dan tidak pernah berbagi kepada anak istrinya.
Aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk mencari pekerjaan tambahan, tapi hasilnya tetap tidak cukup untuk menutupi semua pengeluaran. Andi sama sekali tidak mau membantu, bahkan uang yang ia dapatkan hanya dipakai untuk kesenangan pribadinya.
Aku akhirnya terpaksa memutuskan untuk meminta bantuan kepada keluargaku. Ini adalah keputusan yang sangat sulit bagiku, karena aku tidak ingin dianggap gagal sebagai istri dan ibu.
Dengan berat hati, aku pun pergi menemui ibu atau saudaraku.
“Ibu aku minta maaf jika harus merepotkan terus. Aku mau minta beras beberapa liter, agar anak-anakku bisa makan dalam beberapa hari ini. Sambil aku mencari-cari pekerjaan yang menghasilkan.” Ujarku kepada ibu.
“Tidak apa-apa nak. Selama ibu masih ada, ibu tidak mungkin membiarkan anak cucunya kelaparan. Lagian biaya hidupku sekarang kan hasil gaji pensiun bapakmu juga”
Luka hatiku terasa terobati lagi jika mendengar kata-kata bijak ibuku. Aku sangat bersyukur atas kebaikan ibu selama ini. Sejak ayahku meninggal ibu memilih untuk tidak menikah lagi dan hanya fokus membesarkan kami anak-anaknya. Sehingga sampai sekarang pun dia tetap menjadi ibu yang selalu memperhatikan kebutuhan anak-anaknya bahkan cucu-cucunya.
Terutama jika keadaan sudah semakin mendesak. Anak-anak sudah menangis kelaparan dan kami kekurangan biaya belanja. Aku harus menelan rasa malu dan segera meminta pertolongan. Untungnya, rumah yang kami tempati saat ini adalah rumah pribadi bukan rumah sewa. Aku tidak bisa bayangkan jika itu adalah rumah sewa. Berapa biaya yang dibutuhkan untuk menyewa rumah ditambah lagi dengan biaya konsumsi dan lainnya.
Namun, dalam kondisi serba berkekurangan seperti ini, dimana Andi seolah-olah melepas tanggung jawabnya sebagai seorang suami, aku tetap berharap dia bisa berubah. Aku ingin ia kembali menjadi suami dan ayah yang bertanggung jawab, sehingga kami tidak harus selalu bergantung pada bantuan orang lain.
Tapi sepertinya, harapan itu semakin tipis. Andi justru semakin tenggelam dalam kebiasaan buruknya. Aku khawatir, suatu hari nanti, ia tidak akan bisa lagi menghargai perjuangan kami untuk mempertahankan rumah tangga ini.
***
Setelah kami menerima bantuan dari orang tua, keadaan kami memang sedikit membaik. Tapi masalah lain justru muncul. Andi, yang semakin hari semakin pelit, melarangku untuk memberikan apapun kepada siapapun, termasuk kepada ibuku sendiri.
"Uang itu hasil jerih payahku! Jadi kau tidak boleh memberikannya kepada orang lain. Termasuk uang yang kau peroleh sendiri, juga tidak boleh kau berikan kepada orang lain, termasuk kepada keluargamu sendiri. Ingat itu, dan jangan coba-coba melanggar" bentaknya suatu hari.
“Masa sih kita tidak boleh memberi bantuan sama orang lain? Itukan sedekah. Lagian, kita juga sering minta bantuan ke keluargaku. Dan ibuku adalah orang yang paling berjasa bagi kita selama ini. Dialah orang yang pertama kali memberikan bantuan ketika kita kekurangan makanan”.
“Kalau Aku bilang tidak, ya tidak. Tidak usah ngeyel lagi”
Andi tetap bersikeras. Ia tidak mau sedikit pun uang hasil jerih payahnya diberikan kepada ibuku atau siapapun. Ia hanya ingin menyimpannya sendiri.
"Itu uangku! Terserah aku mau menggunakannya untuk apa!" teriaknya.
“Keterlaluan sekali kau Andi. Kau sama sekali tidak punya rasa terima kasih” ujarku dalam hati.
Aku hanya bisa menangis menyaksikan betapa pelit dan tiadanya rasa terima kasih Andi kepada orang-orang yang telah membantunya. Ia benar-benar buta akan hutang budi.
Padahal, tanpa bantuan ibu, entah bagaimana nasib kami. Andi yang hanya mementingkan mabuk dan judi sama sekali tidak bisa diandalkan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Aku benar-benar kecewa dengan sikap Andi. Ia begitu egois dan tidak tahu terima kasih. Aku semakin putus asa memikirkan masa depan rumah tangga kami.
Apakah Andi akan terus bersikap seperti ini? Kapan ia bisa sadar akan pentingnya membalas budi kepada orang-orang yang telah membantunya?
***
Meski Andi sangat pelit dan tidak mau berbagi, aku tetap berusaha untuk mencari cara agar keluarga kami bisa makan dengan layak. Aku tak ingin anak-anak terus menerus kekurangan makanan.
Suatu hari, saudaraku yang berprofesi sebagai PNS menghubungi aku dan meminta nomor rekening, aku pun mengirimkannya. Dan tak lama kemudian, dia menelpon balik
“Halo kak, aku sudah kirim ya. Maaf Cuma seadanya saja kak. Doakan kami banyak rejeki, sehingga bisa berbagi dengan kakak”
“Terima kasih banyak dek. Kakak selalu mendoakan kalian selalu dalam keberkahan Allah”
Setiap bulan, adikku selalu menyisihkan sedikit uang dari gajinya untuk aku dan anak-anakku. Sebenarnya aku malu jika dia harus mengirimkan setiap bulan kepada kami. Tapi apa hendak dikata, kondisi ekonomi kami yang sangat memprihatinkan. Ditambah lagi dengan sikap suami yang tidak peduli kepada kami. Maka dengan berat hati pun aku terima kiriman uang adikku.
Setiap kali aku mendapat kiriman uang dari adik, aku akan membelanjakan berbagai bahan makanan untuk di rumah kami - mulai dari beras, sayur-mayur, bahkan kadang ikan atau daging. Dan Aku akan menyimpannya dengan rapi di lemari dapur.
Ketika Andi pulang, ia akan terkejut melihat stok makanan yang tersedia. Tanpa bertanya dari mana asalnya, ia langsung tersenyum lebar dan makan sesuka hatinya.
"Wah, ada banyak makanan hari ini! Istriku memang pintar mengatur rumah tangga," pujinya.
Aku hanya tersenyum miris melihat sikapnya. Ia sama sekali tidak tahu bahwa semua bahan makanan itu berasal dari bantuan saudaraku. Ia hanya peduli bahwa ia bisa makan enak tanpa perlu mengeluarkan uang.
“Dasar kau suami tidak tau malu” Ujarku dalam hati yang sepertinya ingin menangis melihat sikap suami yang tidak peduli, tidak mau susah tapi mau hidup senang di atas penderitaan orang lain bahkan keluarganya sendiri.
Sepertinya Andi sangat menikmati kondisi seperti itu. Dia mencari uang sendiri untuk kesenangan sendiri, tidak mau belanja kebutuhan keluarganya tapi sangat bahagia ketika mendapati bahan makanan tersedia di rumah. Ia bahkan tidak pernah pertanyakan dari mana asalnya, selama ia bisa makan dengan kenyang.
“Semoga suatu saat engkau akan menyadari semua kekeliruanmu suamiku” Pintaku dalam doa. Aku sangat berharap suatu hari nanti, Andi akan sadar bahwa semua ini berkat bantuan orang lain, terutama ibu dan saudaraku. Aku ingin ia bisa menghargai pengorbanan yang telah mereka lakukan untuknya.
Tapi sampai saat ini, Andi tetap sama. Ia hanya peduli dengan kepuasan dirinya sendiri, tanpa mempedulikan orang-orang yang telah banyak berkorban demi keluarga kami.
Aku menghela napas panjang. Sepertinya masih butuh waktu lama bagi Andi untuk bisa terbuka hatinya dan memiliki rasa syukur serta terima kasih.