Cinta Yang Tak Terlupakan

Wira segera menemui pasiennya yang juga sedang mengalami depresi berat seperti yang dialami oleh Anna. Ketika berada di kamar nyonya Eni, Wira mencoba mendekati nyonya Eni yang menghempaskan semua alat medis yang menempel ditubuhnya.

Teriakannya hanya satu yaitu ingin mati. Wira sempat melihat wajah tuan Hendro yang tadi sempat ngobrol dengannya di dalam lift.

Tanpa banyak bicara, Wira meminta agar tuan Hendro meninggalkan mereka berdua karena saat ini nyonya Eni tidak ingin didekati siapapun.

"Nyonya. Apakah nyonya memang sudah putus asa dengan Rahmat Allah sehingga ingin cepat mati, hmm?" tanya Wira saat nyonya Eni membelakangi dirinya sambil menangis.

Mendengar suara Wira, sebagai ibu kandungnya Zidan tentu saja nyonya Eni sangat mengenali suara putranya. Bahkan jantungnya berdegup lebih kencang seakan sedang menanti momen pertemuan ini.

"Zidan...?" gumam nyonya Eni segera menengok perlahan melihat wajah Wira. Namun ia merasa sangat kecewa karena harapannya tidak terwujud.

"Ternyata hanya suara kalian yang sama nak. Dia bukan kamu. Aku tertipu lagi dengan bayangan wajahmu. Zidane. Pulanglah nak...! Mama kangen sayang," pekik nyonya Eni membuat Wira merasa dadanya sesak.

Tanpa ragu, Wira langsung memeluk nyonya Eni karena dorongan dalam dirinya yang merasa sangat dekat dengan ibu kandungnya itu. Dalam seketika, sentuhan dalam pelukan itu membangkitkan memori yang tersembunyi dalam ingatan Wira.

Ia melihat ada kilasan masa lalu di mana ibunya selalu mencium tangannya setelah ia mencium punggung tangan ibunya saat dirinya pamit pergi ke manapun. Entah itu sekolah atau pergi main dengan temannya.

"Zidane. Jangan lupa sholat dan hindari jajan sembarangan di luar sana...!" pesan itu yang selalu ibunya sampaikan padanya hanya saja Zidan selalu mengabaikannya. Ia hanya mengatakan ya hanya untuk menyenangkan hati ibunya.

Namun ibunya tahu kalau dia hanya ditipu putranya yang pura-pura sholat tapi tidak sungguh-sungguh melakukannya. Ibunya selalu bilang kalau mama tidak mau masuk surga sendiri tanpa anak mama.

Itu yang selalu terngiang dibenak Zidan namun hatinya tidak pernah tersentuh hingga akhirnya ia dipertemukan dengan kelurga barunya yang mengajarkan banyak hal tentang ilmu Allah terutama menegakkan sholat dalam keadaan apapun. Menjadi seorang Wira yang dikenal peringai yang Sholeh.

"Ya Allah mama. Ini adalah mama kandungku sendiri. Mungkin Allah punya cara untuk membuat dia ibuku terkabul dengan mengirim aku pada ayah Aditya dan bunda Kayla," batin Wira menahan air matanya karena dipertemukan lagi dengan ibu kandungnya kini.

"Mama..!" batin Wira hanya bisa meresapi sebutan indah itu selama hidupnya.

Nyonya Eni merasakan ada kekuatan magis dalam diri Wira yang membuatnya tiba-tiba merasa tenang dan damai. Ia seakan sudah mengobati rindunya hanya dengan mendapatkan pelukan dari seorang dokter.

"Mengapa aku merasa sedang memeluk putraku sendiri. Kenapa aku merasa sangat bahagia. Ya Allah. Ada kekuatan apa dengan pemuda ini?" batin nyonya Eni yang merasa kesedihannya lenyap seketika.

Setelah cukup lama keduanya berpelukan, Wira mengingat kalau dirinya adalah seorang dokter yang harus tahu batas memberi empati ada pasiennya.

Walaupun ingatannya bagian kenangan masa lalunya muncul satu demi satu, namun ia tidak bisa mengakui kalau dirinya adalah Zidan karena sulitnya untuk menjelaskan sesuatu tanpa ada bukti.

Dia tidak mau membuat kedua orangtua aslinya syok dan berakibat buruk pada kesehatan mereka. Yang saat ini yang harus ia lakukan adalah mengumpulkan bukti dan menggali lebih dalam lagi semua memorinya menjadi satu kesatuan utuh.

"Apakah ibu sudah merasa tenang sekarang?" tanya Wira sambil memasang lagi peralatan medis yang tadi menempel ke tubuh ibunya.

"Iya dokter. Aku merasa seperti dipeluk putraku sendiri. Putraku yang hilang gara-gara istri sialannya itu," umpat nyonya Eni yang ditunjukkan kepada menantunya Anna.

"Ibu. Kenapa ibu mengumpat pada seorang istri yang menjadi tanggungjawab putra ibu? Bukankah saat ijab qobul semua kewajiban ayahnya diserahkan kepada suaminya termasuk dosa istrinya suaminya yang memukulnya.

Begitu besarnya tanggung jawab seorang suami pada sang istri seperti suami ibu pada ibu. Bukankah ibu juga masih berstatus istri saat ini?" balas Wira dengan bijak membuat nyonya Eni terdiam.

"Ya Allah. Mengapa suara dokter ini sama dengan suara putraku Zidan?" batin nyonya Eni yang tidak begitu menyimak nasehat dokter Wira karena sibuk membandingkan perawakan Wira dan putranya Zidan.

"Apakah ibu mendengar ucapanku?" tanya Wira yang melihat ibunya sedang melamun.

"Iya dokter. Aku dengar. Tapi, wanita itu yang telah membuat putraku pergi untuk selamanya," keluh nyonya Eni dengan suara tercekat.

"Ibu. Apa yang terjadi pada putra ibu karena takdir Allah. Kebetulan takdirnya mati dengan cara yang tidak terduga. Mungkin apa yang dirasakan oleh menantu ibu lebih sakit karena ia harus menderita dua kali daripada ibu."

"Maksud dokter apa? kenapa wanita ibu menderita dua kali daripada aku ibunya yang mengandung dan melahirkan putraku, dokter?"

"Selain kehilangan suaminya, ia harus menerima serangan secara mental dari ibu yang terus menyudutkan dirinya sebagai penyebab kematian putra ibu.

Coba ibu bayangkan jika ibu yang berada diposisi nya, apakah ibu sanggup menerima tekanan demi tekanan dari mana saja yang membuat menantu ibu bisa gila? Ingat Bu...! Menantu ibu juga memiliki keluarga yang pastinya juga setress memikirkan nasib putri mereka," jelas Wira penuh bijak.

"Lantas apa yang harus aku lakukan, dokter? Rasa benciku pada wanita itu yang tidak bisa aku hilangkan dalam diriku," tanya nyonya Eni.

"Belajar ilmu ikhlas dan memaafkan orang lain, Bu walaupun itu adalah musuh ibu sendiri. Karena apa yang ibu miliki adalah bagian dari titipan Allah yang suatu saat nanti Allah akan ambil semuanya sesuka Allah.

Mungkin yang Allah ambil adalah putra ibu lebih dulu lalu suami, harta yang ibu miliki bahkan kesehatan ibu. Itu semua Allah berikan agar kita sebagai hamba-Nya hanya mencintaiNya saja. Hanya bergantung padanya saja. Jika kita mengaku mencintai Allah maka Allah uji dengan apa yang membuat kita suka karena selama ini kita menjadikan bagian kecil dari dunia ini adalah milik kita dan Allah maha pencemburu akan itu," jelas Wira untuk membersihkan hati ibunya dari kebencian dan ketergantungan pada sesama makhluk atau benda apapun yang ia miliki.

Mendengar nasehat putranya membuat nyonya Eni tersentuh. Setiap kalimat terurai dari bibir putranya seakan ada aliran air sejuk yang menyirami jiwanya yang selama ini gersang.

"Terimakasih dokter untuk nasehatnya. Belajar ikhlas itu sulit, dokter," keluh nyonya Eni kembali menangis.

"Pelan-pelan Bu sambil meminta pertolongan Allah dengan doa penuh ketulusan. Dengan begitu Allah akan membuat hati ibu tenang. Bukankah Allah selalu membolak-balik hati hambaNya dalam genggamannya?

Mudah bagi Allah melakukan itu asal hambaNya bersungguh-sungguh dalam berdoa tentunya harus tulus karena Allah bukan karena manusia. Ibu paham maksudku?"

"Iya dokter. Mungkin aku kurang bersyukur hingga diuji oleh Allah seperti ini."

"Jangan merasa ujian yang Allah berikan kepada kita itu sebagai bagian dari zhalim. Tapi Allah hanya ingin membersihkan dosa-dosa ibu dengan ujian darinya agar suatu saat nanti ketika dipanggil Allah, ibu Sud bersih dari dosa itu dan kembali kepada Allah sebagaimana ibu hadir pertama kali ke dunia ini."

"Ya Allah dokter. Apakah dokter juga seorang ustadz? Kenapa nasehatnya sangat dalam sekali?" memeluk lagi pinggang Wira sambil menangis.

"Mama. Maafkan aku karena tidak bisa memberitahu mama kalau aku adalah putra mama yang hilang. Aku janji mama kita akan berkumpul lagi suatu saat nanti," batin Wira.