Istri Kecilku Yang Nakal

"Darimana saja, hum? Sejak tadi aku mencari mu, sayang. Kamu bilang pergi ke dapur karena lapar," ucap Adam melingkarkan tangan kirinya, memeluk pinggang Alana erat.

"T-tadi aku pergi ke dapur. Karena gerah aku pergi mencari angin di luar. Ya, mencari angin," jawab Alana sedikit gugup. Jantungnya berdebar berbohong seperti ini pada Adam.

Adam membalik tubuh Alana, menarik dagu wanita itu agar menatapnya. "Kamu sedang tidak menyembunyikan sesuatu dariku, kan?"

"Maksudmu?"

Adam menarik Alana, membawanya ke dalam pelukan hangatnya. "Kamu pasti tahu maksud ucapan ku, sayang. Ingat jangan pernah berpikir untuk meninggalkan aku. Karena mau sejauh apapun kamu pergi, aku akan tetap menemukanmu."

Alana membenamkan kepalanya di ceruk leher Adam. Merasakan aroma maskulin yang membuatnya tenang.

"Aku mencintaimu, istriku." Adam mengecup pucuk kepala Alan berulang kali.

Alana memejamkan kedua matanya, menikmati setiap kecupan yang Adam berikan. Namun, sesaat ia mengingat semua ucapan Sherly.

"Semoga saja keputusanku benar," ucapnya dalam hati.

Keduanya pun sama-sama terlelap dan masuk ke alam mimpi. Tidak ada bercinta, tidak ada nafsu hanya sebuah pelukan.

*****

Keesokan harinya, Adam terbangun. Ia meraba samping ranjangnya dan menoleh. Adam terperanjat kaget saat sudah tidak menemukan keberadaan Alana disana.

"Alana," lirih Adam dengan suara serak. "Dimana dia?" Adam bangkit dari atas tempat tidur lalu berjalan keluar menuju meja makan.

Siapa tahu, pria itu menemukan keberadaan Alana di dapur. Biasanya, Alana akan menyiapkan sarapan pagi meski hanya segelas susu dan roti tawar dengan selai coklat kesukaannya.

"Boy," panggil Adam pada asisten pribadinya yang sedang duduk di ruang utama. "Apa kamu melihat istriku?"

"Oh, Nona sudah berangkat ke kampus pagi-pagi sekali, Tuan. Dia bilang takut membangunkan Anda karena Anda terlihat kelelahan," jawab Boy menatap Adam sedikit ketakutan, seakan-akan Adam akan memangsanya hidup-hidup.

"Apa?!" Adam memekik, benar dugaan Boy pria itu akan menelannya sekarang. "Kenapa kamu tidak membangunkan aku, Boy!"

Boy menundukkan wajahnya, tak berani menatap Adam.

"Maafkan saya, Tuan. Saya hanya menuruti kemauan istri Anda saja. Bukankah saya harus patuh pada—"

"Sudahlah. Antar aku ke kampus Alana setelah aku selesai bersiap. Siapkan mobil dan juga batalkan semua meeting ku hari ini!" tegas Adam dan di angguki oleh Boy.

*****

Sementara itu, di kampus Alana sedang bersama dengan Clara. Mereka duduk di kantin menikmati makan siang bersama.

"Wajahmu jelek sekali, Al. Kenapa ditekuk begitu? Bukankah semalam kalian baru saja menghancurkan ranjang ku?" sindir Clara menyenggol lengan Alana.

Alana hanya menanggapinya dengan dingin tanpa ekspresi. Tentu saja itu membuat Clara khawatir.

"Ra, aku nau bicara sesuatu padamu. Tapi berjanjilah untuk tidak mengatakannya pada siapapun." Alana memutar tubuhnya menghadap Clara. Terlihat sekali kalau wanita itu sedang serius.

"Biasa saja muka nya. Kita sedang tidak ujian. Serius banget." tawa Clara pecah, namun setelah mendengar ucapan Alana senyum Clara menghilang entah kemana.

"What? Cerai? Gila kamu, Al!"

Alana cepat-cepat membungkam bibir Clara. Sahabatnya ini memang tidak bisa dipercaya.

"Kecilkan suaramu, bodoh! Mereka semua bisa tahu kalau aku sudah menikah," lirihnya.

Clara mengangguk mengerti. Ia menarik Alana keluar dari kantin menunju taman belakang yang sedikit sepi.

"Kalian baru menikah, kenapa mau cerai? Apa om Adam kurang tampan? Atau kurang memuaskan di atas ranjang?" tanya Clara penasaran.

Pletak.

Sontak Alana menyentil kening Clara. "Dasar mesum. Bagaimana bisa kamu berpikir seperti itu, Ra?" kesal Alana.

"Terus apa dong yang membuatmu kekeh meminta cerai?"

"Sherly," ucap Alana meremas ujung gaunnya sendiri lalu mulai menceritakan semuanya pada Clara.

****

"Dimana dia, Boy. Kenapa belum keluar?" Adam terus bergerak gelisah menunggu Alana keluar dari kampus.

"Ya mana saya tahu, Tuan. Bukankah sejak tadi saya ada di sini bersama Anda?" bukannya menjawab Boy malah balik bertanya, membuat atasannya itu terpancing emosi.

"Lalu kenapa kamu masih diam? Cepat keluar dan cari Alana!" titah Adam.

"Sekarang, Tuan?"

"Menurutmu?" Adam menatap tajam asisten pribadinya itu.

Mau tidak mau, Boy terpaksa turun dan mencari keberadaan Alana. Padahal pria itu sama sekali tidak tahu dimana ruang kelas Alana.

"Selalu saja bersikap seenaknya." Boy menggerutu dalam hati.