Anna, seorang wanita yang berjuang dari penderitaannya karena mendapatkan suami pemalas dan juga mertua yang membencinya serta istri dari ipar-iparnya yang selalu menghasut sang mertua untuk menciptakan kebencian padanya. siapakah Ana sebenarnya, bagaimana kisah masa lalunya, sehingga membuat ibu mertuanya begitu membencinya dan siapa dalang dari semua kebencian tersebut?
Bagaimana kelanjutannya, ikuti kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti H, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode-16
"Anna," ucapnya dengan wajah panik. Ia melemparkan begitu saja karung goni berisi damar diatas kepalanya. "Apa yang terjadi padamu?" Ia menghampiriku, lalu memelukku dengan erat.
Aku tak.menjawab. Rasanya aku sangat begitu bodoh, bertahan dengan seseorang yang mana rumah uang ku singgahi bagaikan neraka.
"Kamu dengan siapa pulang kemari?! Siapa yang mengantarmu?" cecarnya, bahkan ia tak memperdulikan rasa lelahku.
Kakiku seolah rasa ingin patah dan sakitnya baru terasa setelah perutku terasa kenyang.
Belum sempat aku menjawab, aku merasakan perutku terasa mulas. Tiba-tiba serasa bagaikan kontraksi. Sakit, ya itu sangat sakit.
Aku meringis kesakitan. "Kamu kenapa? Apa yang kamu rasakan?" ibu terus bertanya dan ikut memegangi perutku.
Ayah tiriku memandangiku. "Apa Anna mau melahirkan?" ucapnya dengan cemas. Lokasi pondok kami sangat jauh, berjarak 3 km dari jalan utama desa yang masih belum tersentuh aspal. Bahkan sepanjang jalan hanya perkebunan kelapa sawit tanpa ada pondok warga.
"Tapi usia kandungannya masih 6 bilan, tidak mungkin melahirkan," sahut ibuku dengan wajah cemas.
Tanpa basa-basi, ayah tiriku menghidupkan lampu pelita yang menggunakan minyak solar sebagai bahan bakarnya, untuk penerangan pondok kami yang jauh terpencil ditengah hutan.
Lalu ia keluar pondok dan menghidupkan mesin motor bututnya untuk menjemput bidan kampung dihari yang sudah semakin gelap.
Aku semakin merasakan mulas yang semakin kuat. Ku genggam erat tangan ibuku untuk membantu mengurangi rasa sakitku, dan melantunkan berbagai doa untuk keselamatan diriku dan juga janinku.
Aku semakin tak sanggup untuk menahannya, dan ternyata janinku tak ingin bertahan lama dirahimku, lalu ia lahir kedunia dengan senyap tanpa suara.
Ibuku dengan rasa panik dan juga bingung berusaha menarik bayiku yang terdiam menjauh dari liang rahimku. Ia menggendongnya dan mengambil kain panjang usang untuk menghangatkannya.
Ibuku menepuk-nepuk sang bayi agar bersuara, namun masih diam tak bergeming. Hampir 30 menit lamanya aku terbiar begitu saja, karena ibuku yang panik sibuk dengan bayiku yang diam tanpa suara.
Lalu tiba-tiba ayah tiriku datang membawa bidan kampung dan bergegas menolongku mengeluarkan placenta/ari-ari yang tertinggal dengan doa dan pengurutan sesuai pengalamannya. "Ya ampun, untung saja ibunya tidak apa-apa, ini ari-ari sudah lama tinggal didalam," ucapnya dengan sangat khawatir.
Setelah membersihkanku, ia mengurus bayiku. Lalu menggunting tali pusarnya, menepuk-nepuk punggungnya agar bersuara.
Dengan keahlianya, akhirnya bayiku yang berjenis laki-laki itu menangis meskipun sekejap, namun sudah mampu membuatku bahagia.
Mereka memberikan bayi itu ketanganku. Ku pandangi wajahnya dibawah redupnya sinar lampu minyak.
Sungguh tampan, berkulit putih bersih, mirip dengan ayahnya, dan aku berusaha tersenyum, meskipun kegetiran yang ku rasakan jika mengenang mertuaku.
Nanti susui, jika belum keluar ASI-nya, banyak minum air hangat ibunya dan pancing susui serta makan sayur bening daun katuk," pesannya pada ibuku, lalu berpamitan untuk pulang.
Ayah tiriku mengantarkannya. Aku berniat tidak untuk memberitahu ayahnya. Hatiku sangat sakit dengan sang ibu mertua yang memarahiku siang tadi. Ku buka kain bedong yang menutupi tubuhnya. Ku lihat jari jemarinya ternyata sudah lengkap, namun aku dikejutkan jika jari jemarinya masih menyatu.
Sesaat rasa takut menyergap hatiku. Tubuh mungil itu masih diam tanpa suara. Ku kecup malaikat kecilku yang hadir memberikan harapan untukku.
"Sayang, bangunlah," bisikku padanya. Aku tak menyangka diusiaku yang ke 17 aku sudah menimang seorang bayi.
Ku dekap bayiku dalam gendonganku, lalu jantungku seolah berhenti berdetak. aku tak merasakan detak jantungnya. Sedangkan ibu masih dibawah pondok mencari daun katuk untuk dimasak agar memancing ASI-ku untuk keluar.
Deeeeegh.
"Sa-yang...sayang..., bangun. Ini ibu. Kamu mau ASi-kan," bisikku padanya yang masih diam tak bergeming.
Ku dekatkan jemariku dibawah lubang hidungnya. tidak ada tanda-tanda kehidupan.
Aku kembali merasakan duniaku runtuh. "I-ibu, ibuuuu....," teriakku dimalam yang sunyi.
Ibuku yang baru saja akan menghidupkan kayu bakar tersentak kaget, lalu beranjak dari tempatnya dan naik ke atas pondok.
"Ada apa?" tanyanya dengan nada panik.
"Ba-bayiku, bayiku, Bu...," ucapku terbata. Aku merasakan duniaku sangat hancur. Mengapa Tuhan sejahat itu padaku, apa salahku, Tuhan?" teriakku dengan sangat pilu.
Aku menangis dengan tersedu sembari memandangi bayi yang baru ku lahirkan dengan prematur, kini sudah meninggalkanku begitu cepat.
Ibuku meraih bayiku, lalu memeriksanya, begitu juga dengan ayah tiriku, ia ikut memeriksanya, dan memang benar, bayi yang baru saja menangis dengan suaranya yang hanya beberapa detik saja kini sudah pergi meninggalkanku.
"Innalillahi Wa inna illaihi raji'un," ucap ayah tiri dan ibuku.
Aku tak dapat lagi menahan.beban yang ku pikul, aku mersakan duniaku sangat gelap, lalu aku tak sadarkan diri.
Ku dengar samar-samar orang berkerumun dirumahku. Tetangga yang juga merupakan perantau sama seperti kami berdatangan untuk menyelesaikan fardhu kifayah anakku. Aku mersakan kepalaku sangat pusing, dan mataku terasa berat.
Orang-orang membawa bayiku ke pemakaman umum, tanpa menungguku, ternyata aku terlalu lama untuk pingsan.
Dalam samar, ku lihat suami pertamaku duduk disisiku dan ia membelai pipiku saat mengetahui aku sadar, lalu ku lihat air matanya yang membasahi pipinya.
Ku tepis tangannya. Aku merasa tak sudi untuk disentuh olehnya. Meskipun semua ini bukan mutlak kesalahannya, tetapi perlahan cintaku memudar untuknya bahkan hilang dalam sekejab.
Seaat sudut pondok ibuku, tampak ibu mertuaku duduk dengan menatapku, rasa jijik melihatnya seketika hadir dibenakku, aku membencinya.
"Yang sabar, ya Sayang," ucap suamiku dengan lirih ditelingaku.
Aku tak mengacuhkannya, kebencian sudah menumpuk didalam hatiku. "Aku ingin kita bercerai!" ucapku dengan penuh keberanian.
Seketika ia tercengang. Ku lihat ia seolah tak percaya dengan apa yang ku ucapkan. Ia ingin menolak dan berontak, namun suasana masih berkabung, ia tak memberikan jawaban apapun padaku, ia hanya diam saja, mungkin ia menganggapku sedang larut dalam kesedihan sehingga berkata ngawur, sebab aku tak pernah mengatakan apapun hal buruk dan perlakuan ibunya yang kejam padaku, dan semua ku simpan rapat-rapat darinya.
Aku memalingkan wajahku dari suamiku, aku tak ingi melihatnya, begitu juga dengan ibunya yang hanya pandai bermanis muka jika dihadapannya, tetapi menyiksaku saat ia tidak ada dirumah.
Para tetangga sudah berpamitan pulang, sebab semua fardhu kifayah telah terselesaikan. Kini hanya ada aku, ibuku, ayah tiriku, dan suamiku serta ibu dan adik perempuannya.
"Ceraikan aku, hari ini juga!" ucapku pada suamiku yang mana tentu saja mengagetkan semuanya, tetapi tidak bagi ibu mertuaku yang terlihat tak acuh dan tersenyum mencibir pada permintaanku.
"Ceraikan saja wanita seperti itu! Untuk apa.kamu pertahankan!" sahut ibu mertuaku, bahkan tanpa merasa bersalah.