Tiga orang pria bersahabat dengan seorang gadis cantik dari masa bangku SMP hingga mereka dewasa. Persahabatan yang pada akhirnya diwarnai bumbu cinta yang saling terpendam hingga akhirnya sang gadis tersebut hamil dan membuat persahabatan mereka nyaris retak.
Siapa sangka sebenarnya salah satu di antaranya mencintai seorang gadis yang sebenarnya selama ini amat sangat dekat di antara mereka.
Seiring berjalannya waktu, rasa sakit mulai terobati dengan hadirnya si pelipur lara. Hari mulai terasa bermakna namun gangguan tidak terhindarkan. Mampukah mereka meyakinkan hati gadis masing-masing, terutama gadis yang salah satunya memiliki rentang usia bahkan 'dunia' yang berbeda dengan mereka.
SKIP yang tidak suka dengan KONFLIK.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NaraY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16. Kesabaran di uji.
Bang Arma segera keluar dari kamar setelah Nadia tertidur.
Bang Angger dan Bang Aryo tidak ada yang berkomentar meskipun mungkin sebenarnya mereka sudah tau apa yang terjadi.
"Sorry lama. Besok kalian berdua langsung menghadap Danyon saja..!! Bawa berkas 'kasus' masing-masing. Riris dan Tria juga langsung menghadap Bu Danyon..!!" Arahan Bang Arma kemudian mengusap karena menahan kantuk.
"Oke, aku dan Tria kesana besok." Jawab Bang Angger.
"Coba sekalian nanti ku mintakan tanda tangan Nadia. Ada beberapa kepentingan yang harus di tanda tangani Nadia." Kata Bang Arma.
"Apa?? Aku tidak pernah menanda tangani berkas apapun terkait anggota baru." Celetuk Riris.
"Nadia mengurus tentang pakaian dan perlengkapan khusus istri anggota yang baru saja bergabung di Batalyon. Saya juga tidak bisa ikut campur dalam keputusan nya." Jawab Bang Arma memberikan setidaknya hal yang ia ketahui.
"Kalau begitu kenapa sekarang Nadia tidur?? Harusnya dia yang menjelaskan dengan detail. Bukan kamu, Ar..!!" Protes Riris.
"Bagaimana istriku harus menghadapi kamu yang sama sekali tidak mau mengerem mulut. Saya yang memintanya untuk tidak bertemu dengan mu. Saya mati-matian menjaga emosi dan mentalnya demi anak dalam kandungan Nadia, bisa-bisanya kamu datang dan berniat membuatnya down dengan segara ocehanmu itu. Kamu waras atau tidak????" Bentak Bang Arma.
Mendengar istrinya mendapat bentakan keras dari Bang Arma, Bang Aryo pun bereaksi. "Sudah Ar, aku minta maaf atas segala ucapan Riris. Nanti aku akan menasihati nya lagi..!!"
"Dengar Yo, kita tidak setahun dua tahun saling mengenal. Aku dan Arma juga paham gaya bahasa Riris tapi tolong jangan membawa gaya bahasa yang tidak patut untuk di dengar. Kita sudah sama-sama dewasa dan berumah tangga..!!" Ucap tegas Bang Angger di hadapan sahabatnya.
"Iyaa.. aku minta maaf Ger, aku akan nasihati Riris." Bang Aryo pun merasa tidak enak dengan kedua sahabatnya, wajahnya benar-benar terasa di tampar gara-gara kelakuan Riris.
...
Baru saja tiba di rumah, emosi Bang Aryo meledak karena Riris sama sekali tidak mau mendengar nasihatnya.
"Bisakah sekali saja kamu dengar apa kata suamimu??? Aku malu setiap kali kamu selalu mencari masalah." Tegur Bang Aryo.
"Kamu yang tidak layak jadi kepala keluarga, kamu tidak punya wibawa. Apakah kamu tidak bisa seperti Arma???? Kalau saja aku tidak hamil anakmu ini, aku pasti sudah menikah dengan Arma." Jawab Riris kesal.
"Jangan pernah kamu bandingkan aku dengan laki-laki lain..!! Apa yang di miliki Arma memang sudah jalan rejekinya, kamu menikah dengan ku juga sudah takdirmu, begitu juga sebaliknya denganku."
"Aku nggak mau, kamu yang sudah memaksaku sampai terjadi seperti ini..!!" Teriak Riris sekuatnya.
"Riris..!!!!!" Bang Aryo sampai nyaris menampar Riris yang terus berteriak namun ia berusaha kuat dan tetap sadar untuk tidak main tangan. Bang Aryo menyadari tubuh wanita bukanlah ajang baku hantam yang tepat.
Riris menunduk ketakutan tapi kemudian segera masuk ke dalam kamar dan mengunci rapat.
"Astaghfirullah.. Riris..!!"
...
Bang Arma menikmati roti tawar dengan 'selai' kecap dan remahan kerupuk kulit sapi. Disana Bang Angger hanya bisa menelan l*dah tak habis pikir dengan selera sahabatnya yang memang di luar nalar.
"Biar saja Bang, Bang Arma lagi ngidam tuh." Bisik Tria.
"Bukankah seharusnya perempuan yang ngidam?" Bang Angger balik berbisik heran.
"Ngidam juga bisa di alami laki-laki. Dan itu masih wajar, Bang." Jawab Tria.
Tak lama Nadia keluar dari kamar sambil membawa tasnya. "Ayo kita jalan-jalan..!!" Ajak Nadia untuk misinya yang sempat tertunda.
Bang Arma menoleh dengan mulut masih penuh dengan roti tawar dan remahan kerupuk kulit sapi. "Sabar, ndhuk..!!"
"Nadia nggak sabar."
"Sebentar saja ndhuk, Abang mau habiskan rotinya." Kata Bang Arma kemudian melahap sisa roti dengan cepat.
Nadia duduk dan menunggu Bang Arma menghabiskan rotinya. Belum sampai tiga menit Nadia kembali berdiri dengan tidak sabar. "Ayooo..!!"
Bang Angger sampai ikut gelisah di buatnya. "Cepat bro, lagipula tumben makanmu lama sekali."
"Sepertinya lambungku bermasalah. Makanan apapun membuatku mual. Sekarang hanya yang mengandung kecap saja yang terasa enak di mulutku..!!"
"Ayo Abaaang..!! Kalau terlalu lama Nadia pergi naik ojeg nih..!!" Ancam Nadia.
"Ya sudah pergi sana, biar di culik orang sekalian..!! Kamu belum tau.. disini sering terjadi penculikan, pemerk****n, sampai di jadikan tumbal lelembut." Bang Arma balik mengancam Nadia kemudian segera meneguk segelas air putih di mejanya.
"Buat apa Nadia takut, suami Nadia tentara."
"Kalau kamu di culik lelembut, polisi pun tidak akan bisa membantumu." Kata Bang Arma.
"Lantas buat apa Abang jadi tentara?"
"Coba kau kira-kira tugas tentara?? Sudah hukumnya tentara di didik dan di latih untuk menjaga kedaulatan negeri, tidak ada tentara yang urus siluman. Bagaimana sih kamu." Urat leher Bang Arma rasanya sampai kaku berdebat dengan Nadia.
"Kenapa Abang marah-marah???? Sudah jelas kan kalau Abang nggak sayang sama Nadia." Nadia berjalan keluar rumah dengan langkah cepat. "Nadia kesal, vertigo mikir Abang."
"Astaghfirullah.." Bang Arma segera menyambar kunci motor dan jaketnya lalu menyusul langkah Nadia. "Aku sing soyo suwe mendadak darah tinggi, stroke sekalian batu ginjal mikir kowe."
.
.
.
.