NovelToon NovelToon
Budak Cinta

Budak Cinta

Status: sedang berlangsung
Genre:cintapertama / Diam-Diam Cinta
Popularitas:5.8k
Nilai: 5
Nama Author: IkeFrenhas

Sudah sekian lama Ayra Zuri memendam perasaan cinta kepada Adya Qias Jarvas. Namun, selama itu pula ia harus menerima kenyataan bahwa lelaki itu memcintai wanita lain.

Evelyn, wanita yang sangat dicintai Qias. Sampai suatu hari wanita itu pula yang tiba-tiba menghilang di acara pernikahan mereka. Hari yang seharusnya bahagia menjadi hari yang begitu nahas.

Ayra tidak pernah sedikit pun berpikir untuk menjadi pengantin hari itu. Terutama menjadi pengganti pengantin yang kabur. Berulang kali Qias meminta maaf, berulang kali pula hati Ayra seperti tersayat pisau berkarat.

Sanggupkah Ayra membuat Qias mencintainya? Sanggupkah Ayra bertahan di saat Evelyn datang dengan segala rahasianya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IkeFrenhas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Menghindar

Pagi itu, aku sengaja menghindar dari Mas Ias. Rasanya, aku tidak bisa bertemu dengannya.

Entahlah.

Selama ini, selama bertahun -tahun aku memendam perasaan cinta ini sendirian. Aku tidak pernah merasa sekecewa ini pada diriku sendiri. Aku terlalu berharap bahwa lelaki yang telah menggenggam seluruh kepingin hatiku ini bakalan akan memberi rasa pedulinya kepadaku, walau hanya sedikit saja. Namun, harapan yang terlalu tinggi yang telah aku lambungkan untuknya membuatku terempas begitu saja dengan perasaan sakitku sendiri.

Pada akhirnya, aku merasa malu juga sakit. Sendirian.

Dulu, saat Mas Ias menjalin hubungan dengan Kak Evelyn, aku sudah belajar untuk rasa sakit yang kemudian hari akan aku alami. Namun, ketika episode kehidupan ini berubah. Ketika hubungan antara Mas Ias dan Kak Evelyn justru menjadi teka teki yang begitu rumit aku pecahkan, malah membuatku sering dilanda kecewa berkepanjangan. Dan, aku membenci perasaan ini. Perasaan lemah, tidak berdaya juga perasaan egois karena di sudut hatiku yang lain aku ingin memiliki Mas Ias seutuhnya.

Aku ingin memiliki raga Mas Ias, juga memiliki hati lelaki itu. Hanya untukku seorang.

Akan tetapi, kenyataan yang ada sungguh membuat hidupku semakin porak poranda.

Aku berjalan tergesa keluar dari kamar, berlari menuju pintu depan. Aku memutar kunci pintu rumah dengan gerakan cepat, lalu membuka lebar. Sialnya, saat baru satu kakiku yang menginjak area teras depan, suara berat itu berhasil membekukan aliran darahku.

"Mau pergi ke mana sepagi ini, Ra? Tadi malam saat Mas pulang kamu sudah tidur ya?"

Aku menoleh, meringis lebar layaknya seorang maling yang tertangkap basah.

"Aku pergi bentar ya, Mas. Ada kerjaan dikit." Aku mengacungkan ibu jari dan jari telunjuk, memberi isyarat kata sedikit.

Mas Ias yang tampak baru bangun tidur itu mengerutkan dahi. Kedua tangannya berlipat di atas dada, memberikan tatapan menelisik.

"Ada urusan lagi? Sepagi ini?" tanya Mas Ias seakan tidak percaya dengan kalimatku.

"Iya, Mas. Maaf ya, aku buru-buru banget ini." Aku tidak ingin menerima semakin banyak pertanyaan dari lelaki itu. Aku juga tidak ingin semakin mendapatkan tatapan penuh tanda tanya darinya. Maka, aku pun langsung menarik lengan Mas Ias, mencium punggung tangannya sekenanya. Lantas lari dengan gerakan seribu agar bisa kabur.

Aku tulikan telinga dari panggilan Mas Ias. Setelah aku lari sejauh mungkin dan merasa aman, barulah memesan ojek online. Napasku memburu dengan tenggorokan yang terasa kering. Beruntung aku menyiapkan sebotol air minum di dalam tas. Tanpa banyak berpikir lagi, aku segera meneguk beberapa tegukan.

Aku tengah fokus menatap layar ponsel saat suara klakson membuatku terlonjak kaget. Bukan ojek online yang datang melainkan mobil Mas Ias yang berhenti di hadapanku.

Aku mendelik tidak percaya melihat lelaki itu masih mengenakan pakaian yang sama, dengan wajah dan penampilan yang sama. Acak-acakan.

Entah sejak kapan pula Mas Ias sudah berdiri di sampingku, menarik lenganku agar masuk ke mobil.

"Cepat masuk! Mas antar!" katanya dengan nada tegas. Dan, aku tahu benar tidak akan bisa membantah ucapannya itu.

"Mas ...."

"Ojeknya belum dipesankan? Kalau sudah batalkan saja." Mas Ias menutup pintu mobil, berlari kemudian duduk di balik kemudi.

Aku masih diam. Sampai akhirnya mendengar suara Mas Ias lagi. Lelaki itu tampaknya tengah menahan kesal.

"Ayra ...."

"Iya, Mas. Belum dipesan, kok." Aku meremas ponsel di pangkuan. Lantas, melirik sekilas lelaki yang kini mulai melakukan kendaraan roda empatnya itu.

Hening. Suasanya di dalam kabin ini terasa amat mencekam sekarang.

Bukankah seharusnya aku yang marah sekarang ini? Mengingat janji Mas Ias semalam. Namun, mengapa justru Mas Ias yang telihat marah sekarang?

Aku menghela napas pendek, berulang kali kemudian memejamkan mata.

"Kamu kenapa? Tercium bau yang aneh?"

Pertanyaan Mas Ias kontan membuatku menoleh. Aku mengernyit heran, tidak paham dengan maksud pertanyaannya.

"Eh ...?"

"Bau masam gitu?" Mas Ias melirik sekilas. Telinganya tampak memerah, sebagai indikasi jika dia sedang merasa malu.

"Karena Mas Ias baru bangun tidur dan belum mandi ya?" Aku balik bertanya dengan tatapan polos.

Benar itu maksudnya, kan?

Mas Ias menoleh sekilas ke arahku kemudian terkekeh pelan. Tangan kirinya terulur, mengelus kepalaku.

Ada apa ini?

Kepalaku yang dielus, tetapi hatiku yang ketar ketir. Padahal, sentuhan itu hanya sekilas saja, seringan kapas.

"Itu salah kamu ya, Ra ... pagi-pagi udah main pergi aja. Belum sarapan, belum pamitan sama Mas." Tatapan Mas Ias lurus ke jalan raya.

"Ya, apa hubungannya, Mas? Tadi, kan, aku udah pamit juga."

"Maksudnya enggak ada hubungannya?"

Lho? Mas Ias justru balik bertanya. Ini gimana, sih?

"Ya ... ya, lagian, kan, aku udah pamitan tadi. Kalau aku lagi ada urusan, makanya aku pergi. Terus ... terus aku juga udah salim kok tadi." Aku mengendikkan dagu.

"Hei, itu enggak masuk hitungan pamit. Kamu tarik tangan Mas tadi ya," ujar Mas Ias lagi. "Terus ... kamu langsung main lari aja. Mas datang juga napas kamu masih ngos-ngosan kayak maling ketangkap warga."

Aku melongo dibuat lelaki itu. Mas Ias bisa juga dalam mode julid dengan ekspresi datar begitu.

Rupanya, banyak hal yang masih tidak aku ketahui tentang Mas Ias. Rupanya, ada banyak hal yang harus aku pelajari lagi tentang Mas Ias. Dan, aku sempat termenung sejenak ... masihkah ada kesempatan untukku mengenal Mas Ias lebih jauh?

Aku melengos, memalingkan wajah menatap jalanan lewat jendela. Air mataku tiba-tiba saja menitik, dan buru-buru aku hapus dengan ujung jari.

"Kamu mau sarapan di mana? Mas laper ini."

"Mas sarapan sendiri aja, ya. Aku belum lapar." Aku membalas pertanyaan itu dengan suara serak.

"Ra ...."

Aku tahu, panggilan Mas Ias itu karena mendengar suara yang aneh dari nada bicaraku. Aku paham jika lelaki itu bisa menebak apa yang tengah aku lakukan sekarang.

Oh, shit! Aku cengeng sekali.

"Ra ...."

"Berhenti di sini, Mas. Udah sampai, kok." Aku hendak membuka pintu, tetapi tidak berhasil sebab kuncinya belum dibuka oleh Mas Ias. "Mas aku mau keluar!"

Aku memukul kaca jendela dengan air mata yang terus berjatuhan. Beruntung Mas Ias tidak memaksa mengurungku di dalam mobil.

Aku langsung melompat turun saat bisa membuka pintu. Lagi, aku berlari dan ingin segera sampai ke kantor. Sungguh, aku sedang tidak ingin berinteraksi lagi sama Mas Ias. Aku sedang tidak ingin bertemu dengan lelaki itu.

Rasanya, perasaanku ini sedang campur aduk. Aku bahkan tidak mengerti apa yang aku inginkan sekarang.

Langkahku seketika tertahan oleh dua lengan besar yang melingkar di pinggang.

"Please, Ra. Jangan gini ... kasih tahu Mas Ias kalau Mas ada salah atau kamu ada masalah." Mas Ias memelukku dari belakang, kemudian memutar tubuhku dengan paksa.

Mas Ias memelukku. Pelukan itu seharusnya memberi ketenangan bukan? Namun mengapa pelukan ini justru semakin membuatku gelisah?

Air mataku semakin mengalir deras di dada bidang itu.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!