Budak Cinta

Budak Cinta

Hadiah Istimewa

Aku masih berusaha fokus memilih hadiah yang aku inginkan. Mendengar Ameera yang terus mengomel, sedikit mengusik konsentrasiku.

Ini adalah hadiah istimewa. Aku tidak ingin ada kekurangan saat memilih hadiah spesialku itu.

"Cepat sedikit, Ra! Ramon sudah berulang kali meneleponku. Kami ada janji temu." Ameera sudah terlihat tidak lagi punya kesabaran untuk menemaniku.

"Hey, kalian bertemu saja di sini. Aku akan sibuk dengan urusanku. Dan, aku akan membiarkan kalian sibuk dengan urusan kalian," kataku memberi saran yang sedari tadi tidak digubris oleh Ameera.

Ameera justru mengentakkan kakinya ke lantai. "Kau tahu, kan, bagaimana Ramon? Kami harus bertemu di villa pribadinya. Dia tidak mau bertemu di sini."

Ameera memalaingkan wajah. Dia tampak meneliti sekeliling kami. Ya, suasana di sini memang cukup ramai. Akan sangat tidak asyik jika mereka berdua bertemu di sini. Akan banyak penggemar Ramon yang menyadari kehadirannya dan itu sangat tidak baik untuk mereka berdua.

"Yang ... ada, kami tidak jadi berpacaran." Ameera mengedikkan bahu. Wajahnya tampak lesu.

"Baiklah. Aku janji akan selesai kurang dari tiga puluh menit. Setelah dari sini, kamu juga punya janji padaku untuk langsung memberikan hadiahnya, kan?" Aku menatap lekat sahabatku itu.

Ameera mengangguk antusias. "Sesuai kesepakatan. Kau akan melindungiku lagi malam ini," ujarnya dengan senyum penuh syarat makna.

"Tapi kau harus janji untuk melakukan yang macam-macam, lho, Ameera. Kita masih sangat mudah untuk melepaskan sesuatu yang berharga." Aku memperingatkan dengan sungguh-sungguh.

"Oh, ayolah! Kau yang telah menghabiskan waktumu untuk mencintai secara diam-diam, Ra. Aku tidak."

Dia sengaja menyindirku agar tidak lagi membalas ucapannya.

"Ini cocok, kan, untuknya?" tanyaku sungguh-sunggu. Aku menunjukkan sebuah dasi yang aku pilihkan.

"Kenapa harus pilih dua? Dia sudah banyak punya dasi di dalam lemarinya. Ini terlalu berlebihan," protes Ameera yang tidak aku tanggapi.

"Untuk ganti-ganti," kataku cuek. Lantas, aku segera melangkah ke area kasir meninggalkan Ameera yang memasang wajah protesnya.

Setelah pembayaran selesai. Aku langsung memberikan hadiahku itu ke Ameera. Saat gadis itu hendak mengeluarkan kata-kata, aku sudah lebih dulu berbicara, "Aku tahu hadiahku tidak seberapa nilainya dibanding yang dia dapatkan dari pacarnya. Tapi, kita sudah punya kesepakatan bahwa kau yang aku mengakuinya. Ingat dengan kesepakatan itu, Ameera."

Bibir Ameera seketika mengatup rapat. "Mas Ias pasti akan sangat beruntung jika benar-benar berjodoh dengan kamu, Ayra," katanya yang langsung aku aminkan di dalam hati.

Ya, aku rasa bukan Mas Ias yang akan beruntung mendapatkan aku. Melainkan akulah yang akan sangat beruntung mendapatkannya.

Kemudian, satu pertanyaan terbesit di kepalaku. Apakah Mas Ias akan bahagia jika ditakdirkan berjodoh denganku?

Aku mendesah gelisah. Mungkin, kalaupun kami tidak berjodoh, aku akan cukup bahagia dengan hanya melihat lelaki itu bahagia.

Satu tepukan di pundak cukup mengagetkanku. Aku menoleh dan seketika terbelalak kaget menyadari siapa yang kini berdiri di sampingku.

"Mas ... Mas Ias," kataku terbata.

"Ameera mana? Mas Ias menunggunya di kantor, tetapi dia tidak juga datang." Suara berat nan lembut itu, mengalun indah di dalam hatiku.

"Oh ... oh. Kami tadi berpisah, dia akan membeli sesuatu sebentar. Mungkin sebentar lagi akan ke sini." Semoga saja, kebohonganku ini tidak akan terbongkar dengan cepat.

Aku sungguh kebingungan dalam mencari alasan, sebab begitu Ameera mendapatkan titipan hadiahku, dia langsung pergi begitu saja. Sedangkan aku memilih untuk bertahan di sini, aku ingin mencari buku bacaan baru.

"Ya, dia hanya menitipkan hadiah ulang tahun Mas Ias di resepsionis. Benar-benar gadis itu."

Demi apa pun, nada yang seharunya terdengar sebagai gerutuan atau aksi protes itu, justru terdengar sangat lembut. Selama aku mengenal Mas Ias, aku belum pernah mendengar lelaki itu marah.

Aku masih menatap lelaki yang kini berdiri di hadapanku itu dengan lekat. Lantas, senyumnya terangkat begitu lebar. Dia tampak bercahaya, seperti mentari pagi yang menghangatkan pagiku.

"Hai, Sayang." Sapaan itu bagai sebuah belati yang menusuk tepat di jantungku. Namun, aku harus sadar diri di mana aku berpijak sekarang ini.

Senyum Mas Ias semakin terlihat cerah. Tatapan matanya begitu lekat dan penuh cinta.

"Lho, ada Ayra. Kalian berdua datang ke sini?" Pertanyaan wanita itu terdengar sinis dan cemburu.

Entah mengapa, aku senang mendengarnya. Belati yang tadi menusuk jantungku seakan berganti menjadi bunga yang bermekaran. Aku senang jika menjadi kandidat wanita yang dicemburui. Aku merasa memiliki potensi untuk dilihat oleh Mas Ias sebagai wanita.

"Enggak. Aku kebetulan lihat dia. Ayra datang sama Ameera, tapi Ameera belum juga kembali." Mas Ias menjelaskan dengan hati-hati, seoalah dia sangat takut jika kekasihnya itu akan salah paham pada kami berdua.

Aku seketika memasang senyum lebar, juga memasang wajah seramah mungkin.

"Halo, Kak Evelyn!" Aku melambaikan tangan, menyapa wanita itu dengan ceria.

"Kalau gitu, aku pamit dulu ya, Mas ... Kak. Soalnya, ada buku yang harus dibeli," kataku bersiap untuk pergi.

"Oh iya, Ayra. Kalau kamu butuh pekerjaan. Kamu bisa pergi ke kantor Kakak ya. Ada pekerjaan yang Kakak kira cocok untuk kamu," kata Kak Evelyn. Namun, aku merasa jika dia tidak tulus menawarkan pekerjaan itu untukku.

Ada sesuatu yang ganjal di indera pendengaranku pada suaranya. Entahlah.

"Terima kasih atas tawarannya, Kak. Akan aku pikirkan. Untuk sementara, aku memang masih menikmati masa jadi pengangguran." Aku tersenyum kemudian mengangguk sopan. Saat hendak berbalik pergi, lagi-lagi suara Kak Evelyn mengurungkan niatku untuk segera enyah dari sini.

"Entar kalau jadi pengangguran terus, enggak ada cowok yang bakalan lirik kamu, lho, Ra. Cowok zaman sekarang itu suka sama cewek yang pekerja keras dan mandiri. Ya, kan, Sayang?" Kak Evelyn merapatkan diri pada tubuh tinggi Mas Ias yang berdiri di sampingnya. Tangan wanita itu melingkar erat di lengan kokoh itu, lalu merebahkan kepala di lengan tersebut.

"Hehe. Entar kalau jodoh pasti akan ada jalan untuk dipertemukan. Aku memang belum mikir ke arah sana, Kak. Masih menikmati kesendirian. Bebas dan merdeka." Aku membalas dengan penuh penekanan.

"Kalau gitu, aku pamit ya, Kak ... Mas. Selamat bersenang-senang." Aku mengangguk sekilas dan secepat kilat membalikkan badan, melangkah lebar meninggalkan area yang terasa menyesakkan itu.

Di jarak segini, aku masih bisa mendengar suara Mas Ias yang berkata pelan, "Aku sudah menawarinya bekerja di kantorku. Dia pun menolak. Biarkan saja dulu. Kita enggak usah terlalu ikut campur."

"Aku enggak terlalu ikut campur, kok, Qias. Hanya menawarkan dan justru kamu yang sudah lebih dulu ikut campur dalam hidup Ayra, bukan?"

Aku semakin mempercepat langkah. Tidak nyaman rasanya mendengar pertengkaran sepasang kekasih itu, terlebih akulah yang menjadi sumber pertengkaran mereka.

Teringat akan sesuatu, aku pun segera mengambil ponsel dari dalam tas. Aku menghubungi Ameera yang tentu saja tidak mendapatkan jawaban. Benar-benar gadis itu. Hadiah istimewaku untuk Mas Ias hanya dititipkannya di resepsionis.

Awas kau, Ameera.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!