Hidup yatim piatu dan dibesarkan oleh ayah angkatnya. Jia Grietha sangat berharap bisa hidup dengan baik, tetapi pria pemabuk dan kasar itu membawanya ke meja perjudian.
Dari parasnya yang cantik dan bodinya yang seksi, membuat semua orang selalu terpikat. Terutama Gara Harveyd langsung tertarik pada pandangan pertama. Pewaris yang sombong dari keluarga Harveyd yang terkenal kaya raya di kota.
Saat melihat Jia, Gara pun secepatnya membawa pulang gadis itu dengan harga satu milyar. Awalnya, Jia mengira Gara adalah penolongnya, akan tetapi ia makin jatuh ke dalam jurang yang berduri.
Bukannya diberi kebebasan, Jia dijadikan istri rahasia untuk pemu4s naffsunya semata. Setiap saat harus patuh apabila Gara meminta jatahnya. Jia benar-benar tidak tahu lagi langkah apa yang harus diambil untuk mengakhiri hubungannya dengan Gara yang ingin menikahi wanita lain juga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asti Amanda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16. Joan Masih Hidup
"Dari mana saja kau baru pulang?" tanya Gara sudah ada di rumah Jia dan duduk santai di sofa. Jia yang baru datang pun mengunci pintu rumahnya lalu berdiri di dekat Gara.
"Tadi Bosku ngajak makan malam di luar," jawab Jia jujur.
"Oh, ngajak makan? Bos atau pria lain?" Curiga Gara yang sulit mempercayai Jia.
"Hari ini ada banyak konsumen yang memesan jadi Bos mentraktir ku di restoran, tuan," tutur Jia.
"Aku ke kamar dulu ganti baju, permisi," pamit Jia segera ke kamarnya. Gara cemberut melihat Jia yang main pergi saja ke kamar. "Ck, apa dia tidak ingat itu?" decak Gara merasa kecewa, lalu ia pun menoleh saat Jia keluar hanya pakai daster. Pria itu pun berdiri dan menyusul Jia ke dapur.
"Tuan, hari ini tidak pulang ke sana?" tanya Jia gugup didekati Gara. "Tidak, tidak ada yang penting di sana," jawab Gara berdiri di samping Jia.
"Tuan, tadi habis kemana?" tanya Jia lalu pindah ke kulkas, mengambil segelas air dingin lalu meneguknya habis.
"Dari kantor," jawab Gara terus berdiri di sebelahnya.
'Duh, kenapa tingkahnya jadi begini?' pikir Jia merasa agak risih Gara yang suka nempel sana sini.
"Kalau begitu, tuan mau bermalam di sini?" tanya Jia sambil pindah ke jendela dan memperbaiki horden. Lagi-lagi Gara berdiri di dekatnya.
"Ya malam ini aku tidur di sini," jawab Gara.
"Kalau begitu, tuan sudah makan?" tanya Jia sambil menelan ludah karena Gara sangat-sangat dekat. Sontak, Gara momojokkan Jia dan memukul tembok, menatap gadis itu serius.
"Maaf, apa tadi aku salah bicara?" tanya Jia lagi. Gara mendesis lalu menjawab kesal. "Jia, dari tadi aku menunggu, tapi kau selalu saja tanyakan itu, bukan ini yang mau aku dengar!"
"Te-terus tuan mau dengar apa?" tanya Jia terbata-bata dan gemetar. "Apa tidak ada yang kau lupakan?" tanya Gara ingin Jia sendiri yang ucapkan itu. Jia tersentak, membuat Gara tersenyum smirk, berpikir Jia sudah ingat. Tapi Jia malah menampol jidatnya.
"Astaga, aku lupa angkat jemuran di luar, aku ke sana dulu, tuan, permisi." Jia lari ke samping rumah dan meninggalkan Gara yang tambah kesal.
"Arghh, Jia! Kau lagi balas dendam ya!" kacau Gara menjambak rambutnya sendiri lalu dengan muka ngambeknya masuk ke dalam kamar duluan. Sementara Jia sedang mengelus dada sudah berhasil lepas dari Gara yang agak aneh.
"Kalau dia minta dilayani, pasti langsung narik aku ke kamar, tapi dia seperti menunggu sesuatu, tapi itu apa?" gumam Jia menarik satu demi satu jemuran ke dalam keranjangnya. Usai mengambil semua, Jia pun menoleh ke sepedanya. Gadis itu diam sejenak.
"Ya ampun, aku lupa itu!" Jia bergegas masuk ke rumah dan lanjut masuk ke dalam kamar. Setelah meletakkan keranjang bajunya di kursi, gadis itu berdiri di sisi tempat tidur.
"Tuan pasti belum makan, kan?" ulang Jia.
"Hm," dehem Gara cuek dan membelakangi Jia.
"Kalau begitu, bagaimana kalau aku temani makan di luar?" rayu Jia naik ke ranjang dan membelai kepala Gara. Gara pun berbalik badan lalu melihat Jia yang tersenyum.
"Oh, bagus, kau mulai pintar merayu ya," senyum Gara suka tindakan Jia itu.
"Aku cuma mengajak, bukan merayu," ucap Jia menunduk takut dan malu. Gara pun beranjak duduk lalu memegang dagu Jia. Kemudian mengecup bibir gadis itu. Pipi Jia sangat mudah tersipu jika Gara melakukan hal lembut seperti sekarang.
"Mau makan di luar, tapi kau kan sudah makan," ucap Gara berdiri dari ranjang.
"Aku tadi sudah makan, tapi pengen makan lagi," mohon Jia ikut berdiri. Gara pun memegang tangan Jia lalu menariknya keluar kamar.
"Ya sudah, kita makan di luar." Gara membawanya ke pintu. Tapi Jia berhenti. "Sebentar, aku mau ganti baju," tahan Jia lalu mengganti dasternya dan memakai celana panjang sekaligus sweater yang dibeli Gara untuknya. Gara sedikit tertegun melihat tampilan Jia yang sederhana tapi manis. Tanpa sadar, pipinya merona. 'Apa dia sudah ingat yang ingin dia ucapkan nanti?' pikir Gara.
"Yuk, kita pergi, tuan," senyum Jia. Gara tidak menjawab, ia langsung menancap gas meninggalkan rumah. Sedangkan Celin, aktris itu juga baru pulang dari kantornya. Tapi ia tidak pulang ke rumah mertuanya, wanita cantik itu pergi ke sebuah kedai bersama asistennya, membeli beberapa cemilan sendiri. Namun setelah membeli, Celin menyuruh asistennya pulang duluan.
"Yakin, kau pulang sendirian?"
"Ya, nanti pakai taksi, dan lagian aku masih mau hirup udara segar malam ini," ucap Celin berdiri di dekat mobil.
"Malam ini dingin banget, kau cepatlah pulang, jangan kekanak-kanakkan. Kau ini aktris, harus menjaga kesehatanmu,"
"Siap, tenang saja!" Hormat Celin kepada asistennya yang suka mengatur dan ceramah itu. Asistennya pun pulang duluan. Celin yang memakai topi dan masker pun jalan sendirian sambil memeluk cemilan di dadanya.
"Aku pulang ke mana ya?" hembus Celin bingung arah tujuan malam ini. "Mau pulang ke rumah, Papa pasti suruh aku ke rumah Gara,"
"Mau ke rumah mertua, tapi aku tidak mau seatap dengan Gara,"
"Haah, memang sulit hidup tanpa kepastian."
Karena terus bimbang jalan sana sini, Celin pun berakhir di sebuah apartemen kumuh. Ia yang pakai penyamaran, tidak dapat dikenali oleh siapa pun. Ia pun masuk ke apartemen yang gelap itu. Setelah menyalakan saklar, kenangan-kenangan bersama kekasihnya kembali berputar dalam ingatannya. Apartemen itu milik Celin dan Juan. Celin menutup pintu lalu meletakkan cemilan di atas meja. Setelah itu jalan ke jendela, membuka horden lebar-lebar. Hembusan angin malam yang sejuk pun menerpanya, dan perlahan membuatnya menangis saat melihat foto Juan di atas meja.
"Juan, aku merindukanmu," isak Celin bersimpuh di lantai dan memeluk bingkai foto kekasihnya. Entah itu halusinasi atau hanyalah ilusi. Suara familiar yang dirindukan Celin samar-samar memanggilnya.
"Celin,"
Deg! Celin menoleh cepat ke suara yang makin jelas itu. Foto yang ia peluk pun jatuh ke lantai. Bibir Celin bergetar, begitupula seluruh tubuhnya. Bukan karena takut, tapi ia sangat terguncang melihat Juan sudah berdiri di dekat pintu.
"Apa aku sedang bermimpi?" isak Celin jalan menghampirinya.
"Apa jangan-jangan kau hidup lagi," lirihnya menyentuh wajah Juan yang setengah pucat itu. Juan tersenyum dan memegang tangan Celin yang dingin lalu memeluknya lembut.
"Kau salah, aku tidak mati dan tidak hidup lagi, aku memang masih hidup dan kau tidaklah bermimpi," kecup Juan ke kening Celin. Tangis aktris itu pecah mendengar dan melihat kekasihnya masih bernafas malam ini.
"Aku nyata, sayang."
Juan balas memeluknya.
"Juan, aku merindukanmu,"
"Begitupula aku juga merindukanmu, Celin."
Pasangan kekasih itu berpelukan, melepas rindu yang dalam. Terutama Celin sangat erat memeluk Juan. "Jangan tinggalkan aku lagi, Juan."