Mira tiba-tiba terjebak di dalam kamar hotel bersama dengan Angga—bosnya yang dingin, arogan, dan cuek. Tak disangka, setelah kejadian malam itu, hidup Mira benar-benar terbawa oleh arus drama rumah tangga yang berkepanjangan dan melelahkan.
Mira bahkan mengandung benih dari bosnya itu. Tapi, cinta tak pernah hadir di antara mereka. Namun, Mira tetap berusaha menjadi istri yang baik meskipun cintanya bertepuk sebelah tangan. Hingga suatu waktu, Mira memilih untuk mundur dan menyudahi perjuangannya untuk mendapatkan hati Angga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Rey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MIRA DIPECAT
PRANG ...!
Mira memukul kepala suaminya dengan keras sekali.
"AKKHHHH ...!"
BUGH
"Aaoooouuuhhh ...!" Angga terpental ke lantai, Mira telah menendang burung dan sepasang biji telurnya dengan sekeras tenaga.
Belum selesai menghalau rasa sakit di kepalanya, kini penderitaan Angga ditambah dengan sakitnya tendangan Mira yang menyerang segerombolan alat perang di bawah itu, sebuah rudal dan sepasang telor.
"Rasakan, ya, Pak! Anda kira saya akan lemah?" Mira mendengkus, lalu beranjak pergi dari hadapan suaminya.
"Dasar istri kurang ajar!" Pria itu memekik sambil memegang lato-latonya yang hampir pecah.
Mira tersenyum puas saat melihat Angga tampak kesakitan, tanpa ba bi bu lagi, dia langsung bergegas meninggalkan kamar itu. Saat ia membuka pintu, tiba-tiba ia terhenyak saat melihat Bu Ice sudah berdiri di depan kamarnya.
"Mama?" Mira tertegun.
Mendengar hal itu, Angga pun terbelalak.
"Kamu itu ngapain, Ngga?" Bu Ice menautkan kedua alisnya, setengah memicing.
"Kalian itu habis ngapain?" tandasnya dengan bibir mencebik.
"Lato-lato Angga mau pecah rasanya, Mah ...! Semua ini ulah menantu kesayangan Mama yang memuakkan itu!" pekik pria itu.
"Dia menendang lato-latoku dengan sekuat Hulk, rasanya kayak mau pingsan!" dengusnya.
"Ya udah, pingsan aja! Gitu aja kok repot?" Bu Ice terkekeh.
"Makanya jangan main kasar sama istri! Kamu kira semua wanita itu lemah? Gak semua wanita itu seperti istri-istri di sinetron ikan terbang. Paham?" tegasnya dengan senyum masam.
"Ma ...! Ya ampun, Ma ...! Mama ini keterlaluan! Anak sendiri hampir mati gini, kok malah ngomel?" Angga mendengus sebal.
"Nggak, nggak akan mati. Tenang saja. Vas bunga itu hanya membuat dahimu sedikit luka dan memar. Impaslah dengan bibir istrimu yang kau gigit sampai jontor dan berdarah begitu! Kalau rasa nyeri di lato-latomu, mungkin akan hilang setelah meminum obat. Mama akan meminta Bik Wati agar menelpon dokter keluarga kita." Bu Ice berbicara santai dengan tatapan datar.
"Lain kali berlaku dan bertuturlah dengan lembut kepada wanita. Mama memang tidak serumah dengan kalian, tapi Mama punya mata dimana-mana," tandasnya.
"Apakah Bik Wati yang melapor?" Angga mengerjap.
"Mana berani dia lapor-lapor segala? Jangan suka menuduh orang tanpa bukti. Gak baik! Fokuslah memperbaiki attitudemu!" Wanita paruh baya itu mendengkus.
"Mira, ayo ikut Mama!" ucapnya, lalu menarik lengan si menantu.
"Mama ...! Apakah Mama dipelet sama si Mira? Kok perhatian amat!?" Angga masih berteriak tak terima.
Tapi Bu Ice tak mengindahkan teriakan putranya.
****
"Maaf, Ma," kata Mira saat Bu Ice mengajaknya duduk di ruang tamu.
"Tidak perlu meminta maaf. Membela diri itu adalah sikap alami seorang manusia normal," kata wanita paruh baya itu.
"Mama tadi sengaja membuntuti mobil yang mengantarmu pulang, kukira kamu diantar siapa, tapi ternyata kamu diantar teman perempuanmu," sambungnya.
"Kalau sampai kamu diantar pria, Mama akan memarahi Angga karena dia begitu acuh kepada istrinya hingga kamu harus pulang diantar pria lain!" Bu Ice terus menggerutu.
"Oh, dia adalah Nana, Ma. Sahabat Mira," kata istri Angga yang tak diharapkan suaminya itu.
"Iya, Mama paham. Dia juga karyawan di kantor Angga, kan?" Bu Ice menimpali, lalu menarik nafas panjang.
"Apakah kamu paham kalau Carla sering mendatangi suamimu ke ruangannya?" Wanita itu menatap Mira dengan tajam.
Mira mengangguk.
"Paham, Ma," sahutnya.
"Kenapa kamu diam saja?" Bu Ice menautkan kedua alisnya.
"Seharusnya kamu labrak saja wanita tidak sopan itu! Bakal tunas pelakor!" sungutnya.
Mira hanya terdiam.
"Ya sudah, mandi dulu sana. Kamu pasti capek," kata Bu Ice saat menyadari penampilan menantunya yang berantakan.
****
Setelah kejadian itu, Angga dan Mira saling diam dan tak bertutur sapa. Angga selalu cemberut saat di dalam rumah. Dia bahkan mendiamkan Bik Wati juga, karena mengira si bibik yang telah menelpon Bu Ice saat dia sedang berniat memberi pelajaran kepada istrinya tadi.
Mira pun tak peduli, dia lebih senang jika Angga diam begitu. Saat makan malam pun, Mira makan berdua dengan Bik Wati di dapur sambil bercengkrama dan bersenda gurau.
"Mbak Mira ndak risih tah makan sama pembantu begini?" tanya Bik Wati, wanita berusia lima puluh tahunan itu.
"Kenapa harus risih, Bik? Saya sudah menganggap Bibik itu seperti ibu saya," sahut Mira sambil memasukkan nasi ke dalam mulutnya.
"Oh, ya Mbak ..., Mas Angga sepertinya marah sama Bibik, dia gak mau makan masakan Bibik, dia juga diam sejak sore tadi." ART itu mencebik.
"Sudah, biarkan saja! Jangan dipikirkan! Malah lebih enak thoo kalau dia ngambek, gak ada yang teriak-teriak minta kopi atau minta jus malam-malam, hehehe." Mira terkekeh.
Saat mereka sedang asik makan malam, tiba-tiba Angga masuk ke dapur. Wajahnya masih menekuk dan kaku bak kanebo kering yang tidak pernah dicuci. Mira pun tidak menoleh, dia fokus menikmati sambal terong dam ayam goreng di hadapannya. Bik Wati pun hanya diam, dia tak berani menoleh atau melihat kepada Angga yang terlihat sangat marah.
"Bik! Bikinin mie dong, yang paling pedas! Kasih cabe 20 biji, dan telur dua butir, kasih sawi dan sosis juga, kasih bakso juga boleh!" titahnya tanpa melihat wajah Bik Wati.
"Baik, Mas." Bik Wati pun mengangguk paham.
"Antarkan ke kamar saya ya. Sama jus semangka dua gelas!" Angga kembali memberi titah.
"Siap, Mas," sahut ART itu.
Tanpa basa basi, Angga langsung meninggalkan ruangan itu tanpa menoleh kepada istrinya sama sekali.
****
Kemarahan Angga ternyata terbawa sampai ke kantor. Keesokan harinya, dia marah-marah di ruangan meeting. Dia memarahi karyawannya di setiap divisi. Tapi dia tetap mendiamkan Mira. Bahka ketika seluruh karyawan diajaknya ke ruangan meeting, dia tidak mencantumkan nama Mira di dalam list nama yang harus hadir di ruangan itu. Padahal, divisi keuangan seharusnya menjadi divisi yang paling penting.
"Perwakilan dari divisi keuangan belum hadir di ruangan meeting, Pak," kata Rika, sekretaris Angga, saat ia tidak melihat Mira ada di ruangan itu.
"Saya tidak butuh dia! Saya akan segera mencari accounting baru untuk perusahaan kita!" pekiknya di dalam ruangan meeting.
Semua karyawan di dalam ruangan itu mendadak tercengang, apalagi Nana dan Rika. Keduanya saling menoleh dan melempar pandangan.
"Hari ini juga, Saudari Mira Eka Shalinda saya berhentikan dari jabatannya!" kata boss besar itu. Dia yang biasanya dingin dan tak banyak bicara, kini mendadak menjadi arogan.
"Rika ...! Silahkan kirim memo ke email yang bersangkutan!" tegasnya dengan singkat, sambil membolak balik beberapa berkas.
Suasana di ruangan itu mendadak hening. Nana dan Rika terbelalak kaget. Sedangkan di ujung sana, Rosa terlihat begitu senang, seulas senyuman sinis tersungging di bibirnya. Dia segera membuka gawainya di bawah meja dan berkirim pesan kepada Carla.
"Congrats, Beb ...! Kuman saingan loe udah dibasmi! Pak Angga sendiri yang telah membasmi wanita itu! Hehehe," ketiknya, diikuti emoticon tawa dan melet.
"Baiklah, meeting kita mulai!" Suara Angga membuyarkan keheningan di ruangan itu.