NovelToon NovelToon
Hanasta

Hanasta

Status: sedang berlangsung
Genre:Perjodohan / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Penyesalan Suami / Romantis / Psikopat itu cintaku / Mafia
Popularitas:10
Nilai: 5
Nama Author: Elara21

Hanasta terpaksa menikah dengan orang yg pantas menjadi ayahnya.
suami yg jahat dan pemaksaan membuatnya menderita dalam sangkar emas.

sanggupkah ia lepas dari suaminya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elara21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hanasta 15

Langit mendung ketika James keluar dari SMA Liora.

Ia tidak langsung pulang.

Ia tidak langsung menunggu guru untuk bicara lagi.

Ia berdiri di tepi jalan, memandang gerbang sekolah.

Lima dan Tujuh keluar beberapa menit setelahnya, berbincang pelan sambil membawa map kosong.

James menyipitkan mata.

Akhirnya.

Ia sudah merasa sejak awal bahwa dua orang itu bukan staf sekolah.

Dan bagaimana mereka masuk ruang guru secara kebetulan?

Tidak mungkin.

Soni mengirim mereka.

Untuk mengalihkan.

Untuk menghentikan.

Tapi James bukan tipe orang yang mudah dihalangi.

Ketika Lima dan Tujuh berjalan menjauh, James memakai kacamata hitam, menurunkan topinya, dan berjalan mengikuti mereka dari jarak aman.

Langkah mereka cepat,

gerakan tubuh mereka tak mencolok,

tapi ritme yang terlalu teratur membuat mereka mudah dikenali sebagai orang terlatih.

James mengamati.

Mereka tidak pulang ke kantor yayasan.

Tidak ke kafe.

Tidak ke kantor polisi.

Mereka menuju arah barat, jalur kecil yang jarang dilewati siapa pun.

James makin yakin:

Ini bukan kebetulan.

DI SISI LAIN — Saksi Misterius

Di tempat lain, di daerah pinggir kota yang jauh dari kemewahan mansion Arther, ada sebuah salon kecil bernama “Rai’s Beauty Corner.”

Di dalam salon itu, seorang wanita muda sedang membersihkan cermin besar.

Namanya Raina Sari.

Rambutnya dikuncir tinggi.

Matanya cekung, seolah tidur tiga jam pun sudah mewah baginya.

Namun saat ia memandang ke luar jendela…

Ia melihat berita di layar TV kecil pojok ruangan.

“Peringatan 2 Tahun Kematian Melina Arther, Istri Pengusaha Terkenal Soni Arther.”

Wajah Raina langsung memucat.

Tangannya yang memegang kain pembersih jatuh ke lantai.

Tubuhnya menegang.

Mata itu…

mengingat sesuatu.

Air matanya mendadak naik ke pelupuk.

Dia berbisik lirih, hampir tanpa suara:

“…itu malam itu…”

“…malam yang aku lihat…”

Ia memejamkan mata kuat-kuat.

Ingatan datang seperti badai:

Hujan deras.

Wanita berlari.

Teriakan.

Mobil hitam berhenti.

Seseorang mengikuti dari jauh.

Dan seorang gadis muda (Hana) berlutut sambil menangis histeris.

Raina menutup mulutnya.

“Sudah dua tahun… kenapa aku masih ingat?”

Lalu ia melihat sesuatu di sudut berita:

Foto James Arther.

Putra satu-satunya dari Melina.

Wajah muda itu muncul di layar, dengan senyum yang tidak ia lihat di malam tragedi itu.

Raina menegang.

“…jadi… dia anaknya…”

bisiknya.

Tiba-tiba pintu salon terbuka.

Raina terlonjak.

“T-tidak terima pelanggan hari ini,” katanya gugup, cepat-cepat matikan TV.

Yang masuk bukan pelanggan.

Melainkan seorang wanita paruh baya, tetangga yang tinggal di seberang salon.

“Raina, kau baik-baik saja? Tadi aku dengar kau teriak.”

Raina buru-buru tersenyum kecil.

“Oh, hanya kaget… kaca hampir jatuh.”

Tetangga itu mendekat.

“Oh ya, berita tadi… kau lihat?”

Raina menelan ludah.

“…sedikit.”

“Kasihan ya… suaminya kaya, tapi istrinya meninggal dengan tragis begitu.

Kau tahu nggak, polisi sempat curiga, tapi kasusnya ditutup istrinya.”

Raina tersentak.

“Di… di-tutup?”

Ia menatap tetangga itu.

“Maksudnya… oleh siapa?”

“Ah, aku lupa namanya… tapi dia menikah lagi cepat sekali setelah itu.”

Raina mematung.

Menikah lagi?

Dengan siapa?

Tetangga itu melanjutkan santai:

“Namanya… Hanasta ya? Atau Hanani?

Pokoknya istri barunya.”

Darah Raina berhenti mengalir.

Hana.

Nama itu seperti hantaman besar.

“Ra-na?” tetangga itu memanggilnya,

“Kau pucat sekali. Sakit?”

Raina menggeleng cepat.

“Tidak… tidak… aku hanya—”

Tiba-tiba ingatan itu kembali:

Ketika dia berdiri di balik tiang listrik,

basah kuyup, tangan gemetar,

ia melihat gadis yang sedang memegang tubuh wanita yang jatuh itu.

Wajah gadis itu…

Hana.

Dan tepat beberapa detik sebelum semua itu terjadi…

ada bayangan laki-laki tinggi

berjalan pelan di belakang wanita yang jatuh.

Tapi wajahnya tidak terlihat.

Raina menutup mulutnya, shock.

“…jadi itu benar-benar dia…”

gumamnya lirih.

Tetangga itu bingung.

“Apa, Rai?”

“Tidak… tidak apa-apa,” jawab Raina cepat.

Tapi tubuhnya gemetar.

Karena ia sadar:

Saksi utama bukan Hana.

Saksi utama adalah dirinya.

Dan seseorang mungkin sedang mencarinya.

KEMBALI KE JAMES — Mengejar Lima

Lima dan Tujuh masuk ke sebuah gang kecil—

gang yang mengarah ke gudang kosong.

James berhenti sejenak, menyandarkan tubuh ke dinding, memperhatikan.

Dia berbicara dalam hati:

“Saksi itu pasti berada di jalur yang ayah sembunyikan.”

Jika ia bisa tahu ke mana Lima dan Tujuh akan bertemu seseorang,

mungkin itu orang yang Soni ingin bungkam.

Dan itu berarti—

orang itu adalah saksi kunci kecelakaan ibunya.

James menunggu.

Nafasnya gelap, tapi tenang.

Lima menyalakan ponsel, menghubungi seseorang.

Pembicaraan mereka tidak terdengar jelas…

tapi ada satu kata yang James tangkap:

“Liora… yang perempuan…”

James menegang.

PEREMPUAN.

SISWI.

SAKSI.

Ini semakin jelas.

James menempel di dinding,

bersiap mengikuti mereka ke titik berikutnya.

Namun ia tidak tahu—

Pada saat yang sama,

di salon pinggiran kota…

Raina — saksi itu — akhirnya mengambil keputusan:

Ia mematikan lampu salon, mengunci pintu, mengambil tas kecilnya…

Dan berkata pada dirinya sendiri:

“…aku tidak bisa diam lagi.

Aku harus pergi… sebelum seseorang datang.”

Dia keluar dari salon dengan langkah cepat—

menuju arah yang berlawanan dari James,

Raina keluar dari salon dengan langkah cepat, hampir berlari kecil.

Langit mendung, angin dingin berhembus dari utara.

Ia menutup jaketnya rapat-rapat, menurunkan wajah, dan mempercepat langkah menuju halte bus paling dekat.

Ia baru saja memutuskan satu hal paling berani dalam hidupnya:

Pergi dari kota ini.

Meninggalkan semuanya.

Karena seseorang akhirnya bicara tentang Hana.

Dan itu berarti…

Malam itu yang ingin ia lupakan selama dua tahun…

tidak hilang.

Tidak terlupakan.

Dan bukan kecelakaan biasa.

Raina menggigit bibir.

Jantungnya berdegup tak karuan.

“Kenapa berita itu muncul…

kenapa aku harus melihatnya hari ini…”

gumamnya.

Ia mengusap mata cepat, mencoba menahan rasa takut.

Ia berjalan melewati gang samping menuju jalan besar, berusaha menjaga jarak dari orang-orang.

Namun saat ia berbelok—

Ada dua pria berdiri di ujung jalan.

Dua pria berpakaian gelap.

Tubuh besar.

Langkah mantap.

Lima dan Tujuh.

Raina tidak mengenal mereka.

Tapi instingnya tahu:

Berbahaya.

Sangat berbahaya.

Salah satu dari mereka sedang menatap foto di ponselnya.

Raina membeku.

Di layar—

ada foto dirinya.

Foto lama waktu SMA, masih memakai seragam Liora.

Foto yang hanya bisa berasal dari arsip sekolah.

Mulut Raina langsung kering.

“…mereka cari aku…”

bisiknya lirih.

Wajahnya memucat drastis.

Ia mundur perlahan, tidak ingin menimbulkan suara.

Tapi ketika ia berbalik—

Di belakangnya, ada bayangan pria lain muncul dari sisi kios kosong.

Pria itu menatapnya langsung, tajam.

“Raina Sari?”

Tubuh Raina tersentak seperti listrik menyambar.

Ia langsung berlari.

 

KEJARAN DIMULAI

Raina tidak sempat berpikir.

Ia hanya mengikuti naluri bertahan hidup.

Ia berlari secepat mungkin menyusuri gang sempit, napas tersengal, tangan gemetar keras.

“Berhenti!”

teriak salah satu pria.

Tidak mungkin.

“RAINA SARIII! HENTI—”

Suara mereka memantul di dinding gang.

Raina berbelok tajam ke arah kiri, melewati pagar bambu rumah tua, hampir tersandung batu.

Ia tahu jalan ini.

Ia pernah melewatinya saat masih sekolah.

Jalan sempit.

Tidak pernah ramai.

Tempat terbaik untuk hilang.

Atau tempat terbaik untuk hilang selamanya.

Raina menoleh ke belakang—

Mereka mengejar.

Dengan langkah besar.

Dengan jarak yang menutup cepat.

Air mata mulai keluar karena takut.

“Aku tidak boleh… tertangkap…”

bisiknya putus asa.

Ia menubruk pintu pagar kecil dan memaksanya terbuka, berlari ke belakang rumah warga.

Ia tidak tahu ke mana ia pergi.

Hanya tahu ia harus terus lari.

Tiba-tiba…

Trraaap!

Salah satu pria muncul dari sisi kiri, hampir menangkap lengan Raina.

Raina menjerit kecil dan memutar arah, menabrak jemuran pakaian, hampir jatuh.

“PECAH JALAN! KE KANAN!”

suara pria itu berteriak.

Raina berlari lebih cepat, napasnya sakit, tenggorokannya seperti terbakar.

Ia mendengar langkah mereka semakin dekat.

Jantungnya hampir pecah.

Kemudian—

ia melihat jalan besar di depan.

“Kalau aku bisa sampai ke keramaian…

aku bisa selamat… aku bisa selamat…”

gumamnya lirih.

Ia menyalip antara gerobak dan pintu toko yang hendak dibuka.

Keluar ke jalan.

Mobil-mobil melintas cepat.

Raina hampir disambar motor saat menyeberang.

Hampir.

 

DI BELAKANGNYA

Lima menghentikan langkah ketika Raina menyelinap ke keramaian.

“Tsk.”

Ia mengusap wajah, berkeringat.

Tujuh tiba di sampingnya, napas berat.

“Dia lihat kita.

Kita sudah ketahuan,” kata Tujuh.

Lima menatap kerumunan lalu berbisik:

“Cari dia.

Jangan sentuh.

Jangan lukai.

Tapi ambil.

Hidup-hidup.”

Tujuh mengangguk.

“Dan James?”

Tujuh bertanya.

Lima tersenyum miring.

“Dia sedang kehilangan jejak kita.

Bagus.”

Mereka berpisah, masuk ke keramaian dari dua arah berbeda—

seperti pemburu yang mengepung mangsanya.

 

RAINAINA — KEPANIKAN DI KERAMAAN

Raina menembus kerumunan orang di pasar kecil.

Orang-orang yang tidak tahu apa pun berjalan lewat, belanja, mengobrol, tertawa.

Sementara dirinya—

“Jangan lihat belakang…

jangan lihat… jangan…”

Tapi ia melihat.

Dan ia melihatnya.

Lima.

Tidak jauh.

Menatapnya langsung.

Raina memekik tanpa suara.

Ia lari lagi, kali ini ke arah halte bus.

“Pak! Bus! Ayo jalan, Pak! Ayo jal—”

Supir bus melihatnya bingung.

“Tiket dulu! Santai mba—”

“TOLONG JALAN!”

Raina teriak putus asa, air mata menetes.

Supir bus terkejut dan langsung menutup pintu.

Praaang!

Tujuh memukul kaca bus dengan telapak tangan dari luar.

Raina menjerit dan memeluk kursinya.

Supir gas.

Bus melaju.

Lima menatap bus itu pergi, wajahnya gelap.

Tujuh bertanya,

“Kita kejar?”

Lima menggeleng.

“Tidak perlu.

Kita tahu tujuannya.”

Tujuh tersenyum miring.

“Dia pasti pulang.”

Lima menatap ponselnya.

“Dan kalau dia pergi ke polisi…

lebih bagus.”

Tujuh mengerutkan dahi.

“Bagus? Kenapa?”

“Karena kita tahu siapa yang mengatur polisi.”

Tujuh paham.

Lima menutup ponsel dan menatap bus yang makin jauh.

“Saksi itu panik,” katanya.

“Dan yang panik selalu lari ke tempat yang sama.”

Tujuh mengangguk pelan.

“Rumah.”

“Ya.”

Lima tersenyum gelap.

“Rumah.”

 

DI DALAM BUS

Raina memeluk tas kecilnya.

Air mata jatuh tanpa ia tahan.

Tangan dan bahunya masih gemetar keras.

“Aku harus pergi dari kota ini…”

“Aku harus… sebelum mereka menemukan aku…”

Ketika bus berbelok melewati gedung tua,

mata Raina menangkap pantulan dirinya di kaca.

Ia melihat wajahnya sendiri—

wajah yang menyimpan ketakutan dua tahun lalu.

Wajah yang menyimpan rahasia paling besar:

“Malam itu… bukan kecelakaan…”

Air matanya jatuh.

“…dan orang yang mengejar wanita itu…

masih hidup.”

namun menuju takdir yang sama.

By : Eva

18-11-2025

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!