"Bagaimana rasanya... hidup tanpa g4irah, Bu Maya?"
Pertanyaan itu melayang di udara, menusuk relung hati Maya yang sudah lama hampa. Lima tahun pernikahannya dengan Tama, seorang pemilik bengkel yang baik namun kaku di ranjang, menyisakan kekosongan yang tak terisi. Maya, dengan lekuk tubuh sempurna yang tak pernah dihargai suaminya, merindukan sentuhan yang lebih dalam dari sekadar rutinitas.
Kemudian, Arya hadir. Duda tampan dan kaya raya itu pindah tepat di sebelah rumah Maya. Saat kebutuhan finansial mendorong Maya bekerja sebagai pembantu di kediaman Arya yang megah, godaan pun dimulai. Tatapan tajam, sentuhan tak sengaja, dan bisikan-bisikan yang memprovokasi h4srat terlarang. Arya melihatnya, menghargainya, dengan cara yang tak pernah Tama lakukan.
Di tengah kilau kemewahan dan aroma melati yang memabukkan, Maya harus bergulat dengan janji kesetiaan dan gejolak g4irah yang membara. Akankah ia menyerah pada Godaan Sang Tetangga yang berbaha
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27
Maya mengikuti Arya, jantungnya berdebar kencang, dentumannya memenuhi telinga. Udara dingin di rumah Arya terasa menusuk, namun seluruh tubuhnya diliputi panas. Ia tidak tahu ke mana Arya akan membawanya, tapi ia tahu ia siap.
Arya membimbingnya, tangannya masih menggenggam erat tangan Maya, melewati ruang tamu yang gelap, menaiki tangga menuju lantai atas. Langkah mereka pelan, seolah menikmati setiap detik ketegangan yang memuncak. Hanya suara napas mereka yang terdengar di keheningan malam.
Mereka berhenti di depan sebuah pintu. Bukan kamar Arya, melainkan sebuah pintu yang belum pernah Maya perhatikan sebelumnya. Pintu itu terbuat dari kayu gelap, dengan ukiran yang rumit. Sebuah pintu yang terasa menyimpan misteri.
Arya melepaskan genggaman tangan Maya. Ia meraih kenop pintu, memutarnya perlahan. Suara engsel berdecit pelan. Arya membuka pintu itu, lalu menoleh ke arah Maya, senyum misterius terukir di bibirnya.
"Selamat datang, Mbak Maya," bisik Arya, suaranya serak. "Ini... tempat di mana kita bisa menjadi diri kita sendiri."
Maya melangkah masuk. Ruangan itu lebih besar dari yang ia bayangkan. Sebuah ruangan pribadi yang mewah, namun terasa hangat dan int!m. Ada perapian yang menyala lembut di sudut ruangan, memancarkan cahaya jingga yang menari-nari. Sebuah sofa kulit besar berwarna gelap menempati sebagian besar ruangan, di depannya ada meja kopi rendah dengan beberapa buku tebal berserakan. Sebuah karpet tebal menghampar di lantai, menambah kesan nyaman. Tidak ada jendela, hanya lukisan abstrak yang memenuhi dinding. Ruangan itu terasa seperti sebuah dunia tersembunyi, jauh dari keramaian dan penilaian.
"Silakan duduk, Mbak Maya," Arya menunjuk sofa.
Maya duduk perlahan di sofa yang empuk. Aroma
kayu bakar bercampur parfum Arya yang khas memenuhi indra penciumannya.
Arya berjalan menuju sebuah bar kecil di sudut ruangan. "Anda mau minum apa? Wine? Atau yang lain?"
"Tidak usah, Tuan," tolak Maya, suaranya sedikit
bergetar.
Arya tersenyum tipis. "Jangan panggil saya Tuan, Mbak Maya. Di sini, kita tidak punya status. Panggil saja... Arya."
Jantung Maya berdesir. Arya. Mengucapkan nama itu terasa begitu terlarang.
"Arya..." bisik Maya, mencoba.
"Bagus," Arya mengangguk puas. Ia mengambil sebotol wine merah dan dua gelas. Ia kembali ke sofa, duduk di samping Maya, sangat dekat. Ia menuangkan wine ke dalam gelas.
"Ini untuk kita," kata Arya, menyerahkan segelas wine kepada Maya. "Untuk awal yang baru."
Maya mengambil gelas itu. Jemari mereka bersentuhan sesaat. Sebuah sentuhan yang singkat, namun terasa panas di kulit Maya. Ia menyesap wine itu perlahan. Rasanya pahit, namun hangat di tenggorokan.
"Bagaimana perasaan Anda sekarang, Mbak Maya?"
tanya Arya, matanya menatapnya dalam. "Di sini, bersama saya."
Maya menunduk. Ia merasa malu, namun juga ada perasaan aneh yang tak bisa ia pungkiri. Sebuah kebebasan. Kebebasan untuk merasakan, untuk menjadi dirinya sendiri.
"Saya... saya tidak tahu, Arya," bisik Maya. "Saya merasa... takut."
"Takut apa?" Arya bertanya, ia meletakkan gelasnya di meja. Ia menoleh sepenuhnya ke arah Maya, mencondongkan tubuhnya. Jarak mereka kini sangat dekat.
"Takut... ini salah," bisik Maya.
Arya tersenyum tipis. "Salah menurut siapa? Menurut masyarakat? Menurut orang-orang yang tidak memahami apa yang Anda rasakan?" Ia mengangkat tangannya, menyentuh pipi Maya. Jemarinya mengusap kulit Maya perlahan. Sentuhan itu terasa begitu lembut, begitu menghibur, namun juga begitu sensu4l.
"Cinta itu tidak mengenal aturan, Mbak Maya," Arya berbisik, suaranya rendah dan serak. "Cinta itu tentang perasaan. Tentang dua jiwa yang saling menemukan. Dan saya rasa, kita sudah menemukan itu."
Jantung Maya berdebar kencang. Kata "cinta" itu begitu kuat, begitu berbahaya.
"Saya bisa merasakan Anda juga merasakan hal yang sama," Arya berbisik lagi, napasnya menerpa bibir Maya.
"Gair4h ini. Hasr4t ini. Itu nyata."
Maya memejamkan mata. Ia tidak bisa lagi menolak.
Tubuhnya terasa lumpuh dalam dekapan Arya. Ia merasakan tangan Arya turun dari pipinya, mengusap lehernya perlahan, lalu masuk ke dalam kerah bajunya.
Jemarinya menyentuh kulit pundak Maya yang halus.
Sebuah sentuhan yang disengaja dan lebih int!m.
Maya menahan napas. Sensasi itu menjalar ke seluruh tubuhnya, memicu api yang lebih besar di dalam dirinya.
"Anda cantik sekali, Mbak Maya," bisik Arya, suaranya serak. Ia menc!um 13her Maya perlahan, sebuah cluman yang dalam, menuntut.
Maya mendes4h pelan. Ia merasakan tangan Arya bergerak, menarik baju kurungnya sedikit ke bawah, memperlihatkan sedikit bahu dan tulang selangkanya.
Arya menclum bagian itu.
"Saya ingin sekali... merasakan setiap inci tubuh Anda, Mbak Maya," bisik Arya, ia membalikkan tubuh Maya perlahan agar menghadapnya, tanpa melepaskan pelukannya.
Mata Maya bertemu dengan mata Arya. Pria itu menatapnya dengan tatapan penuh hasr4t, sebuah tatapan yang begitu menggoda, begitu menuntut. Wajah mereka begitu dekat, Maya bisa merasakan napas Arya di wajahnya.
"Anda begitu memikat, Mbak Maya," bisik Arya, suaranya begitu lembut. "Saya tidak bisa berhenti memikirkan Anda. Tidak sejak pertama kali kita bertemu."
Tangan Arya bergerak lagi, turun dari bahu Maya, melewati lengannya, dan berhenti di pinggangnya. Ia mem3luk pinggang Maya, menariknya mendekat, sehingga tubuh mereka saling menempel erat. Maya bisa merasakan kehangatan tubuh Arya yang kokoh di baliknya.
"Saya tahu Anda ragu," Arya berbisik, suaranya serak. "Tapi saya janji, saya tidak akan mengecewakan Anda. Saya akan membuat Anda bahagia."
Ia menundukkan kepalanya, bib!rnya mendekat ke b! bir Maya. Maya tidak membalas, tapi ia juga tidak menolak. Tangannya perlahan terangkat, melingkari leher Arya. Sebuah gerakan tanpa sadar.
Tangan Arya bergerak lagi, kini masuk ke dalam bajunya, mengusap punggungnya perlahan. Jemarinya meny3ntuh kul!tnya yang halus, sebuah sentuhan yang membuat Maya mendes4h.
"Saya ingin Anda tahu, Mbak Maya," bisik Arya, ia melepaskan c!umannya sejenak, menatap Maya dalam. "Saya ingin Anda menjadi milik saya. Seutuhnya."
Pengakuan itu menghantam Maya. Sebuah undangan untuk meninggalkan semua yang ia miliki, dan menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada Arya.
Maya merasakan air mata mengalir di pipinya. Ia ragu. Sangat ragu. Ada Tama di rumah, menunggunya. Sebuah pernikahan yang, meski hambar, tetaplah sebuah ikatan. Tapi daya tarik Arya, bisikannya yang menjanjikan kebahagiaan, sentuhannya yang membakar, terlalu kuat. Ia merasakan kebutuhan yang mendesak untuk diakui dan diinginkan. Kebutuhan yang selama ini tidak pernah terpenuhi.
Arya mengusap air mata Maya. Ia mendekatkan wajahnya lagi. "Jangan menangis, Mbak Maya. Ini bukan hal yang perlu Anda tangisi. Ini adalah awal dari kebahagiaan Anda."
Ia menclum air mata Maya, lalu turun ke bib!rnya. Ciuman itu semakin dalam, semakin menuntut. Maya memejamkan mata, membiarkan dirinya tenggelam dalam sensasi itu. Ia tahu ia sudah melampaui batas. Dan ia tidak bisa mundur. Sebuah langkah yang tak bisa ditarik kembali
gak bakal bisa udahan Maya..
kamu yg mengkhianati Tama...
walaupun kamu berhak bahagia...
lanjut Thor ceritanya