NovelToon NovelToon
Benih Yang Tak Terucap

Benih Yang Tak Terucap

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Nikah Kontrak
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: S. N. Aida

Empat tahun lalu, Aira Nadiya mengalami malam paling kacau dalam hidupnya—malam yang membuatnya kehilangan arah, tapi juga memberi dirinya sesuatu yang paling berharga: seorang anak laki-laki bernama Arvan.

Ia tidak pernah memperlihatkan siapa ayah anak itu. Tidak ada foto, tidak ada nama, tidak ada cerita. Satu-satunya petunjuk hanya potongan ingatan samar tentang pria misterius dengan suara rendah dan mata gelap yang menatapnya seolah ingin menelan seluruh dunia.

Aira mengira itu hanya masa lalu yang terkubur.

Sampai suatu hari, karena utang ayahnya, ia dipaksa menikah dengan Dion Arganata, CEO muda yang terkenal dingin dan tidak punya empati. Lelaki yang seluruh hidupnya diatur oleh bisnis dan warisan. Lelaki yang membenci kebohongan lebih dari apa pun.

Dan Aira bahkan tidak tahu…

Dion adalah pria dari malam itu.
Ayah dari anaknya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 9 — Benih di Dalam Sangkar

​Kepindahan Arvan ke penthouse Dion Arganata terjadi dalam suasana keheningan yang mencekam. Aira, dengan hati yang hancur, mengatur kamar putranya yang baru—sebuah kamar besar dengan pemandangan kota yang luar biasa, dipenuhi mainan mahal dan perabotan anak-anak terbaik. Tapi di mata Aira, itu hanya sangkar emas yang disiapkan oleh seorang tiran untuk menjebak putranya.

​Arvan, sebaliknya, tampak gembira. Ia berusia empat tahun, dan kemewahan yang mengejutkan ini terasa seperti taman bermain raksasa baginya.

​“Mama, ini kamar Arvan?” tanya Arvan, matanya berbinar, memegang miniatur robot yang bergerak. “Ini lebih besar dari rumah Nenek! Apakah Mama sekarang benar-benar jadi putri Raja?”

​Aira tersenyum dengan air mata di pelupuknya. “Iya, Sayang. Mama akan bekerja keras di sini, dan Arvan harus jadi anak baik.”

​Aira memberikan peringatan yang menyakitkan: “Ingat, di sini ada Tuan Dion. Dia… bos Mama. Dia orang penting, jadi Arvan tidak boleh ganggu dia. Dan kalau ada yang tanya, Arvan anak siapa? Arvan harus bilang, Arvan keponakan Mama. Mengerti?”

​Arvan, meskipun cerdas, hanya mengangguk patuh, sibuk dengan robot barunya.

​Kehidupan Aira kini berputar di sekitar ketakutan ganda: takut akan tuntutan fisik Dion, dan takut Dion akan menyadari kemiripan yang mencolok antara dirinya dan Arvan.

​Dion menetapkan aturan tentang Arvan: Anak itu tidak boleh mengganggu jadwalnya, tidak boleh berkeliaran di ruang kerja, dan harus dijaga agar tetap tenang. Dion memperlakukannya sebagai masalah yang perlu dikelola.

​Namun, takdir punya rencana lain.

​Suatu pagi, Dion sedang berada di ruang keluarga, membaca koran bisnis di sofa, sementara Bi Surti sedang membersihkan kamar. Arvan, yang sedang bermain mobil-mobilan di karpet, tidak sengaja mendorong mainannya terlalu keras. Mobil itu meluncur, menabrak kaki Dion.

​Dion, yang sedang berkonsentrasi pada berita buruk tentang saham ArgaCorp, tersentak. Ia menatap ke bawah, matanya memancarkan kemarahan dingin yang biasa ia tujukan kepada bawahannya yang tidak becus.

​Arvan, yang baru pertama kali melihat kemarahan Dion dari dekat, ketakutan. Ia buru-buru merangkak, meraih mobilnya, dan menyembunyikannya di belakang punggungnya.

​Aira, yang melihat kejadian itu dari ambang pintu dapur, bergegas masuk.

​“Tuan Arganata, saya mohon maaf,” kata Aira, segera meraih Arvan. “Arvan, cepat minta maaf pada Tuan Dion!”

​Arvan menunduk, takut. “Maaf, Tuan.”

​Dion tidak mengucapkan sepatah kata pun. Matanya hanya tertuju pada Arvan. Ia tidak melihat ancaman atau gangguan; ia melihat sesuatu yang asing dan menarik.

​Dion menatap mata Arvan—mata gelap, tajam, dan penuh rasa ingin tahu yang persis sama dengan pantulan dirinya di cermin. Untuk pertama kalinya, Dion memperhatikan anak itu dengan saksama. Ia melihat struktur wajah yang rapi, garis rahang yang kuat meskipun masih anak-anak.

​“Kau keponakannya?” tanya Dion, suaranya kembali datar, tanpa ancaman.

​Arvan mendongak ke Aira, mencari persetujuan. Aira mengangguk tipis, panik.

​“Iya, Tuan. Arvan keponakan Mama,” jawab Arvan, suaranya kecil.

​Dion menghela napas, rasa frustrasi perlahan mereda. “Anak kecil harusnya tidak bermain mobil di dalam. Kau tahu apa itu bahaya?”

​Arvan menggeleng.

​Dion meletakkan korannya, sesuatu yang belum pernah Aira lihat ia lakukan untuk hal sepele. Ia menggeser tubuhnya ke tepi sofa.

​“Dengar, Arvan,” kata Dion, nadanya lebih mendidik daripada memarahi. “Jika kau bermain mobil di sini, kau bisa menyandung orang. Jika orang itu jatuh, dia bisa terluka. Di dunia ini, kau harus selalu tahu di mana batas amanmu. Batas aman itu adalah hal yang paling penting.”

​Dion mengambil mobil mainan itu dari tangan Arvan, membaliknya, dan menunjuk ke rodanya. “Mobil ini, jika kau tidak kendalikan, bisa menyebabkan kekacauan. Sama seperti perusahaan. Sama seperti uang.”

​Arvan, yang cerdas dan terbiasa dengan bahasa orang dewasa karena sering mendengar Aira berbicara, mendengarkan dengan saksama. “Oh. Jadi mobil ini harus diatur, seperti robot Arvan?”

​Dion terkejut oleh kecerdasan Arvan yang cepat menangkap analogi yang ia buat. Dion mengangguk. “Ya. Harus diatur.”

​Aira berdiri di sana, terperangkap antara ketakutan dan kelegaan. Ia takut Dion terlalu dekat, tetapi lega karena Dion tidak marah.

​Dion mengembalikan mobil itu ke Arvan. “Sekarang, pergi ke kamarmu. Dan atur semua mainanmu, jangan sampai mereka menyebabkan kekacauan lagi.”

​Arvan tersenyum, bersemangat karena mendapatkan perhatian yang begitu serius dari “bos” Mamanya. “Baik, Tuan! Arvan akan atur mainan Arvan!” Arvan lari ke kamarnya.

​Aira berdiri di depan Dion, memegang kendali dirinya. “Terima kasih, Tuan Arganata. Saya minta maaf atas ketidaknyamanan ini.”

​“Tidak perlu berterima kasih,” balas Dion, mengambil korannya lagi. “Aku hanya tidak suka melihat kekacauan di rumahku. Dan, pastikan kau mengurus anak itu. Aku tidak ingin dia menjadi masalah di masa depan.”

​“Saya mengerti,” kata Aira. Ia berbalik, tetapi Dion memanggilnya.

​“Aira.”

​Aira menoleh.

​“Malam ini. Di kamarku. Kau tahu aturannya sekarang. Jangan membuatku harus datang ke kamarmu untuk menarikmu.”

​Ancaman itu diucapkan dengan nada yang sama dinginya dengan instruksinya tentang saham. Itu adalah bagian dari rutinitasnya sekarang—dominasinya yang brutal.

​Malam itu, Aira bersiap. Ia mengenakan lingerie sutra yang Dion belikan—hadiah lain yang terasa seperti rantai. Ia berjalan ke kamar Dion, kamarnya sendiri sekarang terasa seperti sel penundaan eksekusi.

​Kamar Dion besar, dengan jendela yang menampilkan keindahan Kota Arganata di malam hari. Tapi malam itu, Aira hanya melihat jurang di bawah.

​Dion sudah menunggunya. Ia mengenakan celana tidur sutra dan sedang membaca di tempat tidur. Ia tidak terlihat seksi; ia terlihat seperti Raja yang menanti upeti.

​Aira berdiri di ambang pintu.

​“Aku tidak suka menunggu,” kata Dion, meletakkan bukunya. Ia menatap Aira, pandangannya dingin dan mengukur. “Kau terlambat lima menit.”

​“Maaf,” Aira berbisik.

​Dion bangkit dan berjalan perlahan ke arah Aira.

​“Kau pikir aku kejam?” tanya Dion, saat ia sudah berdiri sangat dekat, terlalu dekat.

​Aira menggeleng. “Saya pikir Anda marah.”

​“Aku marah,” akunya. Ia meraih wajah Aira, tangannya membelai pipi Aira dengan sentuhan yang tidak sesuai dengan kata-katanya. Sentuhan itu lembut, tetapi Aira tahu itu adalah awal dari kekejaman yang akan datang.

​“Aku marah karena kau berbohong padaku,” bisik Dion. “Aku marah karena aku tidak bisa mengendalikan apa yang kau rasakan. Tapi, malam ini, kau akan membayarnya.”

​Dion menarik Aira ke dalam pelukannya. Ciuman Dion kali ini berbeda. Itu bukan ciuman hasrat buta seperti malam pertama mereka, atau ciuman dominasi seperti yang ia lakukan di mobil. Ini adalah ciuman marah, ciuman menuntut kepemilikan. Ciuman yang berusaha menghapus semua rahasia, semua kebohongan, dan semua jarak di antara mereka.

​Aira tahu, ia harus bertahan. Ia harus menahan diri agar tidak menyerah pada gairah yang sama yang mengalir di antara mereka empat tahun lalu. Ia harus ingat bahwa ini adalah hukuman, bukan cinta.

​Namun, ia merasakan sentuhan Dion yang menjelajahi tubuhnya, mencari titik-titik lemahnya. Aira merasakan perlawanannya perlahan runtuh di hadapan intensitas Dion.

​“Kau milikku,” desis Dion di telinganya. “Kau akan menjadi milikku setiap malam, sampai aku bosan. Sampai kau tidak punya rahasia lagi untuk disembunyikan dariku.”

​Ciuman itu semakin dalam, semakin mendominasi. Aira menutup mata. Ia merasakan air mata mengalir dari sudut matanya, air mata pengkhianatan terhadap dirinya sendiri dan pengkhianatan terhadap putranya.

​Di tengah gairah yang mendominasi itu, Aira hanya bisa memikirkan Arvan, yang sedang tidur di kamar sebelah. Arvan, benih tak terucap, kini berada di bawah atap yang sama dengan Ayah kandungnya, dan Aira, Ibunya, dipaksa untuk menyerahkan dirinya kepada pria itu sebagai pembayaran atas kebohongan mereka.

​Pernikahan kontrak kini benar-benar telah menjadi sangkar.

​Sementara itu, di kamarnya, Arvan tidak bisa tidur. Ia berjalan ke jendela besar kamarnya, memandangi lampu-lampu kota. Ia mengambil mobil mainan barunya, mobil mewah yang belum pernah ia lihat.

​Arvan tersenyum. Ia teringat Tuan Dion, bos Mamanya. Pria itu menakutkan, tapi ia menjelaskan tentang aturan dan kekacauan.

​Arvan berpikir, “Tuan Dion itu pintar sekali. Dia mirip sekali dengan Bapak yang ada di foto lama Mama.”

​Arvan menyimpan foto Ayahnya yang lama, foto Dion yang Aira simpan diam-diam, di laci kecilnya.

​Arvan menatap foto Dion, lalu menatap kota. Anak kecil itu tidak tahu, bahwa ia adalah bom waktu, benih yang tak terucap, yang akan menghancurkan sangkar yang menahan kedua orang tuanya.

1
Elkss
bagus kak ceritanya
semoga cepet up lagi
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!