Mungkinkah cinta seorang ibu bisa runtuh oleh kebenaran genetik? Raya membesarkan putranya, Langit, dengan seluruh cinta dan jiwanya. Namun, sebuah tes medis tak terduga mengungkap fakta mengejutkan: Langit bukan darah dagingnya. Lebih mengerikan, DNA Langit justru mengarah pada masa lalu kelam Raya, terhubung dengan mantan suaminya yang dulu menyakitinya. Haruskah Raya mengungkap kebenaran yang bisa menghancurkan keluarganya, atau menyimpan rahasia demi menjaga 'anaknya'?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bangjoe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kedatangan Yang Mengancam
Udara di ruang tamu mendadak menipis, menyesakkan napas Raya hingga ke ulu hati. Damar. Nama itu berdesir dalam benaknya seperti mantra terkutuk yang kini menjadi kenyataan pahit di depan mata. Matanya terpaku pada sosok yang berdiri tegap di ambang pintu, aura ketenangan yang aneh menguar darinya, kontras dengan badai yang berkecamuk dalam diri Raya.
Arlan, yang semula tersenyum lega melihat kedatangan teman lama—setidaknya begitulah ia mengira—perlahan mengubah ekspresinya. Kerutan samar muncul di antara alisnya, menangkap ketegangan yang tiba-tiba merasuki Raya. Tangan yang tadi memegang pinggang Raya kini terlepas, menggantung canggung di sisi tubuhnya.
"Damar? Apa kabar? Sudah lama sekali," sapa Arlan, suaranya sedikit dipaksakan. Ia melangkah maju, mengulurkan tangan. Damar menyambutnya dengan jabat tangan erat, senyum tipis tersungging di bibirnya. Senyum yang tidak sampai ke mata, Raya tahu. Senyum yang selalu menyembunyikan sesuatu.
"Baik, Arlan. Terima kasih. Aku dengar kabar Langit kurang sehat, jadi aku mampir sekalian lewat. Kebetulan sekali," ujar Damar, pandangannya sekilas beralih pada Raya, berhenti sejenak, lalu kembali ke Arlan. Sekilas itu saja cukup untuk membuat Raya merinding.
Kebetulan? Tidak ada kebetulan dalam dunia Damar. Raya tahu itu. Pria itu selalu punya rencana, selalu selangkah di depan. Dan sekarang, dia ada di sini, di rumahnya, di depan Arlan, di saat Langit sakit. Ini adalah skenario terburuk yang pernah Raya bayangkan.
Raya memaksakan senyum tipis, merasa wajahnya kaku seperti topeng. "Damar... kenapa tidak memberi kabar?" Suaranya terdengar serak, tidak seperti biasanya. Ia benci betapa rapuhnya ia terdengar.
"Aku pikir akan jadi kejutan. Dan juga, aku tidak mau mengganggu kalian," jawab Damar, kali ini pandangannya kembali menancap pada Raya, lebih lama dari sebelumnya. Ada kilatan aneh di matanya, seperti ia sedang membaca setiap pikiran yang berkelebat di benak Raya. "Bagaimana Langit?" tanyanya, suaranya melembut, penuh perhatian.
Arlan menyela sebelum Raya sempat menjawab. "Dia demam tinggi semalaman, tapi sekarang sudah lebih baik. Baru saja minum obat dan istirahat. Mau melihatnya?" tawarnya, mungkin berniat meredakan suasana canggung yang terasa kental.
Damar mengangguk. "Tentu saja. Aku ingin melihat keponakanku." Kata 'keponakanku' terucap dengan penekanan yang membuat Raya nyaris tersedak ludahnya sendiri. Apakah ini hanya perasaannya, atau Damar memang sengaja menekankannya?
Raya merasa dunianya runtuh satu persatu. Damar di rumahnya, di kamar Langit, Arlan di sisinya. Sebuah bom waktu sedang dihitung mundur, dan dia tak tahu bagaimana menghentikannya. Ia harus melakukan sesuatu, apa saja, untuk menjaga jarak Damar dari kebenaran yang terkubur dalam-dalam.
Mereka bertiga berjalan menuju kamar Langit. Setiap langkah terasa berat bagi Raya. Di ambang pintu, Damar berhenti, menatap Langit yang terlelap pulas di ranjang. Wajah polos itu, dengan pipi memerah karena sisa demam, membuat hati Raya perih. Ia mencintai Langit dengan seluruh jiwanya, darah atau bukan darah.
Damar mendekat, mengulurkan tangan dan dengan lembut menyentuh dahi Langit. Gerakan itu begitu alami, begitu penuh kasih, sehingga Raya merasakan tusukan cemburu dan ketakutan yang bersamaan. Arlan memperhatikannya, alisnya semakin berkerut. Ada sesuatu yang tidak biasa dalam interaksi ini.
"Dia tampan sekali," bisik Damar, suaranya nyaris tak terdengar. "Sama tampannya dengan ayahnya." Kalimat itu, diucapkan begitu ringan, tapi mengandung bobot ribuan ton bagi Raya. Ia menahan napas, menatap Damar tajam, mencoba membaca apakah ada maksud tersembunyi di baliknya. Arlan hanya mengangguk, tersenyum kecil, mungkin berpikir Damar sedang memujinya.
"Terima kasih, Damar. Dia memang jagoan kami," kata Arlan bangga, menepuk bahu Damar.
Raya berdeham, mencoba mengalihkan perhatian. "Kita keluar saja, Damar. Biar Langit istirahat. Kita bisa bicara di ruang tamu." Ia mencoba terdengar tenang, namun getar di suaranya tak bisa ia sembunyikan sepenuhnya.
Damar mengangguk, sekali lagi menatap Langit, lalu beralih menatap Raya dengan tatapan yang dalam. Tatapan itu berkata, 'kita belum selesai'.
Di ruang tamu, suasana kembali mencekam. Arlan mencoba mencairkan suasana dengan menawarkan minuman, namun Damar menolak dengan halus. "Tidak perlu repot-repot, Arlan. Aku tidak akan lama. Aku hanya ingin bicara sebentar dengan Raya." Ini dia. Pukulan telak yang ia takutkan.
Arlan menatap Raya, lalu Damar, kebingungan jelas terpancar di matanya. "Bicara apa?" tanyanya, suaranya kini sedikit lebih tajam, curiga.
Raya merasakan jantungnya berdetak kencang, memohon kepada bumi untuk menelannya saja saat itu juga. Ia harus mengendalikan situasi ini. "Hanya masalah lama, Arlan. Tentang perusahaan. Ada dokumen yang perlu aku tanyakan padanya." Sebuah kebohongan instan, yang ia harap cukup meyakinkan.
Damar tersenyum tipis, kali ini senyumnya lebih dingin. "Ya, benar. Ada beberapa hal yang perlu aku konfirmasi dengan Raya, terkait proyek lama yang belum selesai. Masalah personal antara kami saja." Penekanan pada 'personal' dan 'antara kami' membuat Raya bergidik. Arlan tentu saja menangkap itu.
"Oh, begitu. Baiklah kalau begitu. Aku akan ke dapur sebentar, menyiapkan teh hangat. Kalian bisa bicara dulu," kata Arlan, tapi gerak-geriknya lambat, matanya masih menatap Raya dan Damar bergantian, penuh tanya. Ia jelas tidak sepenuhnya yakin.
Saat Arlan berbalik menuju dapur, Damar langsung menghadap Raya, tatapan tajamnya mengunci mata Raya. "Jadi, Raya. Sudah sejauh mana penyelidikanmu?" Suaranya pelan, menusuk, seperti pisau tajam yang mengoyak ketenangan Raya.
Raya tersentak, darahnya seolah berhenti mengalir. Ia menatap Damar tak percaya. Bagaimana? Bagaimana Damar tahu? "Penyelidikan apa? Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan." Ia mencoba bersikap tenang, mencoba berbohong, tapi suaranya bergetar.
Damar tertawa kecil, suara tawa yang tak ada nada geli sedikit pun. "Jangan berbohong padaku, Raya. Kau tahu persis. Tes DNA Langit. Kau pikir aku tidak akan tahu?" Wajahnya datar, namun matanya berkilat penuh kemenangan. "Aku sudah tahu kau menemukan kebenarannya. Aku sudah tahu kau tahu Langit bukan anak biologismu. Kau pikir aku sebodoh itu?"
Raya merasakan seolah seluruh oksigen di ruangan itu lenyap. Kakinya lemas, ia hampir terjatuh. Damar tahu. Dia tahu semuanya. Semua rahasia yang ia jaga mati-matian, semua ketakutan yang ia rasakan. Pria ini tahu.
"Apa maumu, Damar?" bisik Raya, suaranya nyaris tak terdengar, penuh keputusasaan.
Damar melangkah mendekat, mendekati Raya, hingga hanya beberapa inci memisahkan mereka. Ia mencondongkan tubuh sedikit, berbisik di telinga Raya, suaranya rendah dan mengancam. "Aku maumu, Raya. Dan aku mau anakku kembali." Kemudian, ia menegakkan tubuh, kembali menatap Raya dengan tatapan penuh tuntutan. "Langit adalah anakku. Dan aku akan mengambilnya. Kau tahu itu, kan?"
Raya menggelengkan kepalanya keras-keras, air mata sudah berkumpul di pelupuk matanya. "Tidak! Langit anakku! Dia anakku!" Ia mencoba meninggikan suaranya, tapi hanya terdengar seperti erangan frustrasi.
"Anakmu?" Damar tersenyum mencemooh. "Darahmu bukan. Darahku, Raya. Darahku. Kau hanya meminjamnya selama ini. Sekarang saatnya mengembalikannya." Ia menatap Raya dengan tatapan yang tak bisa dibantah, seperti seorang pemburu yang telah menjebak mangsanya.
Suara langkah kaki Arlan yang kembali dari dapur terdengar mendekat. Raya panik, menatap Damar dengan mata memohon agar diam. Tapi Damar hanya tersenyum dingin.
"Teh sudah siap... Ada apa? Kenapa kalian tegang begitu?" tanya Arlan, membawa nampan berisi dua cangkir teh. Ia berhenti di ambang pintu, menatap Damar dan Raya yang berdiri berhadapan, aura tegang di antara mereka begitu pekat hingga bisa dirasakan.
Raya menatap Arlan, wajah suaminya yang dulu selalu menenangkan kini terlihat cemas dan bingung. Bagaimana ia akan menjelaskan ini semua padanya? Bagaimana ia akan memberitahu Arlan bahwa pria yang berdiri di depannya, mantan suaminya, baru saja mengklaim putra mereka, putra yang ia sendiri bukan ayah biologisnya, adalah anaknya? Bagaimana ia akan menjelaskan bahwa dirinya, Raya, sudah mengetahui kebenaran itu untuk waktu yang lama, tapi menyembunyikannya dari suaminya sendiri?
Damar mengalihkan pandangannya dari Raya ke Arlan, senyum tipisnya kembali terukir, namun kali ini senyum itu menyimpan misteri yang jauh lebih gelap. "Tidak ada apa-apa, Arlan," katanya tenang, seolah tidak ada percakapan mencekam baru saja terjadi. "Hanya sedikit diskusi ringan tentang masa lalu. Tapi sepertinya, ini akan menjadi diskusi yang jauh lebih panjang dari yang aku bayangkan."
Arlan menatap Damar, lalu ke Raya. Matanya menyipit, mencurigai ada yang disembunyikan. Ia meletakkan nampan teh di meja, tatapannya kini lekat pada Raya, menuntut jawaban. "Raya? Ada apa sebenarnya?" Suaranya pelan, tapi penuh tekanan. "Apa yang sedang kalian bicarakan?"
Raya merasa seluruh dunia berputar. Ia terjebak di antara tatapan menuntut Arlan dan tatapan mengancam Damar. Rahasia yang ia jaga kini di ambang kehancuran. Pilihan terberat hidupnya, yang ia tahu akan menghancurkan segalanya, kini harus ia hadapi. Langit, Arlan, dirinya sendiri. Semuanya dipertaruhkan. Ia membuka mulutnya, ingin mengatakan sesuatu, apa saja, tapi tidak ada suara yang keluar. Hanya udara yang terasa panas dan berat memenuhi paru-parunya. Damar masih menatapnya, bibirnya membentuk senyum kemenangan yang kejam. Ini adalah awal dari perang yang sebenarnya.