Satu tahun penuh kebahagiaan adalah janji yang ditepati oleh pernikahan Anita dan Aidan. Rumah tangga mereka sehangat aroma tiramisu di toko kue milik Anita; manis, lembut, dan sempurna. Terlebih lagi, Anita berhasil merebut hati Kevin, putra tunggal Aidan, menjadikannya ibu sambung yang dicintai.
Namun, dunia mereka runtuh saat Kevin, 5 tahun, tewas seketika setelah menyeberang jalan.
Musibah itu merenggut segalanya.
Aidan, yang hancur karena kehilangan sisa peninggalan dari mendiang istri pertamanya, menunjuk Anita sebagai target kebencian. Suami yang dulu mencintai kini menjadi pelaku kekerasan. Pukulan fisik dan mental ia terima hampir setiap hari, tetapi luka yang paling dalam adalah ketika Anita harus berpura-pura baik-baik saja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blcak areng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kehilangan yang Menghancurka
Anita berjalan tertatih-tatih menuju meja administrasi rumah sakit. Ponselnya digenggam erat, menunjukkan notifikasi transfer dana sebesar seratus juta rupiah yang baru saja masuk dari Aidan. Obat pereda nyeri yang ia suntikkan mulai memudar, dan rasa sakit pasca-operasi berdenyut kencang di perutnya. Namun, ia tidak peduli. Adrenalin dan tekad untuk menyelamatkan orang tuanya mengalahkannya.
Di belakangnya, Aidan mengikuti dengan jarak tertentu, tangannya dimasukkan ke saku. Ia sudah mendapatkan apa yang ia inginkan: jaminan dan pengikat utang yang permanen.
Anita menarik napas, siap menghadapi petugas administrasi, siap untuk menyerahkan seluruh harga dirinya demi nyawa orang tuanya. Ia hampir berhasil. Ia telah memenangkan pertarungan melawan waktu dan kekejaman Aidan.
"Suster, saya mau menyelesaikan administrasi untuk Tuan dan Nyonya—"
Sebelum Anita sempat menyelesaikan kalimatnya, sebuah tangan menahan lengannya. Itu adalah Bi Siti, tetangga yang menunggu di lobi. Wajah Bi Siti kini tidak hanya sembap, tetapi hancur lebur, air mata mengalir deras.
"Neng! Neng Anita, hentikan!" isak Bi Siti, suaranya tercekat.
Anita mengerutkan kening, bingung. "Ada apa, Bi? Operasinya belum dimulai?"
Bi Siti menggeleng, isakannya berubah menjadi ratapan pilu. Ia meraih kedua tangan Anita, seolah menahan Anita agar tidak melangkah lebih jauh menuju kenyataan. Aidan langsung mendekat ke arah Anita saat melihat bi Siti berbicara.
"Neng... Maafkan Bibi... Maafkan kami... Dokter sudah berusaha sekuat tenaga, Neng..."
Kata-kata itu tergantung di udara. Anita bisa merasakan darahnya berhenti mengalir. Ia tahu apa yang akan dikatakan Bi Siti, tetapi otaknya menolak memprosesnya. Ia menggenggam tangan Bi Siti dengan sisa tenaganya.
"Bibi... tolong katakan..."
"Nyawa Bapakmu... dan Ibumu, Neng," suara Bi Siti pecah. "Mereka... mereka sudah tidak ada, Neng. Mereka tidak bisa diselamatkan. Mereka pergi bersamaan..."
Dunia Anita runtuh sepenuhnya.
Kehilangan Kevin. Kehilangan janinnya. Dan sekarang, orang tua kandungnya, dua pilar terakhir yang membuatnya tetap berdiri, telah pergi selamanya.
"Dua kali. Hilang, dua kali."
Tubuhnya, yang sudah rusak karena kekerasan, keguguran yang tak terawat, dan operasi darurat, tidak sanggup menahan beban psikologis ini. Ia tidak mengeluarkan teriakan, sebab kawat di rahangnya menahan suara. Tetapi tubuhnya bereaksi secara fisik terhadap kehancuran batin yang mutlak.
Lutut Anita melemas. Tubuhnya luruh ke lantai semen rumah sakit yang dingin.
Ia jatuh tepat di kaki Aidan.
Aidan membeku. Untuk pertama kalinya sejak Kevin meninggal, ekspresi dingin Aidan hancur. Ia tidak terbiasa dengan kepanikan yang begitu nyata, begitu total, dan begitu dekat. Ia melihat Anita, wanita yang ia benci, wanita yang baru saja ia jadikan budak utang, kini tergeletak tak berdaya di kakinya, hancur oleh tragedi yang bahkan ia—si pelaku kekejaman—tidak menciptakannya.
Bi Siti segera ikut berlutut dan memegang tangan dingin Anita.
"Neng Anita! Jangan begini, Neng!" teriak Bi Siti, bergegas memeluk Anita. Pelukan Bi Siti adalah pelukan seorang manusia yang tulus, pelukan yang mencoba menyatukan kembali puing-puing Anita yang sudah hancur berkeping-keping.
Anita memeluk Bi Siti, membenamkan wajahnya di bahu wanita itu. Isakannya bisu, hanya guncangan bahu dan air mata panas yang membasahi kain Bi Siti. Ia sudah tidak punya apa-apa lagi. Ia tidak punya Kevin, tidak punya anak, tidak punya orang tua, dan kini terikat utang pada suaminya yang kejam.
Aidan hanya berdiri diam. Ia tidak bergerak untuk membantu atau menenangkan. Ia hanya melihat pemandangan menyedihkan itu—korban dari semua tragedi—di pelukan orang lain.
Setelah beberapa detik yang terasa abadi, Aidan melangkah mundur, menolak untuk terlibat dalam luapan emosi yang begitu murni.
Ia telah mendapatkan jaminan mobil dan utang sebesar 60 juta rupiah. Tetapi ia kehilangan kesempatan untuk melihat Anita berdiri tegar. Ia hanya melihat kehancuran.