"Bagaimana rasanya... hidup tanpa g4irah, Bu Maya?"
Pertanyaan itu melayang di udara, menusuk relung hati Maya yang sudah lama hampa. Lima tahun pernikahannya dengan Tama, seorang pemilik bengkel yang baik namun kaku di ranjang, menyisakan kekosongan yang tak terisi. Maya, dengan lekuk tubuh sempurna yang tak pernah dihargai suaminya, merindukan sentuhan yang lebih dalam dari sekadar rutinitas.
Kemudian, Arya hadir. Duda tampan dan kaya raya itu pindah tepat di sebelah rumah Maya. Saat kebutuhan finansial mendorong Maya bekerja sebagai pembantu di kediaman Arya yang megah, godaan pun dimulai. Tatapan tajam, sentuhan tak sengaja, dan bisikan-bisikan yang memprovokasi h4srat terlarang. Arya melihatnya, menghargainya, dengan cara yang tak pernah Tama lakukan.
Di tengah kilau kemewahan dan aroma melati yang memabukkan, Maya harus bergulat dengan janji kesetiaan dan gejolak g4irah yang membara. Akankah ia menyerah pada Godaan Sang Tetangga yang berbaha
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15
Maya berdiri mematung di dalam gudang, jantungnya berdebar kencang. Tangan Arya baru saja menyentuh punggungnya, sebuah sentuhan yang disengaja, ia yakin itu. Dan bisikan di telinganya, napas hangat yang menerpa lehernya. Semua itu terlalu intim. Ia menatap Arya, pria itu membalas tatapannya dengan senyum tipis yang penuh arti. Seolah Arya sedang menguji seberapa jauh ia bisa melangkah.
"Kalau begitu, coba lagi," kata Arya, suaranya pelan, matanya masih menatap Maya intens. "Atau saya bantu."
Maya menelan ludah. "Tidak usah, Tuan. Saya coba sendiri." Ia segera berbalik, memunggungi Arya, kembali menghadap rak buku tinggi itu. Jantungnya masih berpacu gila-gilaan. Ia tidak berani menatap Arya lagi.
Ia menjinjitkan kakinya, berusaha menggapai buku yang dimaksud. Kali ini, ia berhati-hati agar tidak ada kontak fisik lagi. Tangannya gemetar saat meraih sampul buku yang terasa tebal dan berdebu. Akhirnya, ia berhasil menarik buku itu.
"Ini, Tuan," katanya, menyerahkan buku itu tanpa menoleh.
Arya mengambilnya. "Terima kasih." Suaranya terdengar di dekat telinganya lagi. "Anda memang
Cekatan."
Maya hanya mengangguk, berusaha menjaga jarak. Ia bisa merasakan tatapan Arya masih padanya. Pria itu tidak segera menjauh. Ia berdiri di belakang Maya, begitu dekat, membuat Maya merasa punggungnya panas.
"Saya harus segera berangkat," kata Arya, akhirnya. Suaranya kembali normal, seolah tidak ada apa-apa yang terjadi. "Anda bisa lanjutkan saja membersihkan gudang ini."
"Baik, Tuan," jawab Maya, tanpa berbalik.
Ia mendengar langkah kaki Arya menjauh. Suara pintu gudang tertutup. Maya menghela napas panjang, bersandar pada rak buku. Seluruh tubuhnya terasa lemas. Ia menyentuh punggungnya, tempat tangan Arya tadi menyentuh. Panas itu masih terasa. Sebuah sensasi yang membakar, namun anehnya, sangat memikat.
Ia tahu apa yang baru saja terjadi. Arya sengaja. Arya menggodanya. Dan ia, entah kenapa, membiarkannya. Bahkan, ada bagian dari dirinya yang menikmati permainan berbahaya ini. Rasa bersalah pada Tama muncul, namun segera tertutupi oleh sensasi baru yang ia dapatkan dari Arya.
***
Sore harinya, Maya menyelesaikan semua pekerjaannya di gudang. Buku-buku sudah bersih dan tertata rapi. Ia merasa puas dengan hasil kerjanya. Setelah itu, ia kembali ke kamar tidur Arya untuk merapikan beberapa pakaian yang mungkin baru Arya kenakan.
Ia menemukan kemeja putih bersih Arya tergeletak di ranjang. Kemeja yang sama yang dikenakan Arya tadi pagi.
Aroma tubuh Arya yang khas, perpaduan parfum maskulin dan sedikit keringat, menempel kuat pada kain itu. Maya tanpa sadar meraih kemeja itu, menghirup aromanya dalam-dalam. Sebuah tindakan yang aneh, namun ia tidak bisa menahannya. Aroma itu terasa begitu memabukkan, mengingatkannya pada kedekatan mereka di gudang tadi.
Ia melipat kemeja itu perlahan, lalu memasukkannya ke dalam lemari. Saat ia menutup lemari, ia melihat pantulan dirinya di cermin besar di balik pintu lemari. Daster yang sedikit longgar, rambut yang hanya diikat seadanya. Ia merasa tidak menarik. Lalu, mengapa Arya begitu intens menatapnya?
Tiba-tiba, ia mendengar suara pintu kamar terbuka.
Arya.
Maya tersentak. Ia berbalik dengan cepat. Arya berdiri di ambang pintu, menatapnya. Ia baru saja kembali dari luar, mengenakan setelan jas bisnis berwarna gelap, dasinya sudah sedikit longgar. Wajahnya terlihat lelah, namun matanya tetap tajam.
"Mbak Maya? Belum pulang?" tanyanya, sedikit terkejut melihat Maya di kamarnya.
"Belum, Tuan. Saya... saya baru saja selesai membersihkan kamar Anda," jawab Maya, merasa sedikit malu ketahuan menghirup kemeja Arya.
Arya mengangguk. Ia melangkah masuk, melepas jasnya, lalu meletakkannya di sofa. "Saya lupa kalau hari ini Anda ada jadwal bersih-bersih kamar saya."
"Sudah selesai, Tuan," kata Maya. "Kalau begitu saya permisi dulu."
Ia berjalan menuju pintu, ingin segera pergi dari sana.
Namun, saat ia melewati Arya, pria itu tiba-tiba berkata, "Tunggu sebentar."
Maya berhenti, menoleh. Jantungnya berdebar kencang.
Arya menatapnya. Matanya menelusuri wajah Maya, lalu turun ke leher jenjangnya, dan berhenti di bagian dadanya yang tertutup daster. Sebuah senyum tipis, nyaris tak terlihat, terukir di bibirnya.
"Anda tahu, Mbak Maya..." Arya memulai, suaranya rendah dan serak. "Anda terlihat... cantik sekali hari ini."
Pujian itu menghantam Maya seperti gelombang panas. Seketika, pipinya memerah padam. Ini adalah pujian pertama dari Arya tentang penampilannya. Bukan tentang kerajinan kerjanya, tapi tentang dirinya, sebagai seorang wanita. Maya merasa seluruh tubuhnya panas dingin.
"Tuan... Tuan berlebihan," kata Maya, menunduk, tidak berani menatap mata Arya. Ia merasa malu, canggung, namun sekaligus ada perasaan senang yang
meluap-luap.
Arya terkekeh pelan. "Saya tidak berlebihan, Mbak Maya. Saya bicara jujur." Ia melangkah mendekat satu langkah. "Daster itu... terlihat pas sekali di tubuh Anda."
Maya semakin menunduk, wajahnya pasti sudah semerah tomat. Pujian Arya tentang dasternya, yang adalah seragam kerjanya, terasa begitu intim. Ia tahu Arya sedang mengamatinya, dan ia merasa seolah dirinya sedang telanj4ng di bawah tatapan pria itu.
"Saya... saya permisi dulu, Tuan," kata Maya, suaranya tercekat. Ia harus pergi dari sana. Sekarang.
"Terburu-buru sekali?" Arya bertanya, nadanya menggoda. "Padahal saya baru mau menawarkan sesuatu."
"Maaf, Tuan. Suami saya sudah menunggu di rumah," Maya cepat-cepat beralasan, meskipun ia tahu itu tidak sepenuhnya benar.
Arya menghela napas, seolah kecewa. "Begitu? Baiklah." Ia menatap Maya dalam. "Hati-hati di jalan, Mbak Maya."
"Iya, Tuan," Maya tergagap. Ia segera berbalik dan bergegas keluar dari kamar Arya.
Ia berjalan cepat menuruni tangga, melewati ruang tamu, hingga akhirnya mencapai pintu utama. Begitu ia keluar dari gerbang rumah Arya, ia menarik napas panjang. Udara sore terasa dingin di kulitnya, namun ia merasa seperti terbakar.
Pujian Arya tadi terngiang-ngiang di benaknya. "Anda terlihat cantik sekali hari ini." "Daster itu... terlihat pas sekali di tubuh Anda." Kata-kata itu begitu sederhana, namun memiliki kekuatan luar biasa untuk menggetarkan hatinya. Tama tidak pernah memujinya seperti itu. Tidak pernah.
Maya berjalan pulang, pikirannya kacau balau. Ia tahu ini tidak benar. Ia sudah punya suami. Tapi mengapa pujian dari Arya terasa begitu manis? Mengapa ia merasa senang, bahkan sedikit bergairah, dengan godaan-godaan kecil itu?
Sesampainya di rumah, Maya langsung menuju kamarnya. Ia menatap pantulan dirinya di cermin. Daster biru yang tadi dikenakannya kini terasa berbeda. Daster yang kata Arya, terlihat pas di tubuhnya. Ia menyentuh kain itu, membayangkan tatapan Arya padanya.
Sebuah senyum tipis, campur aduk antara rasa senang dan rasa bersalah, terukir di bibirnya. Ia tahu ia sedang bermain api, dan api itu semakin membesar. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi ia tahu, ia ingin lebih. Lebih dari sekadar pujian. Ia ingin tahu, sejauh mana Arya akan melangkah. Dan sejauh mana ia akan membiarkannya.
gak bakal bisa udahan Maya..
kamu yg mengkhianati Tama...
walaupun kamu berhak bahagia...
lanjut Thor ceritanya