NovelToon NovelToon
Benih Yang Tak Terucap

Benih Yang Tak Terucap

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Nikah Kontrak
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: S. N. Aida

Empat tahun lalu, Aira Nadiya mengalami malam paling kacau dalam hidupnya—malam yang membuatnya kehilangan arah, tapi juga memberi dirinya sesuatu yang paling berharga: seorang anak laki-laki bernama Arvan.

Ia tidak pernah memperlihatkan siapa ayah anak itu. Tidak ada foto, tidak ada nama, tidak ada cerita. Satu-satunya petunjuk hanya potongan ingatan samar tentang pria misterius dengan suara rendah dan mata gelap yang menatapnya seolah ingin menelan seluruh dunia.

Aira mengira itu hanya masa lalu yang terkubur.

Sampai suatu hari, karena utang ayahnya, ia dipaksa menikah dengan Dion Arganata, CEO muda yang terkenal dingin dan tidak punya empati. Lelaki yang seluruh hidupnya diatur oleh bisnis dan warisan. Lelaki yang membenci kebohongan lebih dari apa pun.

Dan Aira bahkan tidak tahu…

Dion adalah pria dari malam itu.
Ayah dari anaknya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 11 — Tatapan yang Tak Bisa Dilupakan

​Kertas foto yang kusut itu tergeletak di atas meja mahoni, di bawah sorotan lampu meja Dion. Foto dirinya yang diambil empat tahun lalu, dengan tulisan di baliknya: Ayahmu. Bukti bisu itu kini telah menghancurkan semua rasionalitas yang selama ini menjadi fondasi hidup Dion Arganata.

​Ia adalah Ayah dari anak itu. Arvan.

​Kemarahan Dion melampaui batas. Itu bukan hanya penghinaan atas kebohongannya sebagai seorang suami kontrak; itu adalah pengkhianatan atas darahnya sendiri. Aira tidak hanya menyembunyikan putranya; dia menyembunyikan pewarisnya, satu-satunya benih dari keluarga Arganata, dan dia menggunakan kebohongan itu sebagai tameng untuk transaksi yang murni didasarkan pada uang.

​Dion bangkit, berjalan mondar-mandir. Setiap langkahnya terasa seperti gempa. Ia melihat kembali kemiripan Arvan dengannya: mata yang persis sama, cara berpikir yang terstruktur, bahkan ketertarikan pada miniatur jet tempur—semua itu kini masuk akal. Itu adalah ikatan darah. Dan Aira telah menutupi ikatan suci itu dengan selimut kebohongan dan sandiwara kontrak.

​Sekarang, semua permainan telah berakhir. Dion tidak lagi marah sebagai CEO yang ditipu oleh karyawannya; ia marah sebagai seorang Ayah yang dirampas haknya, dan sebagai seorang pria yang harga dirinya terinjak-injak.

​Ia harus menahan diri. Ia tidak akan memberitahu Aira bahwa ia tahu kebenaran mutlak itu. Ia harus mengamati, membiarkan Aira tenggelam dalam kebohongannya, sebelum ia menariknya ke permukaan dan menjatuhkan hukuman yang sesungguhnya.

​Makan malam itu adalah penyiksaan bagi Aira. Meja makan yang panjang dan mewah terasa dingin dan kosong, hanya diisi oleh suara denting sendok dan mangkuk porselen mahal. Arvan sudah makan malam lebih awal dan kini berada di kamarnya, diawasi oleh Bi Surti.

​Aira duduk di seberang Dion. Ia telah mempersiapkan dirinya untuk konfrontasi, untuk teriakan, untuk ancaman baru. Tetapi yang ia dapatkan adalah keheningan Dion yang baru, keheningan yang jauh lebih mematikan.

​Dion tidak berbicara. Ia hanya makan, perlahan, dengan ketenangan yang menipu. Tetapi, setiap kali Aira mendongak, matanya menemukan mata Dion menatapnya.

​Tatapan itu adalah neraka. Itu bukan lagi tatapan dominasi yang penuh hasrat, atau tatapan curiga yang mencari kebohongan. Itu adalah Tatapan yang Tak Bisa Dilupakan—tatapan yang kini telah melihat ke dalam jiwanya, melihat kebohongan paling gelapnya, dan menilainya sebagai pengkhianat.

​Aira merasakan telapak tangannya berkeringat. Ia mencoba tersenyum, mencoba terlihat tenang, seperti Nyonya Arganata yang tidak peduli.

​“Tuan Arganata,” Aira memecah keheningan, suaranya terdengar terlalu keras. “Apakah ada masalah dengan makanannya?”

​Dion meletakkan pisau dan garpunya, tanpa tergesa-gesa. Ia menghela napas, seolah Aira adalah subjek yang sangat membosankan namun penting.

​“Masalahnya bukan pada makanan, Aira,” kata Dion, suaranya rendah dan penuh makna tersembunyi. “Masalahnya ada pada fondasi rumah ini. Fondasi yang kita bangun di atas pasir kebohongan.”

​Aira menunduk, jantungnya berdebar kencang. “Saya sudah meminta maaf atas Arvan. Saya akan menjamin dia tidak akan mengganggu Anda.”

​“Arvan,” ulang Dion, menyesap airnya. Ia mengucapkan nama itu dengan penekanan yang sedikit berbeda, sedikit lebih intim, sedikit lebih penuh kepemilikan. “Anak yang pintar. Aku mengajarinya cara kerja koneksi hari ini. Dia cepat belajar. Kurasa… dia mewarisi kecerdasan dari seseorang yang sangat dekat dengannya.”

​Aira merasakan tusukan panik. Apakah Dion mulai mencurigai dirinya sebagai Ayah Arvan?

​“Ya,” kata Aira, berusaha terlihat bangga. “Arvan selalu pintar. Itu… dari pihak keluarga Ibu saya. Mereka semua pintar dalam perhitungan.”

​Dion menyeringai tipis, senyum yang tidak mencapai matanya. “Perhitungan? Memang. Beberapa orang sangat pandai dalam perhitungan, terutama dalam menyembunyikan aset yang paling berharga.”

​Dion bersandar di kursi, menyilangkan tangan. Ia menatap Aira, tatapan kali ini begitu intens hingga Aira merasa kulitnya terbakar.

​“Aku ingin tahu sesuatu, Aira,” tanya Dion, suaranya tiba-tiba serius. “Empat tahun yang lalu. Kau menyebutkan Ayah Arvan adalah pria yang tidak bertanggung jawab, yang meninggalkanmu. Itu menyakitkan, bukan? Ditinggalkan oleh pria yang seharusnya menjadi bentengmu.”

​Aira terkejut oleh pertanyaan yang begitu pribadi. “Ya. Itu sangat menyakitkan. Itu trauma yang tidak akan pernah hilang.”

​“Lalu,” lanjut Dion, dengan mata yang meneliti setiap kedipan Aira. “Jika pria itu tahu bahwa dia memiliki seorang putra. Seorang putra yang cerdas, yang memiliki matanya, yang memiliki darahnya. Dan dia tahu putranya itu hidup dalam kemewahan, tetapi dibesarkan tanpa nama Ayahnya. Menurutmu, apa yang harus dia lakukan?”

​Aira merasa sesak. Ia harus berhati-hati. Dion sedang memasang jebakan.

​“Dia tidak akan peduli, Tuan Arganata,” jawab Aira, mencoba mempertahankan cerita lama. “Jika dia peduli, dia tidak akan meninggalkan kami. Dia tidak layak mendapatkan Arvan.”

​Dion tertawa, suara tawa itu serak dan pahit. “Tidak layak? Kau meremehkan naluri kepemilikan, Aira. Pria tidak suka ketika aset mereka diambil. Pria tidak suka ketika mereka mengetahui bahwa mereka dirampas dari sesuatu yang seharusnya menjadi milik mereka. Terutama jika aset itu adalah pewaris, benihnya sendiri.”

​Dion bangkit. Ia mengitari meja. Aira tidak bisa bernapas. Ia hanya bisa menatap kakinya.

​Dion berhenti tepat di belakang kursinya, tangannya diletakkan di sandaran kursi, memenjarakan Aira.

​“Pria itu,” bisik Dion, suaranya begitu dekat dengan telinga Aira hingga membuat Aira merinding. “Mungkin dia sangat marah. Marah karena kau berbohong. Marah karena kau meremehkannya. Dan marahnya akan berubah menjadi dominasi yang mutlak. Dia tidak hanya akan mengambil anaknya. Dia akan mengambil segalanya. Bahkan kebohongan terindah yang pernah kau ciptakan.”

​Dion mengangkat tangannya, menyentuh rambut Aira. Sentuhan itu bukan lagi rayuan; itu adalah peringatan yang kejam.

​“Apakah kau mengerti, Aira,” bisik Dion. “Seberapa besar harga yang harus kau bayar jika pria itu tahu bahwa dialah Ayah anak itu?”

​Aira merasakan air mata panas mengalir di pipinya. Ia berpikir Dion hanya menebak, hanya menggertak. Ia harus bertahan.

​“Tuan Arganata,” kata Aira, suaranya gemetar. “Saya sudah bilang. Ayah Arvan tidak akan pernah tahu. Dan dia tidak akan pernah peduli.”

​Dion menarik tangannya dari rambut Aira, menjauh. “Bagus,” katanya, suaranya kini kembali datar, kembali ke jarak aman. “Sekarang, naik ke atas. Aku menunggumu di kamar.”

​Aira berjalan ke kamar Dion. Setiap langkah adalah perjuangan. Ia tahu, malam ini akan berbeda. Ia tahu, ia harus menghadapi tatapan yang kini mengetahui kebenaman.

​Saat Aira masuk, Dion sedang menatap ke luar jendela, membelakanginya. Ia tidak mengatakan apa-apa.

​Aira berjalan mendekat, berhenti di belakangnya. Ia menunggu, jantungnya berdebar tak karuan.

​“Dulu,” kata Dion, tiba-tiba. “Ketika kau datang ke Café ‘La Nuit’ malam itu, apa yang kau cari?”

​Pertanyaan itu mengejutkan Aira. Ia tidak pernah tahu Dion ingat detail itu.

​“Saya… saya butuh pekerjaan,” jawab Aira, jujur.

​“Tidak,” kata Dion, berbalik, dan kini mata mereka bertemu, di bawah cahaya bulan yang dingin. Tatapan itu menembus Aira. “Kau mencari lebih dari pekerjaan. Kau mencari pelarian. Kau mencari kehangatan. Kau mencari sesuatu yang bisa kau pegang.”

​Dion melangkah mendekat, perlahan. “Kau menemukan pria yang salah. Atau mungkin… pria yang tepat.”

​Dion tidak menyentuh. Ia hanya menggunakan kata-kata dan tatapannya sebagai alat siksa.

​“Aira,” kata Dion, nadanya lebih rendah, lebih gelap. “Apakah kau pernah berpikir… jika kau jujur padaku saat itu, jika kau memberitahuku tentang anak kita, apakah nasibmu akan berbeda?”

​Aira menahan isak tangisnya. Ia tidak tahan lagi dengan permainan psikologis ini.

​“Saya jujur… jika Ayah Arvan bukan pria yang pengecut,” bisik Aira, melancarkan serangan balasan. “Saya tidak akan pernah kembali ke hidup Anda jika Anda bukan satu-satunya jalan keluar saya. Anda adalah orang yang lupa. Anda adalah orang yang tidak bertanggung jawab!”

​Itu adalah ledakan jujur pertama Aira tentang malam itu, mengarahkan kesalahan pada Dion.

​Wajah Dion tegang. Ia ingin membentak, ingin mengakui semuanya. Tetapi ia menahan diri, membiarkan kemarahan Aira meluap.

​Dion meraih wajah Aira, ibu jarinya menyeka air mata Aira. Kali ini, sentuhan itu tidak mendominasi, tapi dipenuhi penderitaan yang ia rasakan sendiri.

​“Kau telah menghukumku dengan kebohonganmu, Aira,” kata Dion, suaranya serak. “Kau telah membuatku percaya bahwa aku adalah pria yang tidak bertanggung jawab. Tapi mulai sekarang, aku tidak akan menjadi pria itu lagi. Aku akan menjadi bentengmu, dan aku akan menjadi Ayah dari anak itu.”

​Dion kemudian menarik Aira mendekat, menciumnya, ciuman yang mengakhiri semua pertanyaan dan semua perlawanan. Ciuman yang kini menuntut bukan hanya pemenuhan kontrak, tetapi juga rekonsiliasi kebohongan. Aira tahu, Dion sudah tidak lagi bertanya. Dion sudah tahu.

​Ia hanya menunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkan pengetahuan itu.

1
Elkss
bagus kak ceritanya
semoga cepet up lagi
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!