NovelToon NovelToon
DRAGUNOV SAGA : Love That Defies The Death

DRAGUNOV SAGA : Love That Defies The Death

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / CEO / Mafia / Romansa / Enemy to Lovers / Roman-Angst Mafia
Popularitas:418
Nilai: 5
Nama Author: Aruna Kim

Apollo Axelion Dragunov, seorang mafia berhati batu dan kejam, tak pernah percaya pada cinta apalagi pernikahan. Namun hidupnya jungkir balik ketika neneknya memperkenalkan Lyora Alexandra Dimitriv, gadis polos yang tampak ceroboh, bodoh, dan sama sekali bukan tipe wanita mafia.
Pernikahan mereka berjalan dingin. Apollo menganggap Lyora hanya beban, istri idiot yang tak bisa apa-apa. Tapi di balik senyum lugu dan tingkah konyolnya, Lyora menyimpan rahasia kelam. Identitas yang tak seorang pun tahu.
Ketika musuh menyerang keluarga Dragunov, Apollo menyaksikan sendiri bagaimana istrinya berdiri di garis depan, memegang senjata dengan tatapan tajam seorang pemimpin.
Istri yang dulu ia hina… kini menjadi ratu mafia yang ditakuti sekaligus dicintai.
❝ Apakah Apollo mampu menerima kenyataan bahwa istrinya bukan sekadar boneka polos, melainkan pewaris singgasana gelap? Atau justru cinta mereka akan hancur oleh rahasia yang terungkap? ❞

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aruna Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 15

Hotel Écarlate, Malam Hari

Lampu gantung kristal berkilauan di langit-langit aula besar, memantulkan cahaya lembut ke seragam jas hitam dan gaun mahal para tamu. Musik klasik mengalun pelan, diselingi tawa basa-basi dan bunyi gelas bersentuhan.

Apollo Dragunov memasuki ruangan itu dengan langkah tenang dan dingin. Pandangan para tamu langsung mengarah padanya—beberapa menunduk hormat, beberapa hanya berbisik-bisik dengan ekspresi heran. Nama “Dragunov” masih cukup berat untuk membuat udara di ruangan sedikit berubah.

Ia tidak suka tempat seperti ini.

Semua orang di sini memakai topeng, seperti boneka mekanik yang hidup hanya demi citra. Tapi malam ini, ia datang bukan untuk bersenang-senang—melainkan untuk memastikan sesuatu.

Ia berjalan menembus kerumunan dengan langkah tenang namun terukur. Jas hitamnya pas di badan, wajahnya tanpa ekspresi, tapi setiap orang yang ia lewati tahu: aura pria itu terlalu berat untuk didekati.

Beberapa kepala menoleh, sebagian berbisik menyebut namanya dengan nada waspada.

Dragunov selalu menimbulkan efek yang sama di mana pun ia berada.

Saat sampai di aula utama, pelayan menyambutnya dengan sedikit gugup.

“Selamat malam, Tuan Dragunov. Tuan Rafael Arven menunggu di lounge pribadi.”

Apollo hanya mengangguk singkat.

Langkahnya terhenti sesaat di depan pintu kaca besar tempat cermin panjang memantulkan wajahnya.

Ia menatap bayangan itu dalam diam — mata hitamnya dingin, tapi ada gurat lelah yang tak bisa disembunyikan.

“Menunggu,” gumamnya pelan. “Atau sedang menyiapkan sesuatu?”

Ia membuka pintu.

Di dalam, suasananya lebih redup.

Rafael Arven duduk santai di kursi kulit, memutar segelas wine di tangannya. Pria itu menoleh dan tersenyum ketika melihat Apollo masuk, tapi senyum itu tidak sampai ke matanya.

“Dragunov,” sapanya ringan. “Sudah lama sekali.”

“Aku hampir tak percaya kau benar-benar datang,” suara bariton itu familiar—hangat di permukaan, tapi dingin di dasar.

Apollo menarik kursi, duduk tanpa menjawab.

Tatapan mereka bertemu — dua pria dengan sejarah yang lebih rumit daripada sekadar rekan bisnis.

Keheningan pertama terasa seperti ujian kecil, siapa yang akan bicara lebih dulu.

“Rafael,” ucap Apollo datar.

“Kau terlihat... berbeda,” lanjut Rafael, menatap cincin di jari Apollo dengan nada menggoda. “Ah, rupanya ada alasan kuat di balik semua rumor itu. Dragunov yang tak pernah tertarik pada siapa pun... akhirnya menikah.”

Apollo hanya menatap tanpa menjawab.

Namun Rafael tidak berhenti di situ. Ia mengambil segelas champagne dari meja lalu memainkannya di tangan.

“Tapi sungguh aneh,” bisiknya nyaris seperti lirikan, “kau tidak mengundangku ke pesta pernikahanmu. Padahal dulu... kita sempat berbagi panggung di proyek Chicago, bukan?”

Sudut bibir Apollo terangkat sedikit, namun tanpa kehangatan.“Kalau kau ingin undangan,” katanya dingin, “kau bisa memintanya langsung dari pengacara. Mungkin dia masih menyimpan salinannya.”

Rafael hanya terkekeh kecil. “Tajam seperti biasa. Tapi aku penasaran, Apollo..."

Ia mencondongkan tubuh sedikit, nada suara nya menurun menjadi lebih pribadi.

“Wanita yang berhasil membuatmu menikah… siapa sebenarnya dia?. Kau tahu kan, banyak orang mulai bertanya-tanya. Terutama karena kau terlalu cepat mengikatnya.”

Apollo menegakkan bahunya, pandangannya menusuk seperti pisau. “Urus hidupmu sendiri, Rafael,” katanya pendek. “Dan jangan pernah coba menyentuh urusanku.”

Tatapan keduanya bertaut. Sejenak, hanya musik dan suara gelas yang terdengar.

Lalu Rafael tersenyum, senyum yang lebih menyerupai tantangan.

“Aku tidak menyentuhnya, Dragunov. Tapi seseorang lain mungkin sudah melakukannya jauh sebelum kau mengenalnya.”

“Apalagi kalau pengantinnya… menarik.” Rafael tersenyum samar. “Wanita cantik. Tapi anehnya, wajahnya mengingatkanku pada seseorang.”

Apollo berhenti mengetuk meja. keheningan sejenak menggantung di antara mereka.

“Siapa?” tanyanya datar, tapi sorot matanya tajam seperti bilah.

“Ah, mungkin hanya imajinasiku.” Rafael menyandarkan diri ke kursi. “Tapi lima tahun lalu, aku pernah bertemu seseorang di Vladivostok. Seorang perempuan dengan nama samaran. Lyra, atau Liona, aku tak ingat jelas. Tapi sorot matanya… persis seperti milik istrimu"

Apollo tidak merespons.Hanya menatap lurus ke arah gelas di depannya, tapi genggaman nya di pangkuan mengeras.Ia mencoba terlihat tenang, namun rahangnya mengencang.

Rafael memperhatikan itu dengan puas. “Kau baik-baik saja, Dragunov? .Wajahmu tampak… tegang.”

“Tidak,” jawab Apollo dingin. “Aku hanya benci mendengar omong kosong di tengah malam.”

Ia berdiri. Kursinya bergeser menimbulkan suara berat yang memecah kesunyian lounge.

Namun sebelum ia melangkah pergi, Rafael berkata pelan, cukup keras untuk terdengar, tapi cukup tenang untuk menembus kesabaran seseorang seperti Apollo:

“Kau seharusnya memeriksa siapa yang sebenarnya tidur di ranjangmu, Dragunov.”

Langkah Apollo berhenti.

Sekilas, hanya satu detik, ia menoleh. Mata mereka bertemu lagi—dan kali ini tidak ada senyum di wajah Rafael.

Apollo menatapnya lama, dingin, nyaris tanpa napas. Lalu tanpa sepatah kata, ia berbalik dan meninggalkan ruangan itu.

Begitu pintu tertutup, ia berjalan lurus ke koridor hotel yang sepi.Tangannya menekan pelipis, tapi kali ini bukan karena pusing, melainkan karena sesuatu yang jauh lebih berbahaya: keraguan.

Kata-kata Rafael terus menggema di kepala nya, seperti racun yang perlahan menyusup ke dalam logika.“Siapa yang sebenarnya tidur di ranjangmu?”

Di depan lift, ia berhenti. Napasnya berat, matanya menatap pantulan dirinya di dinding logam. Ada getar kecil di sudut bibirnya, bukan marah, tapi getir. Ia tidak suka merasa bodoh. Dan lebih dari itu, ia benci merasa… takut.

Pintu lift terbuka. Apollo masuk, menekan tombol menuju lobi, lalu membiarkan dirinya tenggelam dalam diam. Di balik bayangan dinginnya, hatinya mulai terbelah antara dua hal.

kebenaran yang mungkin menghancurkan segalanya, atau kebohongan yang sudah terlanjur ia cintai.

...****************...

Hotel Écarlate – Ruang Pesta Pers

Kilau lampu chandelier berpendar seperti permata di langit-langit aula besar. Musik orkestra mengalun lembut, berpadu dengan derai tawa, bunyi gelas beradu, dan percakap an para tamu berjas hitam. Di tengah hingar bingar itu, Apollo duduk sendirian di meja sudut dekat balkon kaca.

Ia tidak bergabung dengan kerumunan; tidak menari, tidak berbasa-basi.Hanya duduk diam dengan segelas wine di tangan, memutar isinya tanpa benar-benar berniat meneguk nya.

Tatapan matanya kosong, tapi tajam. seolah siap menebas siapa pun yang mencoba mendekat terlalu dekat.

Beberapa wanita muda di seberang ruangan tampak berbisik pelan sambil melirik ke arahnya.Salah satunya, berani-beraninya melangkah mendekat, membawa segelas champagne dan senyum menggoda di bibir.

Namun begitu mata Apollo mengangkat sedikit, tatapan dingin yang seolah menembus kulit. Langkah wanita itu terhenti.

Senyumnya memudar. Dan tanpa berkata apa pun, ia berbalik, kembali ke kelompoknya dengan tawa gugup.

Apollo menurunkan pandangan lagi, menatap pantulan dirinya di gelas wine.Semuanya terasa asing. Pesta, musik, cahaya, orang-orang, semuanya terasa seperti panggung sandiwara yang memamerkan kesempurnaan palsu. Ia merasa jenuh.

Sampai sesuatu di sudut matanya membuat. nya berhenti.

Dari arah pilar besar yang berdiri di tepi aula, seorang wanita berdiri diam.Gaun kimononya bergaya Tiongkok kuno, warna merah marun dengan bordiran emas di bagian lengan.

Namun yang paling mencolok adalah topeng silver yang menutupi setengah wajahnya, berkilau dingin di bawah cahaya lampu.

Wanita itu tidak bergerak.Ia hanya menatap Apollo. Lama.Sorot matanya, meski tersembunyi di balik topeng, masih terasa akrab . menyeret ingatannya ke tempat yang seharusnya telah ia kubur.

Apollo tidak segera bereaksi. Ia hanya menegakkan tubuhnya, lalu perlahan meletakkan gelas di meja. Jemarinya mengetuk pelan tepi meja, sekali… dua kali… seolah memastikan bahwa apa yang dilihatnya bukan ilusi.

Dan tepat ketika pandangan mereka bersinggungan,wanita itu berbalik, melangkah cepat ke arah pintu samping aula, menghilang di balik tirai panjang.

Apollo berdiri mendadak, kursinya bergeser dan menarik perhatian beberapa tamu.

Namun pria itu tidak peduli. Ia berjalan cepat melewati kerumunan, mengikuti arah kepergian wanita bertopeng tadi.

Detak jantungnya tetap stabil, tapi ada sesuatu yang berat, menekan di dada nya. campuran antara penasaran dan perasaan deja vu yang tidak menyenangkan.

Lorong di balik pintu itu sepi. Hanya suara langkah sepatunya yang menggema, bersama embusan angin malam dari jendela yang terbuka sebagian. Apollo berhenti di ujung koridor, menatap ke kanan dan kiri. Tidak ada siapa pun.

Sisa aroma samar bunga melati tertinggal di udara.Ia menatap ke lantai, menemukan jejak halus sepatu wanita menuju arah balkon luar.

Ia berjalan ke sana… hanya untuk menemu kan balkon kosong, tirai bergoyang lembut di tiup angin.

Hening.Hanya bulan dan bayangan gedung yang menemaninya kini.

Apollo menatap ke luar, ke arah langit malam kota Écarlate yang penuh lampu.Rahangnya menegang, jemarinya mengepal di saku jas.

“Topeng silver… kimono merah…" Apollo menyeringai, tatapannya menajam.

"Bahkan kau rela mengikutiku sampai sini"

Tatapannya naik ke arah langit yang berawan tipis.Di matanya, api lama yang sudah padam kembali menyala pelan.

Dan di kejauhan, dari balik atap hotel yang gelap,siluet seorang wanita bertopeng rubah berdiri menatapnya.Ia tersenyum samar sebelum melangkah pergi, meninggalkan bayangan di balik cahaya bulan.

1
tefa(♡u♡)
Thor, aku tunggu cerita selanjutnya, kasih kabar dong.
Aruna Kim: siap !. update menunggu
total 1 replies
shookiebu👽
Aduh, abis baca ini pengen kencan sama tokoh di cerita deh. 😂😂
<|^BeLly^|>
Ga nyangka bisa terkena hook dari karya ini. Jempol atas buat author!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!