NovelToon NovelToon
Pedang Terkutuk Pemulung Misterius

Pedang Terkutuk Pemulung Misterius

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Identitas Tersembunyi / Epik Petualangan / Roh Supernatural / Pusaka Ajaib / Balas Dendam
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Black _Pen2024

"Takdirnya ditulis dengan darah dan kutukan, bahkan sebelum ia bernapas."

Ling Yuan, sang pewaris yang dibuang, dicap sebagai pembawa kehancuran bagi klannya sendiri. Ditinggalkan untuk mati di Pegunungan Sejuta Kabut, ia justru menemukan kekuatan dalam keterasingan—dibesarkan oleh kuno, roh pohon ajaib dan dibimbing oleh bayangan seorang jenderal legendaris.

Kini, ia kembali ke dunia yang telah menolaknya, berbekal dua artefak terlarang: Kitab Seribu Kutukan dan Pedang Kutukan. Kekuatan yang ia pegang bukanlah anugerah, melainkan hukuman. Setiap langkah menuju level dewa menuntutnya untuk mematahkan satu kutukan mematikan yang terikat pada jiwanya. Sepuluh tahun adalah batas waktunya.

Dalam penyamarannya sebagai pemulung rendahan, Ling Yuan harus mengurai jaring konspirasi yang merenggut keluarganya, menghadapi pengkhianat yang bersembunyi di balik senyum, dan menantang takdir palsu yang dirancang untuk menghancurkannya.

Akankah semua perjuangan Ling Yuan berhasil dan menjadi Dewa

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black _Pen2024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 35 Hinaan sang pewaris palsu.

Koin perak yang kotor itu, kini terpegang erat di telapak tangan Ling Yuan, terasa lebih dingin daripada lumpur tempat ia mendarat. Benda itu bukan sekadar koin; itu adalah manifestasi fisik dari arogansi yang telah meracuni klan Yang selama satu dekade, dan yang paling menyakitkan, itu adalah hadiah dari Sui Hui, pewaris palsu yang kini menikmati warisan darah yang seharusnya menjadi miliknya.

Ling Yuan berdiri diam di gang yang basah. Pengawal Sui Hui dan tawa mereka telah lama menghilang, tetapi gema kehinaan itu masih bergetar di jalur spiritualnya. Energi kutukan yang baru saja ia kuasai (Mortal Peak) bereaksi liar. Kekuatan itu, haus akan balas dendam dan dipicu oleh darah bangsawan yang terbuang, mendesak Ling Yuan untuk mengejar, merobek Sui Hui menjadi kepingan spiritual, dan membuktikan bahwa ia adalah pewaris yang sah.

“Lihatlah betapa mudahnya ia menginjak-injakmu,” bisik Pedang Kutukan Mao, yang suaranya kini terdengar jelas dalam pikiran Ling Yuan, disalurkan melalui arwah Jendral Mao. “Hanya satu ayunan, Ling Yuan. Satu ayunan dan semua kehinaan itu akan terbayar.”

Ling Yuan menekan keinginan yang membara itu. Ia membiarkan aura kultivasinya bergejolak, menguji batas-batas segel yang ia pasang di tubuhnya. Jika ia menyerah pada naluri ini, ia akan menjadi tidak lebih baik dari Selir Sin—seorang kultivator yang didorong oleh emosi destruktif.

“Sui Hui adalah cermin dari dua kutukan berikutnya,” pikir Ling Yuan, memaksakan dirinya fokus pada Kitab Seribu Kutukan yang ia hafal. “Kutukan Kedua: Kebodohan Klan, dan Kutukan Ketiga: Arogansi Yang. Keduanya tumbuh subur dalam diri pemuda itu.”

Jendral Mao, merasakan perjuangan internal muridnya, memproyeksikan citra astral yang lebih tegas. “Ingat misimu, anakku. Kita mematahkan kutukan ini bukan hanya untuk membalas dendam, tetapi untuk memurnikan. Sui Hui adalah korban yang malang dari intrik Selir Sin, ia diracuni oleh hak istimewa yang palsu. Jika kau membunuhnya sekarang, energi kutukan itu akan menempel padamu, dan kau akan gagal dalam Ujian Kerendahan Hati.”

Ling Yuan mengamati koin di tangannya. Sui Hui telah membuangnya dengan niat merendahkan, namun koin itu juga membawa jejak samar energi darah klan Yang—energi yang terkontaminasi oleh sihir gelap Selir Sin. Koin ini adalah simbol korupsi.

“Aku menerima penghinaan ini,” jawab Ling Yuan secara mental, suaranya serak karena usaha menahan kekuatan. “Aku akan menggunakan penghinaan ini sebagai pupuk bagi strategiku. Kebodohan Sui Hui akan menjadi pintu masukku.”

Ling Yuan membersihkan koin itu, menyimpannya di balik jubah compang-campingnya. Ia tidak akan menghabiskannya. Koin itu akan menjadi pengingat harian tentang harga yang harus ia bayar untuk penyamarannya.

Sementara itu, beberapa blok dari lokasi Ling Yuan, Sui Hui sedang menikmati arogansinya. Ia duduk di atas kuda perang yang mahal, pengawalnya di belakangnya, saat mereka memasuki gerbang utama klan Yang. Sui Hui masih terkikik tentang insiden dengan pemulung bisu itu.

“Sungguh hiburan yang menyedihkan,” kata Sui Hui kepada pengawalnya, suaranya penuh rasa puas diri. “Makhluk-makhluk itu harus tahu tempat mereka. Apakah kau melihat matanya? Kosong dan bodoh. Bahkan setelah aku memberinya hadiah.”

Pengawal pertamanya, seorang pria bertubuh besar bernama Hu Jin, mengangguk setuju. “Yang Mulia Hui sangat dermawan. Tikus itu seharusnya mencium kaki Anda.”

“Tentu saja aku dermawan!” seru Sui Hui, mengibaskan tangannya. “Kami, klan Yang, adalah pilar Kekaisaran. Kami tidak hanya menguasai, kami juga menunjukkan belas kasihan… dalam bentuk koin perak yang dilemparkan ke lumpur. Itu adalah pelajaran kerendahan hati untuknya, bukan?”

Sui Hui sama sekali tidak menyadari bahwa ‘pelajaran kerendahan hati’ yang ia berikan sebenarnya adalah bumerang spiritual yang akan segera menghantamnya. Baginya, pemulung itu hanyalah sebuah ketidaknyamanan, sebuah noda di jalan menuju kekuasaan yang ia yakini mutlak.

Di Kediaman Yang, Selir Sin, yang sedang melakukan ritual pemurnian singkat di kamarnya, merasakan sedikit riak energi. Bukan riak kekuatan Ling Yuan—karena Ling Yuan terlalu mahir menyembunyikannya—melainkan riak arogansi dan kebodohan Sui Hui yang diperkuat oleh darah klan Yang yang terkutuk.

“Anak itu,” desis Selir Sin, matanya yang tajam tertutup. “Egonya tumbuh terlalu cepat. Itu bagus. Semakin ia arogan, semakin rapuh jalurnya. Energi yang salah arah adalah makanan terbaik bagi ritualku.”

Selir Sin puas. Ia percaya bahwa Sui Hui adalah pion sempurna untuk mempercepat kehancuran klan Yang dari dalam. Ia tidak pernah membayangkan bahwa pemulung bisu yang baru saja dihinanya adalah racun yang jauh lebih mematikan bagi rencananya.

Kembali ke pinggiran kota, Ling Yuan akhirnya bergerak, menjauh dari lokasi penghinaan. Ia berjalan kembali ke gudang rongsokan, langkahnya kini dipenuhi ketenangan yang dingin, bukan amarah yang membara.

Ia menyadari bahwa untuk mematahkan Kutukan Kedua (Kebodohan Klan), ia harus menunjukkan kecerdasan yang melampaui kemampuan Sui Hui dalam setiap aspek kehidupan, dimulai dari medan pertempuran kultivasi hingga strategi sosial.

“Turnamen Tujuh Kota,” ucap Ling Yuan, menguji kembali suaranya yang jarang ia gunakan, suaranya terdengar seperti pasir kering. Ia tidak perlu memamerkan kekuatan mentah; ia harus memamerkan kontrol dan taktik yang membuat Sui Hui terlihat seperti anak kecil yang bermain pedang kayu.

Malam itu, di dalam gudang rongsokan yang gelap, Ling Yuan tidak tidur. Ia menghabiskan waktu dengan Pedang Kutukan Mao, memanipulasi energi kutukan yang kini lebih responsif, membersihkannya dari elemen-elemen racun yang Selir Sin tanamkan pada garis keturunan Yang.

Ia mulai berlatih teknik penyembunyian yang lebih canggih, menggunakan energi kutukan bukan untuk menyerang, tetapi untuk menekan auranya ke titik nol. Ia harus menjadi tidak terlihat oleh kultivator Demigod mana pun yang mungkin dikirim Selir Sin berikutnya.

“Teknik ‘Bayangan Ketiadaan’,” instruksi Jendral Mao. “Kau harus bisa berjalan di depan Jendral Yang tanpa ia mengenalimu. Itu adalah ujian sesungguhnya, Ling Yuan. Bukan hanya mengalahkan musuh, tetapi menipu mereka dengan keberadaanmu sendiri.”

Ling Yuan menutup Kitab Seribu Kutukan, halaman-halaman kuno itu bersinar samar dalam kegelapan. Ia telah mencapai Mortal Peak, tetapi ia harus segera melonjak ke tingkat yang lebih tinggi sebelum turnamen dimulai, untuk memastikan ia dapat menghadapi lawan yang lebih berat dari sekte-sekte elit.

Pikirannya kembali pada Sui Hui. Penghinaan di gerbang kota itu telah memicu sesuatu yang vital dalam diri Ling Yuan: sebuah janji untuk tidak hanya mengambil kembali warisannya, tetapi juga membalas semua orang yang diinjak-injak oleh arogansi palsu itu.

Saat Ling Yuan memegang Pedang Kutukan, ia melihat bayangan Sui Hui di gerbang kota, melambaikan koin perak. Di tengah bayangan itu, Ling Yuan merasakan kilatan amarah yang nyaris tak terkendali. Amarah yang telah ia segel kini menjadi sumber energi mentah.

Ling Yuan tahu, pertemuan selanjutnya dengan Sui Hui tidak akan bisa dihindari, dan saat itu terjadi, ia harus memastikan bahwa Sui Hui mengingat tatapan mata pemulung bisu itu—tatapan yang akan membawa kehancurannya. Ia harus segera memproses emosi destruktif ini menjadi kekuatan, sebelum kemarahannya melahapnya dan merusak kemajuan spiritualnya. Waktu untuk menahan diri hampir berakhir; waktu untuk bertindak sudah tiba.

1
Nanik S
Lanjutkan
Black_Pen2024 Makin Sukses 🎉✨: 😍👍siap kak. Terima kasih😘💕🙏
total 1 replies
Nanik S
Cukup menarik diawal
J0€ A£F4: 👀👀👀👀👀
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!