Tiga Tahun berumah tangga, Amanda merasa bahwa pernikahannya benar-benar bahagia, tapi semua berubah saat ia bertemu Yuni, sahabat lamanya.
Pertemuan dengan Yuni, membawa Amanda pergi ke rumah tempat Yuni tinggal, dimana dia bisa melihat foto pernikahan Yuni yang bersama dengan pria yang Amanda panggil suami.
Ternyata Yuni sudah menikah lima tahun dengan suaminya, hancur, Amanda menyadari bahwa dia ternyata adalah madu dari sahabatnya sendiri, apakah yang akan Amanda lakukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Satu
Amanda terbangun saat merasakan pelukan hangat di pinggangnya. Sebuah kecupan mendarat lembut di pipinya, membuat bulu kuduknya meremang, bukan karena takut, tapi karena rasa nyaman yang sulit dijelaskan.
Ia membuka mata perlahan. Di hadapannya, wajah Azka tampak begitu dekat. Mata pria itu menatapnya dengan sorot penuh cinta, bibirnya tersenyum lembut seperti biasa, senyum yang selalu berhasil menenangkan hati Amanda, bahkan ketika dunia terasa berat.
“Selamat malam, Sayang,” bisik Azka pelan, suaranya serak tapi menenangkan. “Maaf aku pulang telat lagi.”
Amanda menatapnya sejenak sebelum tersenyum kecil. “Aku udah biasa, kok. Lagipula, aku tahu kamu kerja keras buat kita,” jawabnya dengan suara lembut.
Azka terkekeh kecil. Ia membelai pipi istrinya dengan ibu jarinya, menghapus sisa kantuk dari wajah itu. “Aku nggak mau kamu nunggu sampai begadang tiap malam. Aku tahu kamu sering pura-pura belum tidur, padahal matamu udah berat banget.”
Amanda tertawa pelan. “Kalau aku tidur duluan, nanti kamu pulang sendirian, kan? Aku cuma pengin nyambut kamu pulang. Itu aja.”
Azka menatapnya lama. Tatapannya seperti berkata banyak hal yang tidak diucapkan. Lalu tanpa kata, ia mencium kening Amanda dengan penuh kasih. “Kamu selalu bikin aku merasa punya rumah, Manda.”
Amanda tersenyum. “Memang kamu punya rumah. Aku, kan?”
Azka mengangguk pelan, lalu menarik Amanda lebih dekat ke dalam pelukannya. Aroma tubuhnya yang khas, perpaduan parfum dan sabun mandi, membuat Amanda merasa hangat. Ia memejamkan mata lagi, menikmati detik-detik hening di antara mereka.
Hanya ada napas yang berpadu, jantung yang berdetak beriringan, dan rasa cinta yang tak perlu banyak kata.
Keesokan paginya, sinar matahari masuk dari celah gorden kamar. Amanda terbangun lebih dulu dari Azka. Ia menatap wajah suaminya yang masih terlelap. Ada sesuatu yang menenangkan setiap kali ia melihat pria itu tidur, seolah dunia berhenti berputar hanya untuk momen itu.
Azka tampak damai, garis wajahnya tegas, rahangnya kuat, tapi bibirnya lembut. Amanda masih ingat betul bagaimana mereka pertama kali bertemu, di sebuah acara perusahaan tempatnya bekerja dulu. Azka datang sebagai pembicara tamu, dan sejak pertemuan itu, semuanya berubah.
Dia jatuh cinta pada caranya berbicara, pada cara Azka menatap orang lain dengan percaya diri tapi tetap sopan. Dan ketika akhirnya pria itu menyatakan cinta, Amanda tak ragu sedikit pun.
“Sudah bangun?” suara berat Azka memecah lamunan Amanda. Ia membuka mata perlahan, menatap istrinya yang sedang memandangi dirinya.
Amanda tersipu. “Kamu sadar aku perhatiin ya, Mas?”
Azka mengulum senyum. “Dari tadi kamu senyum-senyum sendiri. Gimana aku nggak sadar?”
Amanda menunduk, pura-pura merapikan selimut. “Aku cuma ... bersyukur, Mas.”
“Bersyukur kenapa?” tanya Azka, menarik tubuhnya untuk duduk di tepi ranjang.
“Bersyukur karena aku punya kamu, Mas.”
Azka menatapnya beberapa detik, lalu tiba-tiba menarik Amanda ke dalam pelukannya. “Dan aku bersyukur karena Tuhan memberiku seseorang seperti kamu. Serius, Manda, hidupku sebelumnya berantakan. Tapi sejak kamu datang, semuanya terasa lebih tenang.”
Amanda menatap suaminya dengan mata berbinar. “Aku nggak tahu harus jawab apa. Aku cuma tahu aku cinta kamu, Mas”
Azka tersenyum, mencium dahinya lama. “Itu udah cukup.”
Pagi itu mereka sarapan bersama. Amanda menyiapkan menu sederhana, nasi goreng, telur mata sapi, dan teh hangat kesukaan Azka. Di meja makan, suasana begitu tenang. Hanya suara sendok bertemu piring dan percakapan ringan yang membuat rumah terasa hidup.
“Kamu tahu nggak, Manda,” ucap Azka tiba-tiba, menatap istrinya dengan mata berbinar. “Besok aku harus berangkat ke luar kota. Ada proyek baru yang harus aku tangani langsung.”
Amanda berhenti mengaduk tehnya. “Berapa lama, Mas?”
“Mungkin seminggu, atau dua minggu,” jawab Azka sambil menyesap minumannya. “Tapi kalau kamu mau, kamu bisa ikut. Aku nggak keberatan.”
Amanda menatapnya kaget. Biasanya, kalau Azka pergi kerja, dia lebih sering berangkat sendiri. Tapi kali ini, ajakan itu membuat hatinya berdebar.
“Serius aku boleh ikut, Mas?” tanyanya pelan, seolah takut harapan itu hanya candaan.
Azka tertawa kecil. “Tentu aja boleh. Malah aku pengin kamu ikut. Biar kamu lihat dunia kerja aku. Dan biar aku nggak kangen terus.”
Amanda menunduk, pipinya memerah. “Kalau gitu aku ikut, deh. Aku nggak mau jauh-jauh dari kamu.”
Azka mengangkat alisnya, pura-pura terkejut. “Wah, jadi kamu udah kecanduan aku, ya?”
Amanda mencubit lengannya pelan. “Ih, narsis banget sih!”
Azka tertawa keras, lalu berdiri dan menghampiri istrinya. Ia berdiri di belakang Amanda, menunduk, dan berbisik lembut di telinganya. “Tapi aku suka kamu begini, pengin selalu sama aku.”
Suara itu membuat jantung Amanda berdebar cepat. Ia menoleh sedikit dan menemukan wajah Azka yang begitu dekat. Sekali lagi, pria itu mencium pipinya, membuatnya tersenyum tanpa sadar.
Hari itu mereka menghabiskan waktu berdua di rumah. Amanda menemani Azka beres-beres dokumen untuk perjalanannya. Di sela-sela kesibukan itu, mereka bercanda, saling menggoda, seperti dua anak remaja yang baru jatuh cinta.
“Mas, kamu yakin aku nggak ganggu kerjaan kamu kalau ikut?” tanya Amanda sambil melipat kemeja suaminya.
“Ganggu? Kamu malah penyemangatku,” jawab Azka tanpa menoleh dari laptopnya. “Coba aja bayangin, aku kerja keras di sana, terus setiap pulang ke hotel, aku lihat wajah kamu. Semua capek langsung hilang.”
Amanda tertawa kecil. “Manis banget, ya. Aku sampai lupa kalau kamu ini bos yang galak, Mas.”
Azka menoleh cepat, pura-pura tersinggung. “Hei, siapa bilang aku galak?”
“Karyawanmu kali yang bilang,” jawab Amanda cepat.
Azka mendengus. “Kalau sama kamu, aku nggak bakal bisa galak. Kamu tuh kelemahanku, Manda.”
Ucapan itu membuat Amanda berhenti melipat. Ia menatap suaminya lama, lalu tersenyum lembut. “Aku cuma pengin jadi alasan kamu pulang setiap hari, Mas.”
Azka berdiri, menghampiri, lalu menarik Amanda ke dalam pelukannya. “Dan kamu memang alasanku pulang.”
Menjelang sore, mereka duduk di teras belakang rumah, menikmati teh dan senja yang mulai turun. Langit berwarna oranye keemasan, dan angin sore membawa aroma bunga melati dari taman kecil yang ditanam Amanda sendiri.
“Kalau kamu udah ikut aku nanti,” kata Azka pelan, “Aku pengin kita sempat jalan-jalan juga. Nggak cuma kerja. Aku janji bakal sempatin waktu buat kita.”
Amanda mengangguk sambil tersenyum. “Aku nggak minta banyak, Mas. Asal bisa bareng kamu, itu udah cukup.”
Azka menatapnya dalam, seolah ingin mengingat setiap detail dari wajah itu. “Kamu tahu nggak, Manda ... kadang aku takut kehilangan kamu.”
Amanda menoleh, sedikit heran. “Kenapa tiba-tiba ngomong gitu, Mas?”
Azka tersenyum tipis. “Karena kamu terlalu baik buat aku. Aku cuma takut suatu hari kamu sadar kalau kamu pantas dapet yang lebih baik.”
Amanda langsung menggenggam tangannya erat. “Jangan ngomong gitu lagi. Aku cinta kamu, Mas. Dan aku nggak butuh siapa-siapa lagi.”
Azka menarik napas dalam, lalu menunduk mencium tangan istrinya. “Aku juga cinta kamu. Lebih dari apa pun.”
Hening. Hanya suara jangkrik mulai terdengar, pertanda malam datang.
Malamnya, setelah makan malam, Amanda duduk di tempat tidur sambil menatap koper yang hampir penuh. Ia merasa seperti anak kecil yang akan pergi piknik. Dalam hatinya, ia berdoa agar perjalanan besok menjadi kenangan indah bagi mereka berdua.
Azka keluar dari kamar mandi, hanya mengenakan kaus putih dan celana panjang. Rambutnya masih basah, dan tetesan air menuruni lehernya. Amanda menatapnya diam-diam, menyadari betapa beruntungnya ia bisa mencintai dan dicintai oleh pria seperti Azka.
“Kamu kelihatan bahagia banget, Sayang,” kata Azka sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.
“Ya iyalah,” jawab Amanda sambil tersenyum. “Kapan lagi bisa ikut kamu kerja dan liburan bareng, Mas.”
Azka menaruh handuk di kursi, lalu duduk di tepi ranjang. “Aku senang kamu mau ikut. Aku janji, bakal jadi perjalanan yang menyenangkan.”
Amanda mengangguk, lalu berbaring. “Aku nggak sabar, Mas.”
Azka mematikan lampu, lalu ikut berbaring di sebelahnya. Dalam gelap, ia menarik tubuh Amanda ke dalam pelukannya. “Tidurlah, Sayang. Besok kita mulai petualangan baru.”
Amanda tersenyum, memejamkan mata. “Iya, Mas. Aku bahagia banget punya kamu.”
Azka membisikkan kata yang selalu membuatnya tenang. “Dan aku bahagia karena kamu percaya sama aku.”
supaya adil tdk ada yg tersakiti..
amanda dan yuni berpisah saja..
klo terus bersm yuni hanya amanda yg diikiran azka ..hanya u status nathan..
klo terus dengan amanda..azka melepas yuni merampas nathan..bagai mana perasaan yuni apalagi amanda sahabat nya..
kita mah pembaca nurut aja gimana kak authornya..walau baper gemesh😂😂😂
.manda juga milih mundur .yuni sangking cinta nya ke azka repot jg ya😤