"Tolong mas, jelaskan padaku tentang apa yang kamu lakukan tadi pada Sophi!" Renata berdiri menatap Fauzan dengan sorot dingin dan menuntut. Dadanya bergemuruh ngilu, saat sekelebat bayangan suaminya yang tengah memeluk Sophi dari belakang dengan mesra kembali menari-nari di kepalanya.
"Baiklah kalau tidak mau bicara, biar aku saja yang mencari tahu dengan caraku sendiri!" Seru Renata dengan sorot mata dingin. Keterdiaman Fauzan adalah sebuah jawaban, kalau antara suaminya dengan Sophia ada sesuatu yang telah terjadi tanpa sepengetahuannya.
Apa yang telah terjadi antara Fauzan dan Sophia?
Ikuti kisahnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝐈𝐩𝐞𝐫'𝐒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 16
Renata duduki tepian ranjang dengan kaki masih menjuntai ke bawah namun matanya menatap Fauzan, ia selami netra suaminya itu dengan perasaan yang berkecamuk. Apa yang sekarang ada dalam pikiran laki-laki yang sudah membersamainya selama tiga tahun itu sehingga semakin kesini ia semakin kehilangan sosok Fauzan yang dulu.
"Apa mas tidak sadar kenapa aku sampai sekarang belum istirahat? bahkan aku mengabaikan rasa lelahku, kenapa?" tatapnya dengan sorot yang mulai memerah berusaha menahan gejolak perasaan yang sedari pagi terus di permainkan oleh suaminya. Lelah yang dirasanya tak hanya fisik namun juga hati sehingga membuat bulir bening yang sedari tadi damai ditempatnya kini perlahan berjatuhan dengan sekali kedipan.
"Sudah stop Re, mas lelah! jangan nambah beban pikiran mas dengan segala rajukan dan sikap manjamu itu! Kita sudah sama-sama dewasa seharusnya saling paham." Fauzan hembuskan napas kasarnya sembari memundurkan tubuhnya, ia memilih kembali berbaring tanpa melihat Renata yang menatap nanar ke arah punggungnya.
Astaghfirullah, beri hamba kesabaran ya Allah dan segera kembalikan sikap suami hamba yang dulu. Renata sudahi racauan harapannya dengan berdiri, ia ayunkan langkahnya menuju kamar mandi. Baru sadar ada kewajiban pada sang Khaliq yang belum ia tunaikan.
Renata bentangkan sajadahnya dengan ekor mata sekilas melirik ke arah Fauzan yang sama sekali tidak terganggu dengan aktifitasnya, bahkan seolah sengaja menulikan telinganya.
Setelah beberapa menit dan menyelesaikan sholatnya, masih di atas sajadah Renata tengadahkan kedua tangannya menggaungkan do'a yang tak pernah lelah ia panjatkan, meminta ampunan dosa dan kehadiran buah hati masih tetap menjadi yang utama. Namun saat ini entah kenapa hatinya terasa begitu perih sehingga air mata pun terus mengalir deras tanpa henti membersamai untaian doa nya hingga selesai sampai ditutup dengan kata Aamiin.
Jam sudah menunjuk ke angka 12 tengah malam namun entah kenapa Renata masih belum juga bisa memejamkan mata. Meski sudah berulang kali mengganti posisi tidur mencari kenyamanan, riuh di dalam kepala berhasil menguasainya hingga kantuk pun seolah enggan menghampiri. Hingga tanpa di sadari kasur empuk yang ditidurinya terasa mengombak karena gerakan, bersamaan dengan tangan kokoh dari sosok yang ia punggungi tiba-tiba menariknya. "Re, mas kangen sayang." Ucap Fauzan dengan suara seraknya.
Tangannya mulai bergerilya membuat Renata berusaha menahan napas dan pura-pura memejamkan mata. Ia tahu apa yang diinginkan suaminya, padahal beberapa jam yang lalu terjadi cekcok yang bahkan membuatnya tak mampu memejamkan mata, tapi Fauzan semudah itu meminta hak tanpa merasa bersalah dan meminta maaf seolah apa yang terjadi tadi bukanlah sebuah kesalahan yang tak perlu ada kata maaf dari pasangan.
.
.
.
Pagi yang tenang kembali menyapa Ibu kota, Matahari baru saja menyembul diatas cakrawala sinarnya memberi kehangatan pada seluruh mahluk di permukaan.
Sepasang perempuan dari dua generasi tengah sibuk di dapur. Berulang kali Renata meminta sang ibu untuk duduk santai menemani Fauzan yang tengah menikmati kopi di meja makan, namun sebanyak itu pula Bu Rohmah menolaknya dengan alasan justru ia akan tidak betah apabila pagi hanya duduk dan tidak memiliki kegiatan. Baginya meski Renata sudah bekerja dan memiliki suami tapi di matanya masih sama seperti Renata yang dulu yang masih membutuhkan perhatiannya. Dan melayaninya saat ini yang sangat jarang terjadi adalah sebuah kebahagiaan sejati seorang ibu.
"Apa kalian mau bawa bekal? Kalau mau ibu akan buatkan sekarang mumpung masih pagi." Bu Rohmah meletakkan 2 cangkir berisi teh di atas meja makan, paruh baya itu menatap Renata dan Fauzan bergantian.
"Tidak usah Bu, hari ini Zan ke kantor cuma sebentar karena mau ngecek proyek di luar dan pasti makan di luar juga."
"Oh gitu ya, di daerah mana Zan? Ibu do'akan semoga proyek nya lancar dan membawa berkah apapun dan berapapun yang dihasilkan dari sana."
"Aamiin, Deket kok bu kalau lancar cuma 30 menit dari kantor." Fauzan menatap haru Bu Rohmah, Tutur kata dari sosok paruh baya mertuanya itu selalu memberinya ketenangan dan percaya diri. "Sayang, kamu sudah siap? Kita berangkat sekarang." Ia beralih menatap Renata yang sedari tadi tak banyak ikut berbicara.
"Sebentar, aku ambil tas dulu ke kamar." Renata bangkit bersamaan dengan ponsel Fauzan yang berdering di sebelahnya dengan tertera nama 'ibu' Ia hanya meliriknya sekilas kemudian melanjutkan langkah yang juga diikuti sang ibu.
"Assalamualaikum Bu. Tumben ibu sudah nelepon, ada apa? Ibu, bapak dan si kembar baik-baik saja kan?" Tanpa basa-basi Fauzan langsung memberondong sang ibu dengan pertanyaan, jam yang menurutnya masih dini dari biasanya sang ibu menghubunginya membuat ia dilanda kekhawatiran mengingat saat dimana kepergian sang adik.
"Waalaikumsalam, Alhamdulillah semuanya baik. Zan apa ibu ganggu?"
"Enggak Bu, Zan baru selesai sarapan. Apa ada hal penting yang ingin ibu sampaikan?"
"Begini Zan, setelah ibu pikir-pikir dari semalam gimana kalau mobil Fajar kita jual saja dan uangnya buat Sophi modal usaha dan DP mobil baru yang lebih besar, kamu tidak keberatan kan buat bantu ba-yar cicilannya?"
"Maksud ibu Zan yang ba-yar cicilannya semua?" Fauzan menghela napas, tak terbayangkan sebelumnya sang ibu secepat ini meminta mobil, meski hanya membayar cicilannya namun tetap saja banyak hal yang harus di pertimbangkan termasuk ijin sang istri.
"Iya Zan, anggap saja ini demi ibu. Apa kamu enggak kasihan lihat Sophi dengan si kembar menggunakan mobil kecil sesak, apalagi sekarang kemana mereka pergi ibu pasti menemaninya."
"Tapi Bu."
"Zan, apa kamu keberatan? Padahal kamu itu harapan ibu, lagipula ibu tidak minta dibayarin DP nya hanya minta di bayarin cicilannya saja." Ucap Kartika di seberang sana dengan suara sendunya.
"Nanti Zan pikirkan dulu Bu, Zan juga harus bicara dulu sama Rena."
"Ibu harap kamu tidak mengingkari janjimu pada almarhum nak, ibu dan bapak hanya punya kamu."
"Bu..."
Bip.
Panggilan pun terputus, Fauzan menatap layar ponselnya yang sudah kembali gelap helaan napas berat pun ia hembuskan.
"Ibu kenapa mas?" Renata berdiri sambil menatap Fauzan penuh tanya.
"Mm.. Nggak ada apa-apa, ibu cuma nanyain kamu baik-baik saja. Ayo berangkat sekarang!" Fauzan berdiri kemudian menghampiri Bu Rohmah hendak pamitan.
Renata tersenyum kecut mendapati reaksi suaminya, meski tidak mendengar dari awal percakapan suami dan mertuanya namun cukup jelas baginya inti yang dibicarakan mereka.
Kamu aja yg di telpon gak mau ngangkat 😏😏😏
baru juga segitu langsung protes 😏😏
Rena selalu bilang gak apa apa padahal dia lagi mendem rasa sakit juga kecewa tinggal menunggu bom waktunya meledak aja untuk mengeluarkan segala unek unek di hati rena😭
scene nya embun dan mentari juga sama
bikin mewek 😭
jangan bikin kecewa Napa ahhhhh😭😭
aku sakit tau bacanya
padahal bukan aku yang menjalani kehidupan rumah tangga itu😭😭😭
suka watir aku kalauu kamu udah pulang ke bandung 😌😌