Ketika perjodohan menjadi jalan menuju impian masing-masing, mungkinkah hati dipaksa untuk menerima?
Faradanila, mahasiswa S2 Arsitektur yang mendambakan kebebasan dan kesempatan merancang masa depan sesuai mimpinya.
Muhammad Al Azzam, seorang CEO muda yang terbiasa mengendalikan hidupnya sendiri—termasuk menolak takdir.
“Kalau Allah yang menuliskan cinta ini di akhir, apakah kamu masih akan menyerah di awal?”-Muhammad Al Azzam.
Di antara keindahan Venezia, rasa-rasa asing mulai tumbuh.
Apakah itu cinta… atau justru badai yang akan menggulung mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azzurry, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HIJRAH RASA -15
Venezia pagi itu tak ubahnya lukisan hidup. Udara segar menyelinap di antara celah bangunan tua yang terpantul indah di permukaan kanal. Langitnya masih pucat, sementara sinar matahari mulai merayap pelan, menyentuh permukaan balkon apartemen-apartemen bergaya Renaissance di kawasan Cannaregio. Deru lembut air kanal beradu dengan riuh camar, membangunkan kota yang tak pernah benar-benar terlelap.
Di sebuah apartemen mewah, kehangatan aroma bumbu tumis sudah lebih dulu memenuhi udara.
Zira, gadis dengan jilbab instan hitam,tengah sibuk di dapur. Tangannya lincah bermain dengan spatula.Cahaya matahari menyorot wajahnya yang tampak fokus. Aroma masakan menguar di dalam ruangan, menggugah selerah sang penghuni apartemen.
Farah duduk santai di kursi pantry, dagunya bertumpu pada telapak tangan, matanya tak lepas dari gerak-gerik Zira.
“Sumpah, kangen banget sama masakan kamu,” ucap Farah sambil mengendus udara, mencoba menangkap aroma yang begitu familiar.
Zira tertawa pelan. “Emang, kamu tuh nggak bisa move on sih dari masakan aku.”
“Bener-bener, semenjak di sini yang aku ingat itu masakan kamu. Apalagi mie instan buatanmu… behh… gagal move on aku.”
Zira tergelak, ekspresinya geli. “Lebay, bilang aja mau aku masakin kan.”
Farah nyengir kuda. “ Boleh sih, kalau kamu maksa.”
Zira memutar bola matanya malas. “ Cih. Tapi tenang, aku bawa stok mie instan banyak.”
“Wah, tau aja kamu, disini indomie mahal banget,” Farah terbahak.
Seketika ruangan penuh dengan gelak tawa keduanya.
Namun ketenangan itu terpecah saat bel apartemen berbunyi. Sekali, lalu dua kali. Suaranya tak nyaring, tapi cukup memecah kehangatan pagi itu.
Farah dan Zira saling pandang. Farah mengangkat bahu ia pun tidak tahu siapa yang datang.
“Emang suka ada tamu ya pagi-pagi gini?” Tanya Zira, alisnya terangkat.
Farah menggeleng pelan. “Nggak sih… baru kali ini ada tamu.”
Zira berniat menuju pintu, tapi Farah menahannya dengan lambaian tangan. “Biar aku yang buka. Kamu selesaiin aja masakannya.”
Zira mengangguk. Farah berjalan menuju pintu. Bel masih berbunyi, kali ini lebih pendek. Ia menarik napas, lalu memutar knop.
Di balik pintu berdiri seorang perempuan berambut gold brown panjang yang tergerai lembut di bawah bahu. Mantel hitam panjang melapisi tubuh tingginya. Ia tersenyum ramah.
Farah bergeming. “Mbak Sienna?”
“Hai …” Sapa Sienna.
Farah tersenyum kaku, belum juga mempersilahkannya masuk.
“Siapa, Fa?” Suara Zira terdengar dari dalam. Langkahnya makin dekat.
Langkah Zira terhenti begitu melihat siapa yang berdiri di depan pintu. Ekspresinya berubah dalam sekejap.
“Loh… Mbak Sienna ngapain ke sini pagi-pagi?” Nada suaranya ketus, tanpa basa-basi.
Sienna tetap tersenyum. “Gue bawa sarapan buat Azzam.” Sembari mengangkat paper bag coklat yang dibawahnya.
Zira mendengus, matanya memutar dengan malas. “Nggak perlu kali, Mbak. Bang Azzam udah ada kami yang masakin.”
Farah menyikut Zira pelan, lalu melontarkan senyum sopan. “Masuk dulu, Mbak.”
“Fa…” Zira hendak protes, tapi Farah menatapnya tajam. Zira memilih diam, meski jelas dari wajahnya amarah belum padam.
Farah mempersilakan Sienna duduk di sofa. Atmosfer dalam ruangan berubah kaku, seperti ada sesuatu yang menggantung, tak terlihat tapi nyata.
Tak lama kemudian, Azzam keluar dari kamar. Jas dan dasi sudah rapi. Ia tampak terkejut melihat siapa yang ada di ruang tamu.
“Loh… kok di sini?”
“Gue bawain lo sarapan,” jawab Sienna, senyum di bibirnya tak pudar.
Azzam membalas dengan senyum tipis. “Makasih.”
Di sudut ruangan, Zira berdiri bersedekap. Sorot matanya menusuk.
“Besok-besok nggak usah bawa sarapan segala, Mbak. Kami masih mampu kok masak buat Bang Azzam.”
Farah menatap Zira tajam, tapi tak berkata apa-apa. Sienna hanya diam. Seolah ucapan Zira tak pernah ada. Azzam pun tetap sibuk memeriksa file tanpa komentar.
Zira makin kesal. Diam mereka membuatnya merasa tak dianggap. Ia nyaris maju, tapi Farah menahannya, menggenggam lengannya, memberi isyarat dengan tatapan: bukan sekarang.
“Yuk, berangkat sekarang,” ucap Azzam kepada Sienna.
Tanpa pamit, keduanya berlalu begitu saja. Farah dan Zira hanya diam menatap pintu yang kini kembali tertutup.
Zira mengepalkan tangannya. Amarah bergejolak di dadanya, tapi Farah masih terlihat tenang. Setenang permukaan air kanal yang menyembunyikan arus di dasarnya.
Setelah kepergian Azzam dan Sienna. Farah masuk ke kamar, mengambil tas dan dokumen. Zira mengikutinya.
“Fa... kamu nggak bisa biarin Bang Azzam pergi berdua sama Mbak Sienna itu.” Nada Zira tajam, nyaris memohon.
Farah tetap diam, mengacak berkas-berkas di atas meja.
“Fa…”
Farah akhirnya menoleh.Gadis itu menghela napas pelan lalu berucap.
“Ra... please, bisakah kita nggak bahas ini dulu? Fokus ke permesso dulu.”
Zira menahan napas. Lalu mengangguk dengan malas. “Iya-iya.” Zira masuk ke kamarnya, mengambil dokumen, lalu kembali menghampiri Farah yang sudah menunggu di depan pintu.
Farah tahu, semua ini adalah bagian dari pilihannya. Menikah bukan karena cinta, tapi karena impian. Ia tahu resikonya. Ia paham konsekuensinya. Tapi tak ada yang mempersiapkan hatinya untuk perasaan yang datang diam-diam.
Dan kini, satu-satunya cara bertahan adalah tetap berjalan, menjaga ritme hati, dan menolak jatuh karena ia tahu, sekali terjatuh, luka itu bisa lebih dalam dari yang ia kira.
***
Semua dokumen akhirnya rampung—izin tinggal di Venezia, surat-surat resmi untuk program S2 Arsitektur di IUAV Università. Farah dan Zira menyelesaikan proses panjang itu dengan napas lega. Satu bab ditutup, lembar baru terbuka. Kini, dunia perkuliahan menanti mereka dengan kesibukan dan tuntutan yang tak ringan.
Sebenarnya Azzam sudah menawarkan untuk membantu mengurus semua keperluan dokumen tinggal dan Hal lainnya. Namun, Farah menolak, gadis itu merasa masih sanggup mengurusnya sendiri dan hal tersebut juga di setujui oleh Zira.
Kini sudah lebih dari seminggu mereka menapaki hari-hari sebagai mahasiswa pascasarjana. Pagi disibukkan dengan kuliah intensif, sore diisi dengan riset dan diskusi panjang tentang pengembangan kota dan struktur bangunan klasik. Kehidupan terasa bergerak cepat, tapi setiap detiknya penuh makna.
Sore itu, Farah duduk sendiri di sebuah kafe mungil di tepi kanal—tempat kecil dengan meja besi bulat yang mulai berkarat dan kursi tua yang menghadap langsung ke kanal yang tenang. Venezia sore itu begitu syahdu, seolah menyembunyikan sejarah panjangnya di balik arsitektur bisu.
Gadis itu sedang menunggu Zira yang sedang salat di masjid kecil dekat kampus. Sementara itu, matanya menyapu horizon yang dipagari bangunan tua. Di kejauhan, tampak pucuk menara menjulang, samar dalam kabut senja. Hanya ujungnya yang terlihat, namun cukup untuk menarik pandangan Farah.
“Basilika Santa Mosque. Salah satu peninggalan Islam di negara terapung ini.”
Suara itu mengalihkan atensi Farah. Farah menoleh dan mendapati sosok pria yang dikenalnya—Almeer.
Farah mengulas senyum saat Almeer semakin mendekat kearahnya.
“Kenapa bang Almeer begitu yakin kalau itu peninggalan Islam?” tanya Farah, setengah penasaran.
Almeer tersenyum, lalu duduk di kursi depan Farah.
“Banyak peneliti Islam sudah membuktikannya. Termasuk aku.” Ia menyisip jeda sejenak. “Lihat saja arsitekturnya. Arah bangunannya. Ornamen yang digunakan. Semua itu bukti bahwa peradaban Islam pernah menjejak kuat di sini.”
Farah mengangguk pelan. Ia memang tak begitu mendalami sejarah Islam, tapi ia menghargai cara Almeer menyampaikannya—tenang, tak menggurui, dan penuh gairah pengetahuan.
“Di negara ini, cukup banyak sejarah muslim yang terlupakan. Dan kalau diurut, akan membawamu ke awal masuknya Islam ke Eropa, bahkan astronomi Islam yang memengaruhi sistem navigasi laut mereka. Basilika Santa itu hanya satu dari banyak warisan yang tertinggal,” Imbuh Pria itu.
Farah mulai tertarik. Ada sesuatu yang tumbuh perlahan dalam dirinya. Mungkin rasa ingin tahu. Mungkin keinginan untuk memahami akar-akar yang dulu pernah ia sentuh.
“Kamu tahu, Fa,” kata Almeer.“Kalau kamu memilih S2 Arsitektur di kota ini karena keindahan visualnya —bangunan tua, kanal, dan sejarah klasik—kamu akan menemukan lebih dari itu. Kamu akan menemukan Islam tersembunyi dalam tiap sudutnya.”
“Benar. Sejarah Islam sangat luas dan menyebar di berbagai belahan dunia. Termasuk di Venezia ini,” sela Zira yang baru datang, menyambut mereka dengan senyum lebar khas gadis itu.
Almeer sempat terkejut, lalu ia menoleh pada Farah sekilas seolah mempertanyakan siapa gadis mudah yang berada didepannya ini. Farah mengerti maksud Almeer lalu gadis itu memperkenalkan mereka.
Suasana menjadi hangat. Tiga orang dengan latar berbeda, tapi dipertemukan oleh satu hal: arsitektur dan sejarah.
Obrolan mereka mengalir seperti kanal di depan mereka—tentang arsitektur Islam, tentang peradaban yang dulu pernah berdiri megah di kota-kota Eropa. Farah, yang tadinya hanya jadi pendengar, mulai ikut bertanya. Ada sesuatu dalam dirinya yang terbuka hari itu.
“Kalau dibahas sekarang, bisa sampai besok,” kata Almeer sambil terkekeh ringan. “Tapi kalau kalian mau, kita bisa atur waktu buat keliling. Ada banyak peninggalan Islam yang masih bisa dilihat di kota ini.”
Farah dan Zira saling menatap lalu mengangguk bersamaan.“Boleh, Bang.”
Almeer terkekeh melihat tingkah dua gadis muda didepan.
“Nanti saya hubungi azzam untuk meminta izin, mengajak kalian jalan-jalan di venezia ini.” tambahnya sembari berdiri.
“Kami tunggu kabarnya bang Al,” ujar Farah, seketika mendapat sikutan Dari Zira.
Almeer mengulas senyum.
“Insya Allah, kalau begitu saya duluan, kalian hati-hati pulangnya.Assalamualaikum,” pamitnya sebelum benar-benar pergi.
“Walaikumusalam...” Zira menjawab pelan.
Farah dan Zira hanya menatap kepergian Almeer, seakan percakapan barusan membuka pintu baru yang belum pernah mereka sentuh sebelumnya.
Farah termenung melihat punggung pria itu hingga hilang di balik lorong.
Apa bang Almeer benar-benar akan meminta
izin pada Manusia kutub itu?
Apa mungkin pria itu akan mengizinkan?
Tak jauh dari tempat Farah dan Zira. Di sana dua orang pria sedang menatap pada dua gadis yang hanya berjarak beberapa meter mereka.
Terlihat pria bersetelan formal itu adalah Azzam pria itu menatap tajam pada Farah.
“Nggak usah di lihatin aja.Samperin kali pak,” ujar Haris terlihat kesal dengan atasan itu.
Bagaimana tidak baru saja sampai di Venezia dengan penerbangan 15 jam sudah di paksa kerja.
“Bisa diam nggak kamu.” Sentak Azzam.
“Siap salah pak,” ucap Haris pelan.
“Apa dia sengaja ya Ris balas saya. Akrab banget sama si peneliti itu.Kalau sama saya bawaannya kesal terus,” pungkas Azzam tatapan pria itu tak beralih sedikitpun dari Farah.
Azzam menggelah napas kasar. “ Wajar sih, Bu Farah kesal kalau lihat muka Bapak. Saya aja bawahanya naik darah terus kalau lihat Bapak,” Bisik Haris.
Azzam menoleh tajam.“Ngomong apa kamu?”
Haris nyengir kuda. “Nggak ngomong apa-apa saya Pak.”
Seketika Azzam melangkah saat melihat Farah dan Zira mulai berjalan menuju kota Cannareigo.
“Kita ikuti mereka dari belakang saja,”ucap Azzam.
Lagi-lagi Haris menggelah napas kasar.
Bisa-bisanya atasannya seperti ini, dirinya benar-benar lelah.
“Kenapa nggak disamperin aja sih pak.” Terlihat guratan lelah pada wajah pria itu.
“Nanti dia kegeeran lagi, dikira saya mau jemput,” ujar Azzam enteng.
Haris semakin kesal, mencoba menahan amarahnya. Jika bukan bosnya sudah ia hajar pria didepanya itu.
“Lah, emang niatnya tadi emang mau jemput Bu Farah kan.”
Azzam melirik sinis pada Haris. “ Diam nggak usah banyak tanya. Dan jangan ngomong kalau kita jemput mereka.Mengerti!”
Haris mengangguk pasrah. “Ngerti pak. Tenang saya mau hidup enak.”
“Bagus.Ayo cepetan.” Pintah Azzam.
“Iya-iya.” Jawab Haris malas.
Mereka pun berjalan mengikuti dua gadis yang berjarak hanya beberapa meter dari tempat mereka, dan saat kedua gadis itu terlihat mampir di sebuah kedai, Azzam masih menunggu disana.
“Pak.” Ucap Haris memecahkan keheningan saat sedang menunggu.
“Hm.”
“Sampai kapan sih, mau nyangkal terus, kalau bapak itu cinta sama Bu Farah.”
Azzam menatap sinis pada Haris. “Dia istri saya, menjaga dia kewajiban saya selama menjadi suaminya. Bukan berarti saya cinta.”
“Bukannya Bu Farah gadis yang Bapak selamatkan Lima tahun lalu?”
“Sok tau kamu Ris,”
“Saya kenal bapak sudah lumayan lama pak.”
Azzam mendengus sinis. “Bukan berarti kamu tahu semua tentang hidup saya.”
Haris terkekeh geli. “Saya tahu kalau bapak yang meminta perjodohan ini, pada pak Arman kan?”
Belum sempat Azzam menjawab tiba-tiba sebuah lengan melingkar erat pada pinggangnya.
Seketika Haris melongo dan Azzam terkejut.
***
Jangan lupa tinggalin jejak ya..
Kamshammida