NovelToon NovelToon
Ketika Bar-Bar Bertemu Sabar

Ketika Bar-Bar Bertemu Sabar

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa pedesaan / Diam-Diam Cinta / Cinta setelah menikah / Cintamanis / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:3.5k
Nilai: 5
Nama Author: ijah hodijah

Aira, gadis kota yang bar-bar dan suka bebas berekspresi, terpaksa ikut orang tuanya pindah ke kampung.

Di sana hidup lebih tenang, katanya... padahal justru membuat hidup Aira jungkir balik.

Setiap hari ia bersitegang dengan Ustadz Fathur, ustadz muda yang kelewat sabar tapi cerewet soal adab dan pakaian.

Yang satu bar-bar, yang satu sabar... tapi sabar juga ada batasnya, kan?

Dan saat perdebatan mereka mulai jadi bahan berita sekampung, Ustadz Fathur malah nekat melamar Aira…

Bukan karena cinta, tapi karena ingin mendidik.
Masalahnya, siapa yang akhirnya lebih dulu jatuh cinta... si bar-bar atau si sabar?

Baca selengkapnya hanya di NovelToon.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 14

Setelah membagi-bagikan jajanan pertama barusan, rombongan ibu-ibu kampung dan Bu Maryam mulai bergerak pulang perlahan. Obrolan mereka ramai membahas materi pengajian… dan tentu saja, membahas tingkah Aira sepanjang hari.

Bu Maryam asyik ngobrol sampai lupa sesuatu.

Seseorang nyeletuk, “Bu Maryam… mana Neng Aira?”

Bu Maryam baru sadar. “Lah? Tadi di belakang saya, kok…”

Mereka menoleh.

Tidak ada Aira.

Sementara itu… Aira

Ia berjalan santai di belakang sendirian. Lalu melihat gerobak bakso bakar.

“Waduh… enak banget kayaknya…”

Dia berhenti. “Bang, bakso bakarnya tiga puluh tusuk ya. Oh sama sosis sepuluh.”

Abangnya bengong. “Neng… acara apaan?”

“Acaranya… aku lapar.”

Belum selesai, Aira menoleh lagi.

Ada tukang martabak mini lewat. “Bang! Martabak mininya semua yang ada di loyang!”

Santri-santri yang lewat mengerutkan kening. “Teteh Kota? Belanja lagi?”

Aira tersenyum lebar. “Daripada kalian cemberut mulu, nih... ambil aja!”

Santri yang tadi menuduh Aira genit kepada Ustadz Fathur ikut lewat. Mau tidak mau dia menerima karena diberi teman-temannya.

Aira sengaja menyodorkan plastik ke gadis itu duluan. “Nih Dek… biar hatimu gak pahit lagi.”

Santri itu menerima dengan pipi merah... malu sendiri.

Dalam waktu lima menit…

Semua jajanan yang diborong Aira habis dibagikan lagi ke santri lewat.

Para santri ricuh kecil, tertawa, kaget, senang.

Ada yang nyeletuk: “Teh… besok datang lagi yaaa!”

Aira terbahak. “Iyaaa kalau saya nggak bangkrut!”

***

Setelah semua jajanan habis, Aira menepuk celananya. “Eh… Ma… mama di mana??”

Dia menoleh ke kiri, ke kanan. Tidak ada seorang pun dari kampungnya. Aira langsung panik. “Huaaa… aku ditinggal!”

Ia akhirnya jalan kembali ke masjid pondok dan duduk di tangga depan, menatap jalan sambil memeluk lutut. “Parah banget… aku dikacangin sama grup ibu-ibu…”

Aira melirik Hpnya... tetap tidak ada sinyal. “Dunia ini jahat padaku…” gumamnya. "Ini sinyal juga kenapa tiba-tiba ngilang sih?"

Matahari mulai turun. Langit memerah. Udara mulai dingin.

Beberapa santri perempuan baru keluar dari masjid, sudah memakai mukena, hendak mengambil air wudu.

Mereka melihat Aira duduk sendirian. “Teh, tadi sama rombongan ya?”

“Iya…”

“Kok ditinggal?”

Aira menekuk bibir. “Kayaknya… mama lupa punya anak.”

Santri-santri itu cekikikan.

Seorang santri senior menepuk bahunya. “Udah, Teh. Ayo wudu. Sebentar lagi adzan. Mukena boleh pinjam.”

Santri itu memberikan mukena putih yang dilipat rapi. Aira menerimanya dengan wajah yang mendadak lembut. “Serius boleh?”

“Boleh, Teh. Di pondok mah saling bantu.”

Aira terharu. “Hiks… kalian baik banget. Tadi kalian gosipin aku nggak?”

“Sedikit…”

“Tapi kan sekarang Teh Aira baik banget.”

“Iya, kita jadi suka sama teteh.”

Aira senyum bangga. “Akhirnyaaa… aku diterima masyarakat…”

Adzan magrib berkumandang.

Santri itu meraih tangan Aira lembut. “Ayo Teh, masuk. Imamnya Ustadz Fathur.”

Aira otomatis menarik tangannya cepat-cepat. “Eh—eh—aku… aku… deg-degan nih…”

Santri-santri kembali cekikikan.

Aira akhirnya masuk masjid, memakai mukena pinjaman, dan ikut salat berjamaah. Untuk pertama kalinya sejak ia datang ke kampung itu… Aira merasa… mendapatkan teman.

Sementara di rumah Aira.

“Pa, Aira mana? Kok nggak ikut pulang? Mama kira tadi bareng papa” tanya Bu Maryam begitu sampai rumah.

Saat sampai rumah, adzan magrib berkumandang.

Pak Hadi terbelalak. “Lho… tadi papa kira ikut ibu-ibu!”

“Nggak ada! Cepat sana jemput. Jangan sampai anak orang kampung hilang di pondok!” seru Bu Maryam panik.

“Aduh, anak itu kalau sudah jajan lupa dunia…” Pak Hadi berdiri. "Papa shalat magrib dulu ya. Lumayan jalan kaki dua puluh menit."

"Papa gak mau beli motor?" tanya Bu Maryam.

Mereka memang hanya punya mobil yang dibawanya dari kota.

"Gak, Ma. Papa takut Aira kelayapan ke mana. Lebih bahaya kalau pakai motor.,"

"Iya, Sih. Ya udah kita shalat dulu. Mudah-mudahan Aira juga ke masjid."

***

Di dalam masjid pondok, para santri sudah duduk rapi membentuk barisan menghadap Ustadz Fathur untuk halaqah Al Qur’an rutin setelah Magrib.

Ustadz Fathur sedang membuka mushaf ketika tiba-tiba melihat satu sosok yang sangat familiar duduk di jajaran belakang, memeluk mukena pinjaman yang kebesaran.

Aira.

Ia duduk anteng, tapi tampak jelas kalau dia tidak paham kenapa harus duduk di situ. Mukena putih itu hampir menutupi seluruh tubuhnya, hanya matanya yang terlihat berkedip-kedip bingung.

Alis Ustadz Fathur terangkat tinggi.

"Ya Allah… kok bisa dia di sini? Mana ibu-ibu yang lain? Mereka tinggalin dia?" gumamnya.

Ia clearing throat. “Aira?”

Santri lain langsung menoleh. Aira angkat tangan kecil-kecil.

“Iya, Ustadz… saya nyasar kayaknya.”

Beberapa santri terdengar cekikikan.

“Kenapa kamu tidak pulang sama ibu-ibu?”

“Mereka menghilang. Saya jajan sebentar… terus hilang.” jawab Aira polos.

Para santri semakin tidak tahan menahan tawa.

Ustadz Fathur menghela napas panjang, antara lelah dan… kasihan.

“Baik. Karena sudah duduk di halaqah, silakan ikut baca Qur’an,” ucap Ustadz Fathur... sedikit formal karena semua santri memperhatikan.

“Sekarang, kamu baca dari surat yang terakhir kamu pelajari.”

Aira tampak panik. “Ustadz… kalau salah jangan dimarahin ya?”

“Saya tidak marah. Silakan.”

Aira membuka mushaf terbalik dulu. Santri di sebelahnya membetulkan perlahan. “Eh... iya, makasih…”

Aira mulai membaca. Baru dua ayat, tajwidnya kacau, mad tak dipanjangkan, ikhfa jadi jelas, ghunnah lenyap entah ke mana. Beberapa huruf pun tidak keluar sesuai makhrajnya.

Santri-santri saling pandang dengan alis naik-turun.

Ustadz Fathur berdeham, mencoba tidak tersenyum.

“Aira… tahan dua harakatnya. Itu mad.”

“Oh… saya kira bebas,” gumam Aira lirih.

“Tidak bebas. Al Qur’an ada kaidahnya.”

Aira mengangguk dengan semangat. “Baik, Ustadz. Saya ulang. Dua harakat itu… berapa detik?”

“Sekitar… satu detik.”

Aira mengangguk lagi, lalu membaca dengan menghitung, “Satu… dua…” di sela-sela bacaan.

Para santri langsung menunduk menutup mulut, menahan tawa.

Ustadz Fathur menutup wajah sebentar.

Ya Allah, sabar... Sabar...

“TIDAK perlu dihitung dengan suara, Aira.”

“Ooo… iya. Maaf.”

Ustadz Fathur hampir menyerah. Tapi dalam hatinya ia justru merasa… hangat. Aira memang tidak bisa diam, tidak bisa benar, tapi niatnya selalu tulus.

Kenapa anak ini selalu muncul dalam situasi-situasi yang tidak terduga...

Halaqah ditutup dengan doa. Para santri berbaris keluar masjid, beberapa masih menahan tawa kecil ketika melirik Aira yang wajahnya polos dan tenang seolah tidak menyadari dirinya jadi pusat perhatian.

Ustadz Fathur merapikan mushaf lalu menghampiri Aira yang masih duduk sambil melipat-lipat mukena pinjaman dengan penuh kebingungan.

“Aira,” panggil Ustadz Fathur pelan.

Aira menatap. “Iya, Ustadz?”

“Kamu mau saya antar pulang sekarang? Atau mau ikut pelajaran setelah Magrib dulu?”

Aira tampak mikir lama... nyaris terlalu lama.

“Mmm… pelajarannya apa dulu?”

“Kitab akhlak.”

“Oh.”

Aira menimbang-nimbang. “Kalau saya ikut, saya duduk di mana?”

“Ya… di belakang. Ikut mendengarkan.”

“Boleh nyatet?”

“Boleh.”

Aira mengangguk mantap. “Ikut deh, Ustadz. Saya sudah terlanjur di pondok. Sekalian belajar. Siapa tahu nanti pulang bawa prestasi.”

Ustadz Fathur tersenyum kecil, menahan tawa. Bawa prestasi apa coba… “Baik, kalau begitu tunggu sebentar. Saya...”

Belum sempat selesai…

Terdengar suara langkah tergesa di halaman masjid. Beberapa santri menoleh.

Pak Hadi muncul sambil ngos-ngosan, kausnya terlihat basah, napas terengah-engah.

“AI—RAAA!”

Suara Pak Hadi menggema seperti toa mushala.

Aira refleks berdiri. “Papa?!”

Pak Hadi langsung mendekat, masih ngos-ngosan.

“Kamu itu… hilang ke mana?! Mama kamu panik! Papa pulang duluan… eh kamu nggak ada! Papa disuruh balik sama mama kamu! Astaghfirullah…”

Para santri saling pandang, mulai berbisik-bisik. Beberapa bahkan menunduk menahan tawa melihat Pak Hadi yang datang dengan ekspresi seperti kehilangan sapi.

Ustadz Fathur menahan diri untuk tidak senyum.

Aira mengangkat tangan pelan. “Maaf, Papa… tadi aku jajan.”

“Jajan apa?! Sampai lupa pulang?!” suara Pak Hadi makin parau.

“Semua, Pa. Aku borong. Santri-santri seneng kok tadi.” jawab Aira penuh bangga.

Pak Hadi menutup wajahnya.

“Ya Allah… pantesan kamu nggak kelihatan.”

Ustadz Fathur maju sedikit, menenangkan.“Pak Hadi, tidak apa-apa. Aira tadi ikut halaqah. Dan… membaca.”

Aira memasang wajah bangga. “Iya Pa! Tapi aku salah semua katanya.”

Ustadz Fathur cepat-cepat menimpali, “Tidak semua.”

Pak Hadi hanya bisa menatap langit sebentar. “Ayo pulang. Sebelum mama kamu mengira kamu nginep di sini.”

Aira mengangguk, lalu berbalik pada Ustadz Fathur. “Maaf ya, Ustadz. Saya nggak ikut pelajaran. Soalnya saya takut Mama khawatir.”

Ustadz Fathur tersenyum tipis. “Tidak apa. Hati-hati pulang.”

Aira mengangguk dan berjalan di samping Pak Hadi. Beberapa santri melambaikan tangan, ada juga yang masih tertawa kecil mengingat momen-momen Aira barusan.

Ustadz Fathur memperhatikan punggung mereka menjauh.

Dalam hatinya muncul satu kalimat yang bahkan ia sendiri heran:

Gadis itu… Tidak pernah tidak membuat aku khawatir. Astagfirullah...

Bersambung

1
Ilfa Yarni
aku kli baca cerita Aira ini ketawa sendiri ada aja celotehannya itu nanti ustdz Fatur bisa awet muda nikah sama aira
Rian Moontero
lanjuuuttt😍
Ijah Khadijah: Siap kak. Ditunggu kelanjutannya
total 1 replies
Ilfa Yarni
ya udah nanti ustadz tinggal drmh Aira aja toh Aira ank tunggal pasti orang tuanya senang deh
Ilfa Yarni
wallpapernya oke banget rhor
Ijah Khadijah: Iya kak. Ini diganti langsung sama Platformnya.
total 1 replies
Ilfa Yarni
bukan sama itu kyai sama Aira ank yg baru dtg dr kota
Ilfa Yarni
ya udah Terima aja napa sih ra
Ilfa Yarni
cieeee Aira mau nikah nih yee
Ilfa Yarni
cieee Aira dilamar ustadz Terima doooong
Ilfa Yarni
wah itu pasti laporan sijulid yg negor Aira td tuh
Ilfa Yarni
bagus Aira sebelum mengkoreksi orang koreksi diri dulu
Ilfa Yarni
klo dikmpg begitu ra kekeluargaannya tinggi
Ijah Khadijah: Betul itu. maklum dia belum pernah ke kampung kak
total 1 replies
Rina Nurvitasari
ceritanya bagus, lucu, keren dan menghibur TOP👍👍👍 SEMANGAT
Ijah Khadijah: Terima kasih kakak
total 1 replies
Ilfa Yarni
km lucu banget aura baik dan tulus lg sampe2 ustadz Fatur mengkhawatirkan km
Ilfa Yarni
aura jadi bahan ledekan dan olk2an mulu kasian jg eeeustadz Fatur nunduk2 suka ya sama neng aira
Ilfa Yarni
woi para santri Aira ga genit kok memang ustadz Fatur yg minjemin motornya
Ilfa Yarni
aduh Aira hati2 tar km jatuh lg
Ilfa Yarni
cieee begitu yg tadz okelah klo gitu nikah dulu dgn neng aira
Ilfa Yarni
Aira harus percaya diri dong km cantik lho warga kmpg aja mengakuinya aplg ustdz Fatur heheh
Ilfa Yarni
aaah ustadz Fatur sering amat nongki nongki dgn orangtua Aira suka ya sama neng aira
Ilfa Yarni
hahahahaha ke sawah pake baju kondangan aira2 km ya bikin ngakak aja
Ijah Khadijah: Salah kostum🤭🤭
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!