“Jangan sok suci, Kayuna! Kalau bukan aku yang menikahimu, kau hanya akan menjadi gadis murahan yang berkeliling menjual diri!”
Demi melunasi hutang ayahnya, Kayuna terpaksa menikah dengan Niko — CEO kejam nan tempramental. Ia kerap menerima hinaan dan siksaan fisik dari suaminya.
Setelah kehilangan bayinya dan mengetahui Niko bermain belakang dengan wanita lain. Tak hanya depresi, hidup Kayuna pun hancur sepenuhnya.
Namun, di titik terendahnya, muncul Shadow Cure — geng misterius yang membantunya bangkit. Dari gadis lemah, Kayuna berubah menjadi sosok yang siap membalas dendam terhadap orang-orang yang menghancurkannya.
Akankah Kayuna mampu menuntaskan dendamnya??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SooYuu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 19
Niko menerobos masuk ke kamar dengan langkah terburu-buru. “Dasar wanita gila! Apa sulitnya memuaskan Yudha?!” serunya pada Kayuna yang tengah duduk tenang di depan cermin.
Kayuna tak terusik. Sorot matanya tetap datar — menatap Niko dari pantulan kaca.
Niko masih terengah menahan amarah. “Gara-gara ulahmu proyek besarku gagal total! Yudha menarik semua investasinya!” hardiknya dengan emosi yang menyala.
Braak!
Kayuna menghantam keras cermin di depannya. Lalu menoleh dengan tatapan dingin tanpa ekspresi, ia beranjak dari duduknya, jari-jarinya berdarah tergores serpihan kaca.
Langkahnya tenang menghampiri Niko yang kini wajahnya mendadak menciut kala melihat sikap sang istri yang tak biasa.
Plak!!
Kayuna menampar keras pipi suaminya.
Niko menyentuh pipinya yang memerah. “Kau,” desisnya tajam. “Beraninya —”
Plak!!
Kayuna kembali mengayunkan tamparan keras. “Tak cukup menyiksaku, kau bahkan berani menjualku?”
Niko melotot. “Apa salahnya? Itu satu-satunya cara untuk membuatmu berguna di sini.”
“Aku nggak habis fikir, sebenarnya terbuat dari apa hatimu itu? Apa kau masih memiliki nurani?!” ucap Kayuna tajam.
“Persetan dengan nurani, yang penting adalah uang. Bukankah kita saling menguntungkan?” Niko melebarkan matanya yang membara. “Ayolah, Kayuna. Kau bisa menikmati malam dengan pria lain, sementara aku mendapatkan proyek impianku, kita takkan rugi,” ujarnya.
“Dasar laki-laki breng—”
Niko melayangkan tangan — menepis tamparan Kayuna. Lalu balik mencekik istrinya. “Kau semakin berani sekarang, apa karena belakangan aku sedikit lunak padamu? Hah?!”
“A-aakk ….” Kayuna tercekat.
Kayuna terus meronta, tatapannya nyalang menantang suaminya. Tangannya mencengkeram bahu Niko, lalu ia menghantamkan dahinya tepat ke wajah pria itu.
“Akhh!! Sialan!” Niko berteriak menahan sakit, tangannya menyentuh hidungnya yang mimisan. “Kau —” Tangannya kembali terangkat mencengkram Kayuna.
“Dasar pelacur gila!” Tatapannya tajam, seolah kehilangan akal, pria berhati gelap itu mendorong Kayuna hingga perutnya — menghantam kuat besi ranjang.
Bruk!
Kayuna terjatuh ke lantai, bersimpuh dengan tubuh lemas. Perutnya terasa nyeri luar biasa, darah hangat mengalir dari bawah. Dia menunduk, menatap genangan merah yang mulai berlumuran di kaki hingga ke lantai.
“Akhhh!” pekik Kayuna menahan sakit yang terasa melilit perutnya. Wajahnya mengabur pucat, keringat dingin membasahi pelipisnya — ia kehabisan tenaga.
Niko tampak pucat pasi, wajahnya panik kala melihat cairan merah terus mengalir deras dari bawah tubuh istrinya. “Aku tak melakukan apapun,” sanggahnya.
Bukannya segera menolong, ia justru sibuk mondar-mandir sambil memijat erat kepalanya di depan Kayuna. “Kevin,” gumamnya lalu menelepon asistennya.
“To-tolong ….” Kayuna memohon dengan suara lirih.
***
Unit Gawat Darurat di sebuah rumah sakit swasta — Atmaja Group. Suasana masih tenang sebelum datangnya pasien hamil yang terancam keguguran.
Kayuna terbaring lemah di dalam mobil. Kevin — asisten Niko, membawanya dengan buru-buru ke rumah sakit.
Dokter Ridho dan beberapa perawat serta staf rumah sakit sudah standby di depan lobi, karena sebelumnya kevin sudah menghubungi pihak rumah sakit. Saat mobil berhenti, mereka segera mendekat dan memberi pertolongan cepat.
Mata Ridho membulat kala melihat wajah tak asing baginya. “Dia ….” Ia semakin melotot saat melihat pendarahan hebat pada Kayuna.
“Cepat! Cepat!” perintahnya pada petugas dengan wajah panik, namun tetap tenang.
Setelah selesai memberi pertolongan. Ridho segera memanggil dokter kandungan untuk memastikan keadaan janinnya. Namun, kondisi Kayuna dan bayinya sama-sama terancam.
“Akibat kehilangan banyak darah, janinnya harus segera digugurkan,” ucap si dokter kandungan.
Ridho berdiri dengan wajah gusar di depan meja perawat. Kata-kata dokter kandungan masih terus berputar di kepala. “Sudah hubungi keluarganya, Sus?” tanyanya pada suster Lina.
“Kami menghubungi suaminya lewat tombol panggilan cepat dari ponsel pasien, tapi tidak dijawab. Lalu kami juga coba menghubungi kakaknya, beliau akan segera tiba, Dok,” jawab suster Lina. “Tapi, Dokter. Kakaknya perempuan dan difabel, saya pikir beliau akan butuh waktu lama untuk tiba di rumah sakit.”
“Lalu siapa pria tadi yang membawanya ke sini?” tanya Ridho.
“Beliau langsung pergi begitu saja entah ke mana, Dok. Lalu nomor yang sebelumnya menghubungi pihak rumah sakit, sekarang sudah tidak bisa dihubungi lagi,” jelas suster Lina.
Ridho terlihat kebingungan. “Bagaimana ini? Pasien harus segera dioperasi, kita butuh persetujuan keluarganya,” ujarnya sambil memijat erat pelipisnya.
“Adrian?” Nama Adrian mendadak terlintas di benak Ridho. Ia segera melangkah menuju lorong yang tampak sepi.
“Dokter Adrian, saya pikir Anda perlu tahu.”
Ridho menceritakan kejadiannya pada Adrian melalui telepon, dia merasa Adrian perlu tahu kondisi Kayuna — mengingat dia adalah satu-satunya orang yang dikenalnya, dan pernah dekat dengan Kayuna.
“Anda mengenal keluarganya? Bisa tolong hubungi, ini sangat mendesak,” pintanya pada Adrian.
“Saya segera ke sana,” jawab Adrian lalu menutup panggilan.
“Saya—” Ridho memicingkan mata. “Yang saya butuhkan keluarganya, bukan Anda!” ucapnya pada layar ponsel yang sudah tak bersuara.
“Lagi-lagi dimatikan, belum selesai ngomong juga.”
Tak butuh waktu lama, Adrian pun tiba dengan tergesa. “Apa yang terjadi?” tanyanya pada Ridho yang sudah menunggu di ruang IGD.
“Itu, pasienku —”
“Apa yang terjadi dengan adik saya?” potong Anita, dia datang bersama Dewi — teman sekaligus perawat pribadinya.
Wajah Anita tampak pucat. Kaget bercampur cemas, takut terjadi sesuatu yang buruk pada adiknya. “Kayuna … baik-baik saja kan, Dok?” tanyanya, tangannya bergerak — mengayuh kursi rodanya sendiri. Sementara Dewi mengikuti dengan langkah gugup.
“Anda?” Alis Ridho terangkat mempertanyakan siapa Anita.
“Saya Kakaknya,” jawab Anita.
“Oh, baiklah. Saya jelaskan dulu, pasien kehilangan banyak darah, lalu ….” Ridho menelan ludah, melihat keadaan Anita yang duduk di kursi roda, membuat lidahnya mendadak kelu enggan menyampaikan kondisi Kayuna.
Adrian tertegun, tatapannya menelisik ke arah wanita yang tampak terpukul. “Anita?” gumamnya.
Adrian ingin menyapa, namun ia mengurungkan niatnya dan membiarkan Ridho maju — menjelaskan situasi yang sebenarnya.
“Pasien atas nama Bu Kayuna tiba di rumah sakit sudah dalam kondisi tak sadarkan diri. Kami menemukan beberapa memar dan juga beliau mengalami pendarahan hebat,” jelas Ridho. “Untuk saat ini, kami menyarankan untuk mengangkat janinnya yang sudah rentan, demi keselamatan ibunya.”
Dunia terasa berhenti sesaat, Anita membeku di atas kursi roda, sementara Adrian berdiri kaku di sudut dinding yang dingin.
“Apakah Anda perlu waktu untuk mempertimbangkan —”
“Selamatkan nyawa adik saya,” potong Anita dengan cepat dan yakin.
“Kita tak perlu persetujuan suaminya? ini akan menjadi —”
“Saya akan bertanggung jawab penuh. Selamatkan adik saya, saya mohon, Dokter,” lirih Anita, suaranya bergetar nyaris pecah oleh tangisan.
Ridho terdiam sejenak, namun segera mengangkat kembali wajahnya. “Baiklah, saya akan segera menyiapkan operasi.”
Hari berat itu berlalu dengan cepat, Kayuna terbaring di meja operasi. Dibalik kesibukan dan cekatan para tim medis, ada kepedihan mendalam tentang kehilangan. Sesuatu yang sangat menyakitkan dibanding sebuah sayatan pisau tajam.
Di depan ruang operasi, Anita duduk dengan tatapan kosong. ‘Ya Allah … selamatkan adikku, saya mohon,’ pintanya dengan sungguh pada sang maha kuasa.
Sementara Adrian duduk di seberang Anita, wajahnya mengetat penuh dendam. “Aku bersumpah, Kayuna.” gumamnya. “Siapapun dia yang berani membuatmu seperti ini. Akan kupastikan dia mendapat balasan yang setimpal!”
***
“Anakku!” Kayuna menjerit, tangisnya pecah — menggema di ruang rawat inap malam itu. Tubuhnya tak berdaya dalam pelukan ibunya.
Harni berdiri dengan wajah getir, menahan sakit juga rasa bersalah setelah menyaksikan penderitaan putrinya. “Anakku, maafkan ibu …,” lirihnya seraya memeluk dan mengelus lembut rambut Kayuna.
Sementara di luar ruangan, Adrian berdiri menatap nanar Kayuna melalui celah pintu. Ia mengalihkan wajah, tak kuasa menahan air matanya yang siap jatuh.
Saat berbalik, sorot mata elangnya berubah tajam kala melihat Niko melangkah santai menuju ruang rawat inap.
Laki-laki jahanam itu pun menyunggingkan bibirnya saat berpapasan dengan Adrian. “Dia lagi, dia lagi,” gerutunya.
“Berhenti.” Adrian menahan kuat lengan Niko. “Kita harus bicara.”
Niko mendengus malas. “Apa kau tidak bosan terus ikut campur urusan rumah tangga orang lain?”
“Ikut aku. Atau kukatakan saja semuanya di sini, rahasiamu?” Adrian menegaskan ucapannya.
Niko mengernyit, lalu menatap sekeliling. ‘Apa yang ingin dibahas? Rahasiaku? Apa yang dia ketahui tentangku?’ batinnya berusaha menebak.
Adrian melangkah menuju lorong yang sepi. Sementara Niko terus mengikuti di belakangnya, hingga keduanya tiba di taman belakang rumah sakit.
“Apa yang ingin kau bahas, Dokter Ad—”
Bugh!
*
*
Bersambung …