Hanasta terpaksa menikah dengan orang yg pantas menjadi ayahnya.
suami yg jahat dan pemaksaan membuatnya menderita dalam sangkar emas.
sanggupkah ia lepas dari suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elara21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hanasta ke2
Malam turun perlahan di atas mansion Soni. Lampu-lampu halaman menyala, cahaya kuning hangat menembus kaca besar ruang tengah. Para tamu sudah pulang, keramaian lenyap, dan yang tersisa hanya keheningan luas yang terasa… menekan.
Hana berjalan sendirian di koridor menuju kamarnya, membawa kain dingin untuk mengompres wajahnya. Pipi kirinya masih panas, perih saat disentuh.
Setelah pertemuan keluarga tadi, Soni tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya tersenyum kecil—senyum yang membuat punggung Hana merinding, karena ia tahu:
akan ada harga yang harus dibayar.
Tepat saat ia hendak masuk ke kamar, suara rendah terdengar di belakangnya.
“Hana.”
Hana terlonjak.
Itu suara James.
Ia menoleh perlahan. James berdiri beberapa langkah darinya, tubuhnya bersandar pada dinding, tangan menyelip di saku. Lampu koridor membuat bayangannya panjang di lantai.
Hana menunduk cepat.
“Ja—Tuan James… saya tidak bermaksud—”
“Berhenti.”
James mendekat.
“Aku sudah bilang, jangan bicara seperti itu padaku.”
Hana menggenggam kain kompres itu lebih erat. “Saya… saya hanya mengikuti aturan di rumah ini.”
“Rumah ini?” James menatapnya dalam, seperti membaca seluruh ketakutannya. “Aturan siapa?”
Hana terdiam.
James memperhatikan pipi Hana yang merah. “Sini.”
Hana mundur setengah langkah. “Ja—James, tolong… jangan sekarang. Ayahmu—”
“Ayahku tidak ada di sini.” suaranya tegas.
“Hanya ada aku dan kamu.”
Ia mengambil langkah mendekat lagi hingga Hana bisa merasakan kehangatan tubuhnya dan aroma parfum maskulin yang familiar—aroma yang dulu pernah menenangkan, tapi kini justru membuat dadanya sesak.
James mengangkat tangan.
Perlahan, ia menyentuh dagu Hana, mengangkat wajahnya sedikit agar bisa melihat pipi yang terluka.
Hana terkejut, tapi tidak berani menepis.
“Dia menyiramkan ini ke wajahmu,” gumam James, suaranya turun menjadi sangat rendah. “Dia melakukannya di depanku.”
Hana menggigit bibir.
“Aku tidak apa-apa.”
“Kau bohong.”
Hana menghela napas gemetar. “Kalau aku membantah… itu hanya membuat keadaan lebih buruk.”
James menutup mata sebentar, menahan emosi yang tampak jelas memuncak.
“Kau tidak seharusnya hidup seperti ini.”
Hana tidak menjawab. Tatapannya jatuh ke lantai, ke kain kompres yang sekarang basah oleh air matanya sendiri.
James mendekat satu langkah lagi.
“Kenapa kau menikah dengannya?”
Pertanyaan itu keluar begitu saja—kencang, menahan frustrasi.
“Kenapa… Hana?”
Wanita itu memejamkan mata.
“Aku… tidak punya pilihan.”
“Ada aku.”
Hana tercekat.
Hatinya seakan berhenti berdetak sejenak.
“Anda—kamu—menghilang, James.”
Ada luka lama di suara Hana, yang bahkan ia tidak sadari keluar.
“Setelah itu… aku sendirian.”
Keheningan menyergap koridor.
James memandang Hana dengan sorot yang tak bisa ia sembunyikan—sesuatu antara penyesalan, marah, dan rasa yang tidak pernah hilang sejak dulu.
“Aku kembali sekarang,” katanya akhirnya.
“Aku tidak akan biarkan kau sendirian lagi.”
Hana menggeleng pelan, panik. “Jangan berkata begitu. Ayahmu akan marah.”
“Aku tidak peduli.”
“James…”
James menunduk mendekatinya, suaranya turun hampir seperti bisikan:
“Hana, aku serius. Aku akan melindungi—”
Belum sempat James menyelesaikan kalimatnya, lampu koridor di ujung sana tiba-tiba menyala lebih terang.
Soni muncul.
Ia berdiri di ujung koridor, tubuh tegap, wajah gelap…
dan tatapan yang langsung mengunci pada tangan James yang masih menyentuh wajah Hana.
Suasana langsung membeku.
Hana serasa kehilangan suara.
James perlahan melepaskannya, tapi tidak mundur.
Bahkan ia berdiri sedikit di depan Hana, seperti ingin melindungi.
Soni tersenyum. Bukan senyum manusia, tapi senyum seseorang yang baru saja menemukan alasan untuk mengamuk.
“James…” suara Soni berat.
“Aku rasa kita harus bicara. Sekarang.”
James menegakkan badan.
“Aku juga ingin bicara.”
Dua lelaki itu saling menatap, udara di antara mereka menegang seperti tali yang bisa putus kapan saja.
Hana berdiri di belakang James, tubuhnya bergetar.
Koridor hening. Udara menegang begitu Soni mendekat dengan langkah mantap, suaranya bergema di lantai marmer.
“Hana,” katanya tanpa menoleh, “kembali ke kamarmu.”
Nada itu bukan permintaan. Itu perintah.
Hana menunduk cepat. “Ba—baik, Tuan.”
Ia melangkah pergi. Tapi baru lima langkah, James bersuara:
“Hana, tunggu.”
Hana berhenti. Menoleh ke arah James.
Soni memutar wajahnya perlahan, tatapannya tajam seperti pisau.
“James,” katanya datar,
“kau mulai berani menentangku.”
James tidak goyah. “Kalau itu membuatmu berhenti menyakiti orang lain, maka ya. Aku menentangmu.”
Soni tertawa kecil. Tawa yang dingin, menghakimi.
“Orang lain? Dia itu istrimu? Kekasih lamamu? Atau apa?”
James mengambil satu langkah maju, menatap ayahnya tepat di mata.
“Dia manusia. Bukan barangmu.”
Tatapan Soni menggelap.
“Berani sekali bicaramu malam ini,” desis Soni. “Apa kau pikir hanya karena kau pulang setelah dua tahun, kau bisa mengaturku?”
“Tidak,” jawab James cepat.
“Tapi aku tidak akan membiarkanmu menyentuhnya lagi.”
Soni menyipitkan mata.
“Oh?”
Ia melangkah makin dekat hingga wajah mereka hanya terpisah beberapa sentimeter.
“Kau kesal aku menyiramkan kopi itu? Kau pikir aku tidak tahu alasan sebenarnya kau kembali malam ini?”
James membeku sesaat, tapi tidak berkata apa-apa.
Soni tersenyum penuh kemenangan.
“Kau kembali bukan karena ibumu.
Bukan karena warisan.
Kau kembali karena dia.”
James mengepal tangan begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih.
Soni menepuk bahunya keras.
“Dan dia istriku, James. Istriku. Kau tidak punya hak.”
James menggerakkan bahunya menepis tangan ayahnya.
Suaranya turun, berat, penuh kemarahan yang ditahan:
“Kau memperlakukan dia seperti budak.”
Soni mendekat lebih jauh, menahan James dengan tatapan mengancam.
“Kalau kau mau menyelamatkan Hana… nikahlah.”
Ucapannya pelan, tapi langsung memotong udara seperti belati.
James terpaku.
“Kau tahu syarat warisan ibumu,” lanjut Soni. “Ibumu ingin kau menikah baru bisa mengelola semuanya. Dan aku pastikan—kalau kau tidak menikah—semua properti itu jatuh ke Hana.”
Soni tersenyum tipis.
“Dengan begitu, dia tetap harus tinggal bersamaku. Selamanya.”
Darah James seperti berhenti mengalir.
Soni menepuk pipi James dua kali, lembut tapi penuh penghinaan.
“Kau tidak bisa menang melawanku. Anak kecil sepertimu masih belum paham bagaimana permainan ini berjalan.”
James menatapnya lama.
Sangat lama.
Lalu tiba-tiba—James tersenyum.
Senyum dingin, berbahaya, sangat tidak seperti biasanya.
“Baik,” ujarnya pelan. “Kalau itu yang kau mau…”
Soni berhenti tersenyum.
Satu detik. Dua detik.
“Aku akan menikah,” lanjut James.
Soni menyipit tajam.
Dengan nada rendah, James menambahkan:
“…tapi bukan dengan wanita yang kau pilih.”
Soni mendekat lagi. “Jangan main-main denganku.”
“Aku tidak main-main.”
Tatapan James begitu dingin.
“Dan setelah aku menikah—aku akan bawa Hana keluar dari neraka ini.”
Soni terdiam.
James menatap ayahnya untuk terakhir kali malam itu, matanya penuh tekad yang tidak pernah Soni lihat sebelumnya.
“Ayah,” katanya dengan suara rendah dan tajam,
“kau baru saja membuat kesalahan terbesar dalam hidupmu.”
Ia berbalik dan berjalan pergi.
Soni berdiri membeku, untuk pertama kalinya kehilangan kendali dalam pertarungan kata dengan anaknya sendiri.
Di ujung koridor…
Hana berdiri, tubuh gemetar.
Ia mendengar semuanya.
Setiap kata.
Setiap ancaman.
Dan keputusan James.
Hatinya berdebar keras. Panas. Takut. Dan… sesuatu yang tidak berani ia akui:
Harapan.
James menoleh, melihat Hana menatapnya dengan mata membesar.
“Hana.”
Suaranya lebih lembut.
“Percayalah. Aku akan urus semuanya.”
Hana menggeleng. “James… kau tidak harus—”
“Aku mau.”
Ia mendekat beberapa langkah, tapi berhenti sebelum terlalu dekat, seolah menghormati batas yang Hana sendiri bingung di mana letaknya.
“Malam ini… aku janji satu hal.”
Nadanya serius.
“Aku tidak akan biarkan kau hidup dalam ketakutan lagi.”
Hana menunduk, air mata jatuh tanpa bisa ditahan.
Sementara di belakang mereka, di balik bayangan gelap koridor, Soni berdiri diam.
Mengintai.
Dan tersenyum tipis.
Karena ia tahu—
permainan baru saja dimulai,
dan ia tidak pernah kalah dalam permainan apa pun.
By : Eva nelita
11-11-2025