Ini adalah perjalanan cinta kedua putri kembar Ezar dan Zara.
Arsila Marwah Ezara, si tomboy itu akhirnya berhasil bekerja di sebuah perusahan raksasa yang bermarkas di London, Inggris, HG Corp.
Hari pertama nya bekerja adalah hari tersial sepanjang sejarah hidupnya, namun hari yang menurutnya sial itu, ternyata hari di mana Allah mempertemukan nya dengan takdir cintanya.
Aluna Safa Ezara , si gadis kalem nan menawan akhirnya berhasil menyelesaikan sekolah kedokteran dan sekarang mengabdikan diri untuk masyarakat seperti kedua orang tuanya dan keluarga besar Brawijaya yang memang 90% berprofesi sebagai seorang dokter.
Bagaimana kisah Safa sampai akhirnya berhasil menemukan cinta sejatinya?
Karya kali ini masih berputar di kehidupan kedokteran, walau tidak banyak, karena pada dasarnya, keluarga Brawijaya memang bergelut dengan profesi mulia itu.
Untuk reader yang mulai bosan dengan dunia medis, boleh di skip.🥰🥰
love you all
farala
💗💗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon farala, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 15 : Perlahan identitas terkuak
Seminggu berlalu setelah Marwah menjadi sekertaris Barra, dan selama seminggu itu, Marwah hanya akan berteriak di depan pintu kamar Barra jika pria itu tidak bangun saat pintu kamarnya di ketuk.
Namun setelah Marwah lelah dan kehabisan suara, dia akan pergi tanpa memperdulikan Barra bangun ataupun tidak.
Seperti pagi ini, Marwah menikmati sarapan di dapur setelah tidak berhasil membangunkan sang bos.
" Kenapa nona tidak masuk saja ke kamarnya?" Ujar pelayan yang biasa membersihkan kamar Barra.
Marwah hanya tersenyum.
" Di dalam sana tidak ada hantu kok, nona."
" Siapa bilang?"
" Setiap hari, saya yang membersihkan kamar tuan Barra, dan rasanya nyaman nyaman saja." Lanjutnya.
Marwah menghela nafas.
" Bagaimana menjelaskannya? Sebenarnya aku lebih takut hantu yang bernafas dari pada yang terbang." Batin Marwah.
" Aku tidak pernah masuk kamar orang lain. Rasanya risih saja." Ujarnya santai.
Derap langkah kaki terdengar semakin dekat membuat Marwah menoleh.
" Kau tidak membangun ku?" Ketus Barra.
" Sudah, pak."
" Aku tidak dengar."
" Mati suri kali...." Batin Marwah mendongkol.
" Buatkan aku kopi."
" Eh...tapi itu bukan tugas saya pak."
" Kau membantah?"
" Bukan begitu, kalau di kantor, aku tidak keberatan, tapi ini kan masih di rumah pak Barra. "
" Lalu?"
" Ya, kan banyak yang bisa buatkan kopi. Jangan saya ya, pak."
" Aku tidak mengulang perintah dua kali. Cepat!!"
Marwah kesal setengah mati, namun tak urung, dia melakukan apa yang Barra minta.
Beberapa lama menunggu, secangkir Americano no sugar siap di atas meja.
" Hari ini, aku tidak ke kantor. Aku ada urusan di luar."
Wajah kesal Marwah berubah sumringah .
" Berarti hari ini, saya bisa libur dong , pak.."
Barra mengangguk.
Marwah kegirangan. Bayangan sirkuit dengan delapan belas tikungan terbayang di depan mata. Bagaimana dia menaklukkan setiap tikungan tikungan dengan teknik knee down semakin membuatnya tidak sabar untuk segera pulang.
Tapi, itu hanya sekedar khayalan Marwah saja, karena di menit berikutnya , Barra mengacaukan semuanya.
" Tadi pagi, mama menelpon, dia memintamu untuk menemaninya ke acara kajian Islam di pesantren Al Hidayah."
" A..pa....pesantren Al Hidayah ?"
Barra menatap Marwah." Kenapa kau kaget begitu?"
" Oh,, tidak....tidak apa apa, pak."
" Apa kau tau di mana pesantren Al Hidayah?
Terpaksa Marwah mengangguk." Iya , pak."
" Ternyata pesantren itu terkenal juga." Ucapnya sembari menyeruput kopinya.
Marwah menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Dalam hati, Marwah sangat bahagia bisa kembali berkunjung ke tempat di mana dulu ia dan Safa menuntut ilmu agama. Pesantren itu kini di bawah pimpinan umi grandma, walau pengelolaannya masih di kerjakan oleh ustadz Damar dan ustadzah Dewi.
Hanya saja, itu cukup jauh dan akan memakan waktu yang lama di perjalanan. Mungkinkah mama dari bosnya itu akan menginap?
" Apa mamanya pak Barra akan menginap nantinya?"
" Tidak."
" Tapi Al Hidayah jauh, pak."
" Memangnya kau jalan kaki..Tidak kan?" Jawabnya ketus.
Marwah pun menghela nafas.
" Sebaiknya kau siap siap."
" Berangkat sekarang , pak."
" Tidak, tahun depan." Ujarnya lalu meninggalkan Marwah .
Marwah mengepalkan tangan dan meninju udara kosong sebagai pelampiasan rasa kesalnya pada Barra.
Dan Benar saja, lima menit kemudian , mama Arini muncul di depan Marwah.
" Apa kamu sudah siap?"
Marwah mengangguk lemah." Iya , nyonya."
" Ayo.."
Sebuah mobil di halaman depan sudah siap mengantarnya ke desa di kaki bukit tempat pesantren Al Hidayah berada.
Perjalanan pasti akan sangat menyenangkan mengingat pemandangan indah yang menyejukkan mata . Tapi, lagi lagi, khayalan Marwah sirna melihat Liam dan Barra muncul entah dari mana, masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi depan.
" Kenapa dia ikut? Bukankah katanya tadi dia ada urusan?" Marwah membatin.
" Acara kajiannya setelah Dzuhur kan, ma?"
" Iya."
Barra menatap arlojinya." Insyaallah kita bisa tiba tepat waktu."
Barra memperhatikan Marwah dari kaca spion.
" Hei,,kenakan sabuk pengaman mu!"
Marwah melakukan perintah Barra, tapi jangan lupakan wajahnya yang tidak bersahabat.
Lain lagi dengan mama Arini, dia tersenyum penuh arti dengan interaksi keduanya.
" Apa kamu pernah berkunjung ke pesantren Al Hidayah?" Mama Arini bertanya mencoba mencairkan suasana.
" Iya, nyonya. Dulu saya mondok di sana."
Mama Arini antusias." Benarkah ?"
Marwah mengangguk.
" Berarti mama tidak salah membawa teman, Barra."
Barra terdiam sembari memperhatikan Marwah dari kaca spion.
" Kamu mondok nya lama?"
" Enam tahun nyonya."
" Lama juga. Berarti kamu sering bertemu dengan pemilik ponpes nya, iya kan?"
Marwah tersenyum aneh. Bagaimana tidak, bukan hanya di ponpes, Marwah bahkan hampir tiap hari bertemu dengan pemilik ponpes tersebut.
" Iya. Nyonya."
" Aku sedikit penasaran. " Mama Arini memperbaiki posisi duduknya dan lebih mencondongkan tubuhnya ke arah Marwah. " Pengisi kajian hari ini adalah ustadzah Azalea, dan dia juga adalah pemilik Al Hidayah. Apa mungkin kamu tau, atau pernah melihat wajahnya secara langsung?"
Marwah bingung, mau jawab tidak, jelas dia berbohong, jawab iya, Marwah takut mama Arini bertanya yang lebih jauh lagi mengenai umi grandma nya.
" Memangnya kenapa , nyonya?"
Mama Arini menyenderkan punggungnya dengan tatapan lurus ke jalan raya." Tidak, hanya saja, mama merasa jika beliau sangat cantik, tutur katanya sangat lembut, dan beliau terlihat sangat bersahaja."
" Iya begitulah, banyak yang mengatakan seperti itu."
" Mama sudah tidak sabar ingin bertemu dengannya." Tanpa sadar, mama Arini menyematkan panggilan pribadi itu pada Marwah, padahal, Marwah bukanlah siapa siapa bagi Barra maupun mama Arini.
Entah karena mama Arini memang sengaja atau kelepasan, tapi Marwah terlihat risih.
*
*
London, Inggris
Rowan mengetuk pintu ruangan Arga.
" Kau sudah datang?"
" Iya , tuan."
" Bagaimana perjalanan mu?"
" Lancar , tuan."
" Syukurlah."
" Sudah makan?"
" Sudah tuan."
Arga tersenyum , berdiri dari kursinya dan menghampiri Rowan.
" Ternyata, kamu belum cukup pandai berbohong , Rowan. Ayo kita makan siang, aku juga belum sempat makan."
" Baik tuan."
Mereka berjalan beriringan, meskipun Rowan terlihat masih menjaga jarak dengan Arga.
Restoran mewah dengan layanan private dining menjadi pilihan Arga untuk makan siang mereka.
Tidak ada bodyguard, tidak ada pengawal, mereka hanya berdua .
Duduk berhadapan dengan sama sama diam, membuat atmosfir bumi terasa begitu damai. Rowan tidak akan berbicara sebelum Arga memintanya.
" Bagaimana penyelidikan mu? "
" Dugaan saya benar, tuan."
Arga menyesap secangkir teh hitam yang di suguhkan pelayan.
" Jadi benar, dari keluarga mana?"
" Nona Safa adalah salah satu cicit dari pendiri Brawijaya group."
Arga terkesiap, lalu menyimpan cangkir tehnya di atas meja.
" Tuan Lukman, maksud mu?"
" Iya, tuan."
Arga tersenyum simpul.
" Sambungkan aku dengan papa."
Rowan segera menelpon opa Alden .
Dari seberang terdengar suara serak nan berat. " Mmmm...kenapa!! Kau sudah punya pacar sampai menelpon ku?"
Arga tertawa...
" Papa di mana?"
" Sedang makan siang dengan kawan lama. Kau mau bergabung? "
" Tidak, terima kasih."
" Lalu apa ada hal yang penting? "
" Mmm...nanti saja, sore ini aku akan ke rumah."
" Ooo,, kau ingat pulang juga. Baiklah, aku menunggumu. Jangan terlalu malam, kau tau kan papamu ini sudah bau tanah."
" Baik, pa."
Sedikit kasar, opa Alden meletakkan telpon genggamnya di atas meja.
Opa Lukman terkekeh dengan sikap kekanak kanakan Opa Alden.
" Putra mu?"
Opa Alden mengangguk.
" Aku heran, kenapa yang kau carikan jodoh cucu mu sedangkan kau masih punya putra yang masih lajang?"
" Arga? Heh...aku tidak berniat sama sekali , terserah dia mau pilih yang mana aku tidak peduli."
" Kenapa?"
Opa Alden menghela nafas." Dia itu gila kerja, sudah banyak wanita anak teman ku yang aku kenalkan, semuanya di tolak mentah mentah." Kesalnya.
Opa Lukman tertawa terbahak-bahak." Jadi kau marah karena itu?"
" Dia anakku yang paling susah di atur." Ujarnya sembari menggelengkan kepala.
...****************...
d tunggu kelanjutan nya akan ada kejutan kan KA
lanjut thor.....gak papa arhan kelihatan baik tapi bejat.... tadinya dukung arhan skrg pindah dukung arga..
bisa langsung menyusul puzzle 😃👍🏻👍🏻
udah tau respon tubuhnya parah gitu kog pacaran bahkan sampai tunangan sama si pecicilan,
apa yg di harapkan klo sampai menikah?,kesentuh saja gatal2 dan muntah
apa bisa kelonan?
eh! 🤣🤣🤣🤣✌🏻🏃🏻🏃🏻🏃🏻
pasti nanti akan ada hubungannya 🤭
yg di sini para tetua sudah ada kesepakatan
yg di sana lagi proses "ta'aruffan" (tarik urat kesabaran)
😂
klo berani ngomong doonngggg
berani tidaaak????😂
ini niru siapa sieee Ara iniiii👍🏻💪🏻
si sumbu pendek