NovelToon NovelToon
Mr. Dark

Mr. Dark

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Single Mom / Cerai / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Cinta Seiring Waktu / Mengubah Takdir
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: El_dira

The Orchid dipimpin oleh tiga pilar utama, salah satunya adalah Harryson. Laki-laki yang paling benci dengan suasana pernikahan. Ia dipertemukan dengan Liona, perempuan yang sedang bersembunyi dari kekejaman suaminya. Ikuti ceritanya....


Disclaimer Bacaan ini tidak cocok untuk usia 18 ke bawah, karena banyak kekerasan dan konten ....

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El_dira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 14 Memasak

Liona mengusap alisnya, menyeka keringat yang membasahi wajahnya sambil mengamati ruangan yang kini bersih tanpa noda. Ruangan itu besar, gelap, dan suram—sama seperti Harry. Ruangan itu sangat cocok untuknya.

Kamar mandi yang terhubung dengan kamar itu sebenarnya cukup bersih. Meskipun begitu, Harry tetap lebih mirip orang yang berantakan daripada orang yang jorok. Liona mulai berpikir bahwa masalah utama Harry sebenarnya adalah tidak bisa merapikan barang, bukan karena dia tidak suka kebersihan.

Setelah selesai di ruangan itu, Liona beralih ke kamar tidur milik Mikael dan Lukas. Rasa sakit yang tajam di tulang rusuknya mulai kambuh, tetapi ia tetap melanjutkan pekerjaannya: membersihkan, mencuci, dan menyetrika. Hingga akhirnya sebuah pesan dari Harry masuk ke ponselnya, memberi tahu bahwa mereka akan pulang dalam dua jam. Dengan hampir seluruh lantai bawah sudah bersih, Liona memutuskan untuk menunda sisa pekerjaan sampai setelah makan malam.

Ia menatap dapur lalu melangkah masuk, tetapi pikirannya tidak fokus pada bahan makanan yang mungkin bisa digunakan untuk makan malam. Pikirannya langsung teralihkan oleh dinding seberang...

Matanya membelalak heran saat melihat banyaknya kue dan permen. Rak-rak di sana penuh dengan bungkusan warna-warni, masing-masing tampak menjanjikan kebahagiaan manis. Liona baru ingat bahwa Harry pernah mengatakan bahwa saudara-saudaranya memiliki enam anak. Itu menjelaskan semuanya.

Walau ia harus kembali fokus merencanakan makan malam, Liona tak bisa menahan diri untuk tidak berlama-lama di depan rak tersebut.

Karena kue adalah kelemahannya. Masalahnya. Tumit Achilles-nya. Kue adalah penghalang antara dirinya dan tubuh yang ramping serta ideal.

Ia tahu seharusnya ia berbalik dan bersumpah untuk tidak menatap rak itu lagi. Tapi kakinya tetap terpaku di tempat.

Kotak Twinkies yang berwarna cerah menarik perhatiannya. Bolu emas berisi krim lembut itu seperti memanggil namanya. Tangannya terulur tanpa sadar, menyentuh bungkus dingin itu. Ia nyaris bisa membayangkan rasa manisnya, lembutnya krim vanila yang meleleh di mulut.

Di sebelahnya ada Ding Dongs, kue cokelat isi krim putih yang tampak begitu mewah. Dan di sisi kanan, rak berderit karena berat berbagai macam cupcake Hostess. Lapisan cokelatnya berkilau di bawah cahaya dapur. Setiap cupcake tampak seperti karya seni, dengan hiasan putih ikonik di atasnya.

Deretan camilan Little Debbie tersusun rapi, dan Zebra Cakes dengan pola garis-garis cokelat menarik perhatiannya. Liona mengambil sebuah kotak, merasakan kemasan itu seperti sudah sangat akrab di tangannya, membayangkan gigitan pertamanya—

Kue yang lembut berpadu dengan krim manis di tengah. Lapisan cokelat menambah rasa yang kaya dan nikmat.

Semua ini terasa seperti harta karun manis. Ia bahkan nyaris bisa mencium aroma menggoda dari kalori-kalori yang tersembunyi dalam setiap bungkus kecil itu.

Dan satu kata itu—kalori—membangunkannya dari mimpi manis. Kata itu melingkupinya seperti bisikan jahat. Karena semua makanan enak itu terlarang. Liona sedang diet. Ia selalu diet. Ia bahkan tak ingat kapan terakhir ia tidak menghitung setiap kalori yang masuk ke tubuhnya—entah saat hari makan berlebih atau hari puasa.

Tapi kuenya terlihat sangat lezat. Perutnya keroncongan, seakan ikut mengkhianatinya. Ia pernah mengalami hal ini sebelumnya, dan hasilnya tidak pernah baik.

Liona memeluk dirinya sendiri, seperti ingin menahan tangan agar tidak bergerak mengambil kue. Ia mengingat janji-janji yang sering ia buat pada dirinya sendiri setiap malam sebelum tidur.

Ini bukan hanya soal kue. Tapi soal perasaan yang datang saat memakannya. Kebahagiaan sesaat yang membanjiri indra—dan pelarian singkat dari semua masalah.

Namun kebahagiaan itu cepat berlalu, digantikan rasa bersalah dan benci pada diri sendiri yang bertahan lebih lama daripada rasa manisnya. Ia tahu siklus itu, terlalu akrab dengannya.

Ia memejamkan mata dan menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. Ia membayangkan versi dirinya yang ideal—langsing, percaya diri, sehat, dan cantik. Versi itu tidak akan melirik rak kue dua kali, dia akan berbalik dan pergi tanpa ragu.

Tapi versi itu terasa sangat jauh. Hampir seperti orang asing.

Liona memeriksa jam dan memaksa dirinya menjauh dari rak. Ia harus mempertahankan pekerjaan ini. Ia harus mengumpulkan cukup uang agar bisa membawa Akram pergi, selamanya.

Makan malam. Masih banyak yang harus dilakukan. Ia memilih sesuatu yang sederhana: steak, kentang goreng buatan sendiri, dan salad segar.

Saat mengupas dan memotong kentang, pandangannya melayang ke counter top dapur. Rasa rindu yang tajam menyayat dadanya. Ia membayangkan Akram duduk di sana, mewarnai sambil menunggunya menyiapkan makanan. Jantungnya berdebar keras, dan ia hampir memotong jarinya sebelum berhasil mengusir perasaan itu dan kembali fokus.

Aroma makanan memenuhi dapur dan membuat air liurnya menetes. Salad segar dengan saus buatan sendiri, steak yang mulai matang, dan kentang goreng yang berdesis di wajan. Perutnya menggeram. Ia belum makan banyak selama beberapa hari terakhir, dan ini bukan makanan untuknya.

Ia mengeluarkan piring dan menata meja. Piring terakhir dan serbet nyaris jatuh dari tangannya saat pintu depan terbuka.

Liona menarik kaus putihnya yang agak naik dari pinggangnya. Tangannya basah dan gemetar saat ia kembali ke meja untuk membersihkan sisa piring.

Ia mendengar seseorang masuk ke kantor, lalu langkah kaki lain menaiki tangga.

Hidangan penutup. Oh tidak. Ia lupa membuatnya.

“Sial,” gumamnya pelan. Suaranya menggema di ruang yang tenang. Kain flanel terjatuh ke air sabun panas dan busanya mengenai dagu serta kausnya. Ia buru-buru mengepel wajahnya dengan satu tangan, sementara tangan satunya mencari spons di dalam air.

Rasa takut mencengkeramnya. Ia berdiri kaku agar tidak pingsan di hari pertamanya. Tapi ia tahu—ia sudah mengacaukannya.

Beberapa menit kemudian, suara langkah kaki mendekat ke dapur. Ia langsung mulai menyusun piring di meja. Tapi suara mereka langsung terhenti.

Sebuah suara rendah menggeram. Liona berbalik.

“Sialan siapa kamu?”

Darah langsung surut dari wajahnya.

Dua pria berdiri di sana, mengenakan jas hitam dan kemeja formal, menatapnya tajam. Pria yang lebih tua pasti adalah Mikael. Liona tidak bisa menemukan suaranya saat mata gelap Mikael menyipit ke arahnya.

Pria satunya, yang pasti Lukas, memiringkan kepala dan menyilangkan tangan di dada. “Dia menanyakan sesuatu padamu,” gerutunya.

Dinding seolah menyempit, menekan dirinya perlahan. Mata Mikael mengawasinya seperti pemangsa.

“Aku…” Liona tersedak. Mulutnya terbuka, seperti ikan yang kehabisan napas. Tangan besar Mikael menghantam meja dapur.

1
via☆⁠▽⁠☆人⁠*⁠´⁠∀⁠`。⁠*゚⁠+
mampir kakak /Hey/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!