NovelToon NovelToon
Legend Of The Sky Devourer-Kunpeng Terakhir

Legend Of The Sky Devourer-Kunpeng Terakhir

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Epik Petualangan / Fantasi
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: Alvarizi

Di Desa Fuyun yang terkubur salju, Ling Tian dikenal sebagai dua hal yakni badut desa yang tak pernah berhenti tertawa, dan "Anak Pembawa Sial" yang dibenci semua orang.

Tidak ada yang tahu bahwa di balik senyum konyol dan sikap acuh tak acuh itu, tersimpan jiwa yang lelah karena kesepian dan... garis darah monster purba yang paling ditakuti langit yakni Kunpeng.

Enam puluh ribu tahun lalu, Ras Kunpeng musnah demi menyegel Void Sovereign, entitas kelaparan yang memangsa realitas. Kini, segel itu retak. Langit mulai berdarah kembali, dan monster-monster dimensi merangkak keluar dari bayang-bayang sejarah.

Sebagai pewaris terakhir, Ling Tian dipaksa memilih. Terus bersembunyi di balik topeng humornya sementara dunia hancur, atau melepaskan "monster" di dalam dirinya untuk menelan segala ancaman.

Di jalan di mana menjadi pahlawan berarti harus menjadi pemangsa, Ling Tian akan menyadari satu hal yakni untuk menyelamatkan surga, dia mungkin harus memakan langit itu sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alvarizi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 20: Boneka Matahari Hitam

Matahari sore menggantung rendah di ufuk barat, warnanya merah pekat seperti luka yang menganga di langit. Cahayanya yang sekarat menyinari kawah batu Arena Pedang Langit, mengubah bayangan para peserta menjadi siluet panjang yang menyeramkan.

Udara di dalam kawah terasa berat, seolah-olah gravitasi di tempat ini dua kali lipat lebih kuat dari dunia luar. Debu sisa pertarungan massal masih melayang di udara, berkilauan ditimpa cahaya senja, bercampur dengan aroma anyir darah kering dan tetesan keringat dingin.

Gong tanda berakhirnya babak penyisihan telah berhenti bergema satu jam yang lalu, namun ketegangan justru semakin memuncak.

Dari ratusan peserta yang memadati arena di pagi hari, kini hanya tersisa 40 orang.

Mereka berdiri dalam satu barisan panjang di tengah arena. Beberapa dari mereka membalut luka dengan kain seadanya, beberapa lainnya mengatur napas dengan teknik pernapasan khusus, mencoba memulihkan Qi yang terkuras.

Di barisan paling belakang, Ling Tian berdiri dengan mata terpejam. Dia menopang tubuhnya pada Embrio Pedang Void yang kembali terbungkus kain goni kasar di punggungnya. Dia tidak sedang bermeditasi melainkan tengah mendengarkan sesuatu.

Telinganya menangkap suara detak jantung peserta lain. Dug-dug... Dug-dug... Ada suara detak jantung yang cepat karena panik, ada juga ritme lambat karena tenang.

"Babak Eliminasi..." gumam Ling Tian, membuka matanya perlahan. Pupilnya menyipit vertikal, menyesuaikan diri dengan cahaya merah senja.

Di depannya, seorang Tetua Jubah Hitam dari Divisi Dalam berjalan naik ke panggung utama. Langkah kakinya tidak bersuara, jubahnya menyapu lantai batu.

Di kedua tangannya, Tetua itu membawa sebuah benda yang membuat seluruh arena menahan napas.

Sebuah Kotak Batu Giok Putih.

Permukaan kotak itu dipenuhi ukiran rune penyegel berwarna emas yang berdenyut pelan. Aura yang dipancarkannya begitu kuat hingga membuat udara di sekitarnya berdistorsi. Itu adalah Spirit Lock Seal tingkat tinggi.

"PENGUNDIAN BABAK ELIMINASI DIMULAI!"

Suara Tetua itu berat dan serak, diperkuat oleh formasi suara sehingga terdengar seperti guntur yang menggulung tepat di telinga setiap orang.

"Aturannya hanya satu yakni sebuah pertandingan satu lawan satu. Jika menang otomatis lanjut ke babak berikutnya, dan jika kalah otomatis gugur dan tidak ada hasil seri. Jika kedua petarung tidak sadarkan diri, keduanya akan dieliminasi."

Tetua itu mengangkat kotak giok tinggi-tinggi.

"Kotak ini anti-Qi. Bahkan Divine Sense seorang Tetua pun tidak bisa menembusnya. Nasib kalian ditentukan oleh tangan kalian sendiri. Maju satu per satu, lalu ambil bola lilin didalanya kemudian pecahkan, dan serahkan nomornya pada panitia!"

Suasana menjadi menegang.

"Peserta pertama, maju!"

Satu per satu peserta berjalan ke depan. Kebanyakan wajah mereka berwajah tegang. Tangan mereka gemetar saat dimasukkan ke dalam lubang hitam kecil di atas kotak giok itu. Bunyi krek saat bola lilin dipecahkan terdengar sangat nyaring di kesunyian arena.

"Nomor 12!"

"Nomor 5!"

"Nomor 33!"

Giliran Ling Tian tiba.

Dia melangkah santai menuju Tetua itu. Langkah kakinya mantap, kontras dengan peserta sebelumnya yang terlihat seperti berjalan menuju tiang gantungan.

Saat dia berdiri di depan Tetua Jubah Hitam itu, Ling Tian bisa mencium bau dupa tua dari jubah sang Tetua. Tetua itu tidak menatapnya, wajahnya tersembunyi di balik sebuah tudung, hanya menyisakan dagu pucat yang tampak kaku.

Ling Tian memasukkan tangan kanannya ke dalam kotak gelap itu.

Di dalamnya, jari-jarinya menyentuh puluhan bola lilin seukuran telur ayam yang bertumpuk. Semuanya terasa sama. Halus, bulat, dan hangat karena suhu ruangan di dalam kotak tersebut.

Ling Tian mengaduk pelan, mencari secara acak. Namun, saat jari telunjuknya menyapu bagian dasar kotak di sudut kiri, insting Kunpeng-nya tiba-tiba berkedut.

Ada yang aneh.

Ada satu bola yang berbeda. Bukan dari segi bentuknya melainkan dari suhunya. Bola itu terasa sedikit lebih dingin dari yang lain. Perbedaannya sangat tipis, mungkin kurang dari setengah derajat, mustahil dirasakan oleh kulit manusia biasa.

Tapi bagi Ling Tian yang telah ditempa darah monster purba, perbedaan itu terasa seperti menyentuh bongkahan es di tengah air hangat.

Dan bukan hanya terasa disuhu saja. Ada juga jejak getaran Qi asing yang sangat halus menempel padanya, seperti benang tak kasat mata yang seolah-olah 'memanggil' tangannya untuk mengambil bola itu.

'Jebakan?' batin Ling Tian. Sudut bibirnya terangkat tipis. 'Seseorang telah menandai bola ini. Mereka ingin memastikan aku mendapatkan nomor tertentu.'

Pikiran rasionalnya seakan berkata, 'Hindari. Ambil yang lain.' Tapi jiwa pemangsanya berbisik lain, 'Jika musuh sudah susah payah memasak hidangan khusus, tidak sopan kalau ditolak begitu saja.'

Ling Tian menyeringai. Dia tidak menghindarinya, dia justru mencengkeram bola dingin itu dengan kuat. Kemudian dia segera menarik tangannya keluar.

Tetua Jubah Hitam itu sedikit tersentak, sebuah gerakan yang sangat kecil, tapi tertangkap oleh mata Ling Tian.

KREK.

Ling Tian meremas bola lilin itu hingga hancur di genggamannya. Serpihan lilin jatuh ke lantai, menyisakan gulungan kertas kecil. Dia membukanya, membacanya sekilas, lalu menunjukkannya pada panitia pencatat.

"Nomor 2," kata Ling Tian tenang.

Panitia mencatatnya. Tetua Jubah Hitam itu melirik Ling Tian sekilas, lalu mengangguk kaku, memberi isyarat agar dia segera minggir.

Ling Tian berjalan ke area tunggu peserta di sisi kiri panggung. Dia bersandar di dinding batu, memutar-mutar sisa lilin dingin di jarinya. Matanya menyapu kerumunan peserta lain di sisi kanan, mencari siapa pemilik "Nomor 2" lainnya.

Namun, semua peserta memasang wajah tegang, sibuk dengan pikiran masing-masing.

Beberapa menit kemudian, pengundian selesai.

Wasit Utama, seorang pria paruh baya dengan bekas luka bakar di lehernya naik ke tengah panggung.

"PERTANDINGAN PERTAMA!" teriaknya.

"Zhang Hu (Nomor 1) dari Puncak Batu... Melawan... Liu Mei (Nomor 1) dari Puncak Angin!"

Dua orang murid segera maju ke tengah arena.

Zhang Hu adalah raksasa berotot setinggi dua meter. Dia tidak memakai baju atasan, memamerkan otot dadanya yang tampak berminyak. Di punggungnya terikat sepasang kapak besi ganda yang terlihat berat.

Lawannya, Liu Mei, adalah kebalikannya. Seorang gadis bertubuh mungil dan nyaris rapuh. Dia memegang sepasang pedang pendek yang berkilau kehijauan.

"Mulai!" teriak wasit.

TRANG!

Pertarungan pecah seketika.

Zhang Hu meraung, mengayunkan kapaknya secara horizontal. "Hahaha! Pulanglah untuk mencuci baju, Nona!"

Angin dari ayunan kapak itu begitu kuat hingga menciptakan tekanan udara yang terlihat. Jika kena, tubuh Liu Mei pasti akan terbelah dua.

Namun sesuai bentuk tubuhnya, Liu Mei bergerak lincah. Dia meliuk seperti ular air, menunduk di bawah lintasan kapak itu, lalu menerjang masuk ke pertahanan Zhang Hu yang terbuka.

Srat! Srat!

Dua garis merah muncul di paha dan lengan Zhang Hu.

"Kau lambat!" ejek Liu Mei, melompat mundur.

Zhang Hu meraung marah. Dia menebas dengan membabi buta, menghancurkan lantai panggung. Puing batu mulai beterbangan. Tapi Liu Mei selalu selangkah lebih cepat. Dia menyayat, melangkah mundur, lalu menyayat lagi.

Lima menit telah berlalu. Zhang Hu sudah bermandikan darah. Napasnya mulai memburu.

"Selesai," bisik Ling Tian dari pinggir lapangan.

Zhang Hu melakukan satu kesalahan fatal. Dia mengangkat kedua kapaknya untuk sebuah serangan pemungkas, membuka seluruh bagian perutnya.

Liu Mei tentu tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dia melesat masuk.

CRAAAK!

Bukan ke bagian perut. Dia menebas tendon di belakang lutut kanan Zhang Hu.

"ARGHHH!"

Raksasa itu jatuh berlutut, meraung kesakitan. Sebelum dia bisa bangkit, Liu Mei berputar dan menendang wajahnya dengan tumit yang dialiri Qi.

BUK!

Zhang Hu ambruk, pingsan dengan hidung yang patah.

"Pemenang Liu Mei!" seru wasit.

Sorak sorai penonton membahana. "Bagus! Kejam sekali!"

Petugas medis bergegas masuk, mengangkut tubuh besar Zhang Hu seperti mengangkut bangkai sapi. Darah segar menggenang di lantai batu, lalu segera disiram air oleh petugas kebersihan.

Itu adalah pertarungan yang brutal. Tapi... wajar. Dikarenakan dua kekerasan antar manusia yang bisa dipahami logika. Diantara lepasan salah satu teknik yang dikeluarkan pasti ada salah satu yang kalah, dan tentunya juga ada darah diantaranya.

Namun, saat petugas selesai membersihkan lantai, Ling Tian merasakan bulu kuduk di tengkuknya berdiri tegak.

Perasaan ini... sama seperti saat dia berada di depan pintu Gua Angin Ratapan.

"PERTANDINGAN KEDUA!"

Wasit melihat catatan di tangannya. Dia berhenti sejenak, mengernyitkan dahi seolah bingung membaca nama di sana.

"Ling Tian (Nomor 2)..."

Seluruh stadion yang tadinya riuh mendadak senyap. Nama "Si Jagal" sudah menjadi legenda urban dalam tiga hari terakhir. Semua mata tertuju pada Ling Tian yang melangkah maju, menyeret langkah kakinya dengan santai.

"...melawan Han Mo (Nomor 2) dari... Divisi Timur?" lanjut wasit.

Ling Tian berhenti di tengah arena. Dia tengah menunggu. Dari lorong gelap di seberang arena terdapat lorong yang jarang dipakai karena letaknya di sudut yang lembap dan sesosok tubuh berjalan keluar.

Pemuda itu kurus kering, tinggi, dan membungkuk parah. Jubah murid luarnya kedodoran, kotor oleh tanah dan lumpur. Rambut hitam panjangnya kusut masai, menutupi seluruh wajahnya hingga tak terlihat.

Dia berjalan dengan langkah yang salah.

Sret... tap... sret... tap...

Kaki kirinya diseret, seolah-olah sendi lututnya tidak berfungsi.

Penonton mulai berbisik-bisik.

"Itu Han Mo? Aku tidak pernah melihatnya."

"Kenapa dia jalan begitu? Apa dia sedang sakit?"

Ling Tian tidak peduli dengan cara jalannya. Matanya yang tajam terpaku pada dada Han Mo.

Tidak ada pergerakan didalam dadanya, hanya berdenyut diam, juga tidak ada uap panas yang seharusnya ada didalam dadanya. Dan di telinga Ling Tian yang sensitif, tidak terdengar suara detak jantung sedikitpun.

Yang tercium hanyalah bau aneh yang terbawa hembusan angin. Bau tanah kuburan yang basah, dicampur dengan aroma manis bunga kamboja yang layu. Bau yang digunakan untuk menutupi sesuatu yang busuk.

"Boneka Mayat," bisik Tuan Kun, suaranya terdengar jijik dan waspada di kepala Ling Tian. "Anak itu sudah mati. Jiwanya sudah pergi. Tubuh itu sudah kosong tapi juga 'penuh' , Ling Tian."

Ling Tian merasakan tangannya yang memegang bungkusan pedang menjadi dingin.

"Jadi ini hidangan spesialnya," gumam Ling Tian. "Boneka mayat hidup."

Han Mo naik ke panggung dengan susah payah, seolah setiap langkahnya adalah perjuangan melawan kekauan mayat . Dia berdiri sepuluh langkah di depan Ling Tian. Kepalanya tertunduk lemas, dagunya menempel di dada.

"Wasit," panggil Ling Tian tanpa menoleh, matanya tetap terkunci pada Han Mo. "Kau yakin dia lolos tes kesehatan? Dia bahkan tidak bernapas."

Wasit utama melangkah mendekat, ragu-ragu. Dia menatap Han Mo. "Peserta Han Mo? Kau bisa mendengarku?"

Tidak ada jawaban. Han Mo hanya berdiri bergoyang pelan ditiup angin.

"Dia berdiri. Dia memegang senjata..." Wasit menunjuk pisau belati berkarat di tangan Han Mo. "... secara aturan dia sah dan lolos."

Wasit mundur cepat-cepat, seolah ingin menjauh dari bau Han Mo. Dia segera mengangkat tangan.

"MULAI!"

Detik itu juga, ilusi "lemah" Han Mo pecah.

KREK!

Kepala Han Mo yang tertunduk tiba-tiba patah ke atas dengan kecepatan yang tidak wajar. Tulang lehernya berbunyi mengerikan. Rambutnya tersibak, memperlihatkan wajahnya.

Ling Tian menahan napas.

Wajah itu berwarna abu-abu. Bibirnya berwarna biru lebam. Dan matanya... tidak ada bagian putihnya. Seluruh bola matanya tampak hitam pekat, seperti lubang tanpa dasar. Mulutnya terbuka lebar, merobek sudut bibirnya.

"Wadah..."

Suara itu keluar tanpa pergerakan lidah. Sebuah suara gesekan udara kering dari perut yang sudah mulai membusuk.

"Telah ditemukan..."

BOOM!

Aura hitam meledak dari punggung Han Mo. Itu bukan Qi manusia yang seharusnya, tapi Qi Mayat (Corpse Qi) yang pekat.

Han Mo menghilang dari pandangan.

"Cepat!" batin Ling Tian kaget.

Ini bukan sekadar kecepatan otot. Mayat tidak punya otot yang berfungsi. Han Mo digerakkan oleh tali-tali energi tak kasat mata, ditarik dan dilempar seperti boneka perca.

WUSH!

Han Mo muncul tepat di samping kanan Ling Tian. Dia tidak menapak tanah, dia melayang sepuluh senti di atas lantai.

Tangan kanannya yang kurus pucat menyambar leher Ling Tian. Kuku-kukunya memanjang lima senti, hitam legam, dan meneteskan cairan hijau.

Ling Tian bereaksi dengan insting murninya. Dia tidak sempat menarik pedangnya. Dia mengangkat lengan kirinya, lengan yang kini telah menjadi tulang besi nya untuk memblokir serangan tersebut.

SRAAAT!

Suara seperti besi digores kikir terdengar ngilu.

Ling Tian terpental mundur tiga langkah. Dia melihat lengannya. Lengan bajunya telah robek. Di kulitnya yang sekeras baja, terdapat tiga goresan dalam.

Darah mulai menetes. Tapi darah itu tidak berwarna merah. Darah itu langsung berubah menjadi ungu dan mendesis.

Cesss...

"Racun korosif," desis Ling Tian, merasakan sensasi terbakar yang menjalar cepat ke pembuluh darahnya. Dia segera mengalirkan darah emas Kunpeng ke area itu untuk menahan penyebaran racun.

Penonton menjerit. "Apa itu?! Dia bukan manusia!"

Di tribun VIP, para Tetua berdiri serentak. Wajah mereka berubah serius.

Han Mo tidak memberi jeda. Dia mendarat di tanah dengan posisi merangkak, tangan dan kakinya tertekuk ke arah yang salah, lututnya menekuk ke depan, sikunya ke belakang. Layaknya laba-laba manusia.

Dia melompat lagi. Kali ini mengincar wajah Ling Tian.

"MATI!"

Ling Tian tidak mundur lagi. Rasa sakit di lengannya memicu amarahnya.

"Kau mau main kasar, Mayat?"

Ling Tian mencengkeram kain pembungkus di punggungnya.

SREEET!

Kain goni itu robek, memperlihatkan Embrio Pedang Void. Batang besi hitam raksasa itu menyerap cahaya matahari, layaknya lubang hitam berbentuk pedang.

Ling Tian mengayunkan pedang itu secara horizontal.

"Hancur kau!" teriak Ling Tian.

BUAAAAGH!

Hantaman itu jatuh telak. Pedang raksasa Ling Tian menghantam tulang rusuk Han Mo di udara.

Suara tulang hancur terdengar sangat keras, seperti dahan pohon kering yang diinjak gajah. Tubuh Han Mo terlipat dua, terpental menabrak tiang batu di pinggir arena.

BLAR!

Tiang batu itu retak. Han Mo-pun jatuh terkapar. Tulang punggungnya jelas sudah patah. Tangannya-pun bengkok. Lehernya juga telah memiring aneh.

"Selesai," Ling Tian menurunkan pedangnya, napasnya sedikit memburu.

Tapi Tuan Kun berteriak.

"BELUM! DIA TIDAK BISA MERASAKAN SAKIT! HANCURKAN KEPALANYA!"

Dari tumpukan debu di pinggir arena, terdengar suara krek-krek-krek yang membuat penonton menutup telinga.

Tubuh Han Mo yang hancur... mulai bergerak. Tulang-tulangnya bergeser paksa, menyambung kembali dengan posisi asal-asalan. Dia berdiri lagi. Salah satu tangannya telah putus, tapi dia tidak peduli. Dia memiringkan kepalanya yang lehernya masih patah, menatap Ling Tian dengan mata hitam kosong itu.

"Wadah... Kunpeng..."

Ling Tian membeku. Makhluk itu bicara. Dia juga tahu identitasnya.

Tiba-tiba, tubuh Han Mo mulai bergetar. Kulit abu-abunya berubah warna menjadi ungu gelap. Urat-urat hitam menyebar liar di seluruh tubuhnya. Perutnya membengkak seperti balon gas yang dipompa terlalu penuh.

Bau busuk yang luar biasa menyebar ke seluruh arena.

"BOM MAYAT!" teriak Tuan Kun histeris. "DIA MAU MELEDAKKAN DIRI! Itu 'Poison Corpse Explosion'! Ledakannya akan menyebarkan racun mayat dalam radius 50 meter! Siapa pun yang menghirupnya akan membusuk dalam hitungan detik!"

Wasit di pinggir lapangan menyadari bahaya itu. Wajahnya pucat pasi.

"SEMUA MUNDUR! PASANG PERISAI!"

Penonton di barisan depan lari tunggang langgang, mulai saling injak. Peserta lain di pinggir lapangan terpaku ketakutan.

Ling Tian melihat sekeliling. Waktu seolah melambat.

Dia bisa lari dengan teknik *Ghost Flicke*r step-nya, dia bisa keluar dari radius ledakan itu dalam dua detik.

Tapi jika dia lari, racun itu akan membunuh puluhan peserta lain, wasit, dan mungkin menyebar ke tribun penonton di mana teman-teman sedesanya sedang menonton.

Dan yang lebih buruk lagi jika Han Mo meledak, bukti keterlibatan Sekte Matahari Hitam akan hilang tanpa bekas.

"Sialan," umpat Ling Tian. "Kenapa aku harus jadi pahlawan disaat begini?"

Dia tidak lari menjauh melainkan berlari menuju bom manusia itu.

"DIA GILA!" teriak seseorang dari tribun VIP, suara itu terdengar seperti Xueya.

Ling Tian melompat tinggi. Dia membalikkan pedang raksasanya, ujung tumpulnya mengarah ke bawah.

Dia mendarat tepat di depan Han Mo yang sudah menggembung mengerikan.

"Makan ini!"

Ling Tian menusukkan pedang itu ke dada Han Mo.

[Void Art: Devour - Weapon Channeling]

JLEB!

Detik di mana pedang itu menembus dada Han Mo, tubuh mayat itu meledak.

BOOOM—

Tapi ledakan itu tidak terdengar keluar.

WOOOONG!

Sebuah pusaran hitam muncul di bilah pedang Ling Tian. Daya hisap yang mengerikan seperti tarikan gravitasi bintang mati muncul dari logam Abyss itu.

Ledakan Qi beracun, cairan tubuh, dan energi jahat yang seharusnya menghancurkan arena, ditarik paksa masuk ke dalam pedang.

Pedang itu bergetar liar di tangan Ling Tian.

"Argh!" Ling Tian menggertakkan gigi dikarenakan terasa sangat panas.

Gagang pedang itu memanas hingga membakar telapak tangan Ling Tian. Kulitnya melepuh, bau daging terbakar tercium.

Energi mayat itu mencoba menolak, mencoba meledak pada saat itu juga. Ling Tian harus menahannya dengan kekuatan fisik dan mental murni.

"TELAN... SEMUANYA!"

SLUUURP.

Suara hisapan basah terdengar.

Tubuh Han Mo yang membengkak menyusut drastis. Dia layu, mengering seperti mumi, lalu hancur menjadi debu abu-abu.

Seekor kelabang hitam gemuk dengan simbol mata satu di kepalanya merayap keluar dari sisa debu itu, menjerit melengking, lalu ikut tersedot masuk ke dalam pedang dan hancur menjadi asap.

Suasana seketika menjadi hening.

Ling Tian berdiri di sana, di tengah kepulan uap panas tersebut. Pedang raksasanya kini berwarna merah bara, dan perlahan kembali menjadi hitam. Asap tipis keluar dari bilahnya.

Tangan Ling Tian gemetar, darah dan nanah luka bakar menetes dari telapak tangannya yang memegang gagang pedang itu.

Dia berhasil, dia menelan ledakan itu.

Wasit gemetar, melangkah maju dengan hati-hati, menatap tumpukan debu yang tersisa.

"P-pemenang..." suaranya tercekat. "...LING TIAN!"

Ling Tian tidak bersorak. Dia mencabut pedangnya, menyandarkannya di bahu yang tidak terluka.

Dia mendongak ke arah tribun VIP yang sunyi senyap. Matanya yang tajam menyapu barisan Tetua, mencari siapa pun yang terlihat tidak terkejut.

Di sudut gelap tribun paling atas, dia melihat sekilas jubah hitam yang bergerak pergi.

Ling Tian meludah ke tanah. Ludah yang bercampur darah.

"Pesan diterima," gumamnya.

Dia berjalan turun dari panggung, mengabaikan rasa sakit di tangannya.

Peserta lain menyingkir memberinya jalan. Kali ini, tatapan mereka bukan lagi tatapan mengejek. Tatapan mereka penuh dengan rasa takut dan hormat yang mendalam. Mereka baru saja melihat seseorang menjinakkan bom dengan tangan kosong.

Saat Ling Tian mencapai lorong keluar, dia berpapasan dengan Jiang Wuqing yang akan bersiap untuk pertandingan selanjutnya.

Jiang Wuqing berhenti sejenak. Dia tidak menoleh, tapi dia berbicara pelan.

"Itu tadi Gu Hitam," kata Jiang Wuqing, suaranya dingin dan serius. "Teknik terlarang dari Selatan. Orang yang mengirimnya... menginginkanmu mati dengan cara yang menyakitkan."

"Aku tahu," jawab Ling Tian tanpa berhenti.

"Jaga diri, Ling Tian," tambah Jiang Wuqing. "Aku ingin melawanmu di final. Bukan melawan mayatmu."

Ling Tian menyeringai tipis, meski wajahnya telah pucat.

"Tenang saja, Tuan Muda. Aku ini susah mati."

Ling Tian menghilang ke dalam kegelapan lorong, meninggalkan arena yang masih shock.

Turnamen ini baru saja berubah. Ini bukan lagi sebuah kompetisi olahraga. Ini adalah medan perang, dan musuh baru saja melepaskan tembakan pertamanya.

1
Sutono jijien 1976 Sugeng
👍👍👍👍
Sutono jijien 1976 Sugeng
siapa predator puncak 😁😁😁
Sutono jijien 1976 Sugeng
si fang yu hanya jadi badut ,yg Tak tahu apa apa 🤣🤭
Anonymous
Ga kerasa cepet banget udh abis aja 😭
Anonymous
Whooa, apakah sekte matahari hitam itu keroco yang ditinggalkan seberkas kehadiran void Sovereign pada bab prolog?
Renaldi Alvarizi: Hehe mohon dinantikan kelanjutan ceritanya ya
total 1 replies
Anonymous
Alur ceritanya makin kesini makin meningkat, tetap pertahankan
Renaldi Alvarizi: Terimakasih kawan Kunpeng 😁
total 1 replies
Anonymous
up thor
Anonymous
Hahaha Ling Tian punya budak pertamanya
Anonymous
Haha akhirnya badut yang sebenarnya 'Li Wei' mokad juga
Anonymous
Ceritanya bagus, besan dengan yang lain seperti titisan naga, phoenix dsb. Semoga tetap konsisten updatenya.
Joe Maggot Curvanord
kenapa xinxin penyimpanan ataw barang berharga musuh tidak di ambil
Renaldi Alvarizi: Hehe sudah kok kak yang akan digunakan untuk keperluan di bab mendatang namun saya memang lupa memasukkan atau menjelaskannya didalam cerita. Terimakasih atas sarannya.
total 1 replies
Sutono jijien 1976 Sugeng
semoga semakin berkembang ,dan bukan di alam fana ,naik ke alam atas
Renaldi Alvarizi: Hehe tunggu saja kelanjutannya bersama dengan Ling Tian dan Tuan Kun ya kak hehe
total 1 replies
Sutono jijien 1976 Sugeng
belagu si fang yu
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!