Han Qiu, seorang penggemar berat street food, tewas akibat keracunan dan bertransmigrasi ke dalam tubuh Xiao Lu, pelayan dapur di era Dinasti Song. Ia terkejut mendapati Dapur Kekaisaran dikuasai oleh Chef Gao yang tiran, yang memaksakan filosofi 'kemurnian'—makanan hambar dan steril yang membuat Kaisar muda menderita anoreksia. Bertekad bertahan hidup dan memicu perubahan, Han Qiu diam-diam memasak hidangan jalanan seperti nasi goreng dan sate. Ia membentuk aliansi dengan Kasim Li dan koki tua Zhang, memulai revolusi rasa dari bawah tanah. Konfliknya dengan Chef Gao memuncak dalam tuduhan keracunan dan duel kuliner akbar, di mana Han Qiu tidak hanya memenangkan hati Kaisar tetapi juga mengungkap kejahatan Gao. Setelah berhasil merestorasi cita rasa di istana, ia kembali ke dunia modern dengan misi baru: memperjuangkan street food yang lezat sekaligus higienis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laila ANT, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana Bubur Penyelamatan
Tali sutra merah itu, seperti seutas pembuluh darah yang menolak mati, masih mencuat dari celah lantai. Jantung Han Qiu serasa berhenti berdetak. Dengan satu dorongan terakhir yang putus asa, ia menekan gulungan itu dengan tumitnya.
Ada bunyi retak pelan dari papan kayu yang lapuk. Gulungan itu lenyap, ditelan kegelapan di bawah lantai, tepat saat bayangan besar Kasim Kepala menutupi pintu barak.
"Apa kau tuli, hah?!" bentak Kasim Kepala, napasnya yang berat mendahului langkahnya.
"Aku memanggilmu tiga kali!"
Han Qiu melompat berdiri, menepuk-nepuk debu dari bajunya, berusaha agar wajahnya tidak menunjukkan kepanikan yang membakar isi perutnya.
"Maaf, Kasim Kepala. Hamba... hamba kurang tidur."
Mata kecil kasim itu memicing, memindai Han Qiu dari atas ke bawah.
"Kurang tidur atau sedang merencanakan sesuatu? Cepat! Ikut aku. Chef Gao sendiri yang memberimu tugas."
Jantung Han Qiu yang baru saja mulai tenang kembali berdebar kencang. Chef Gao? Tugas langsung darinya? Ini buruk. Ini sangat buruk.
Ia mengikuti langkah berat Kasim Kepala dalam diam, melintasi halaman yang mulai diterangi cahaya fajar yang pucat. Udara pagi terasa dingin dan tajam, menusuk kulitnya. Mereka tiba di dapur utama.
Suasananya berbeda dari dapur belakang yang kacau. Di sini, semuanya berkilauan. Panci-panci tembaga digosok hingga memantulkan cahaya lampu minyak. Lantai batunya disikat bersih tanpa noda. Aroma yang ada bukanlah aroma masakan, melainkan aroma steril dari air sabun dan cuka pembersih.
Chef Gao berdiri di tengah ruangan, punggungnya lurus seperti penggaris. Ia tidak menoleh saat mereka masuk.
"Kau terlambat," katanya, suaranya dingin dan datar.
"Mohon ampun, Chef Gao," Han Qiu menunduk dalam-dalam.
"Tidak akan terulang lagi."
"Tentu saja tidak akan," balas Gao, akhirnya membalikkan badan. Matanya yang tajam seolah menelanjangi Han Qiu.
"Karena mulai hari ini, kau yang akan menyiapkan bubur pagi Yang Mulia. Di bawah pengawasanku langsung."
Han Qiu membeku. Bubur Kaisar. Hidangan paling suci, paling steril, dan paling penting di seluruh istana. Ini bukan tugas. Ini adalah tali gantungan yang disamarkan sebagai sebuah kehormatan. Satu kesalahan kecil—sebutir debu, sehelai rambut—dan riwayatnya akan tamat.
"Anda... Anda yakin, Chef Gao?" tanyanya ragu.
"Apa aku terlihat seperti orang yang tidak yakin?" Chef Gao menunjuk ke sebuah meja marmer yang kosong.
"Beras sudah dicuci tujuh kali. Air sudah disaring melalui tiga lapis kain sutra. Panci perak sudah disterilkan dengan air mendidih. Tugasmu hanya satu: aduk. Jangan berhenti. Jangan terlalu cepat. Jangan terlalu lambat. Dan jangan sampai ada kerak sedikit pun. Mengerti?"
"Mengerti, Chef Gao," jawab Han Qiu, suaranya nyaris tak terdengar.
Ini jebakan. Han Qiu tahu itu. Gao ingin mengawasinya dari dekat. Ia ingin mencari kesalahan, sekecil apa pun, untuk menyingkirkannya. Namun, saat Han Qiu menatap panci perak yang berkilauan itu, sebuah pikiran gila lain muncul. Ini bukan hanya jebakan.
Ini adalah panggung utama. Ini adalah kesempatan emas yang disodorkan langsung oleh musuhnya.
Ia harus bergerak cepat. Sangat cepat.
"Hamba akan mulai sekarang," katanya dengan nada patuh.
Selama satu jam berikutnya, Han Qiu melakukan persis seperti yang diperintahkan. Ia mengaduk bubur bening itu dengan gerakan monoton. Chef Gao mengawasinya dari kursinya di sudut, matanya tidak pernah lepas.
Pelayan lain bergerak di sekeliling mereka seperti bayangan, tidak berani bersuara. Han Qiu tahu ia tidak bisa melakukan apa pun di sini. Ia butuh pengalih perhatian. Ia butuh tempat lain.
"Chef Gao," katanya tiba-tiba, suaranya sengaja dibuat sedikit gemetar.
"Hamba... hamba merasa perut hamba tidak enak. Mungkin karena masuk angin tadi malam. Bolehkah hamba meminta izin ke dapur obat untuk mengambil sedikit jahe hangat?"
Gao menatapnya curiga.
"Sakit perut?"
"Benar, Chef. Perut hamba melilit. Hamba takut tangan hamba gemetar dan merusak bubur Yang Mulia,
" Han Qiu menekan perutnya, memasang ekspresi kesakitan.
Chef Gao mendengus.
"Lemah. Pergilah. Lima belas menit. Koki Zhang, gantikan dia mengaduk sebentar."
"Terima kasih, Chef Gao!"
Ini dia kesempatannya. Han Qiu bergegas keluar dari dapur utama, tetapi ia tidak pergi ke dapur obat. Ia berbelok ke arah sebaliknya, menuju tempat cucian di bagian paling belakang kompleks dapur. Di sana, di sudut yang jarang dilewati, ada sebuah tungku kecil yang digunakan untuk merebus air untuk disinfeksi kain lap. Tungku itu terlindung dari pandangan dan angin.
Otaknya berputar. Ia punya kurang dari lima belas menit.
Langkah pertama: bahan. Ia tidak bisa mengambilnya dari dapur utama. Terlalu berisiko. Ia berlari ke dapur belakang tempat para pelayan biasa makan. Di tumpukan sampah sisa makanan kemarin, ia menemukan apa yang ia cari: beberapa tulang ayam yang sudah digerogoti tapi masih menyisakan sedikit daging, sepotong kecil jahe yang sudah agak kering, dan beberapa batang daun bawang yang layu.
Bagi Chef Gao, ini adalah sampah menjijikkan. Bagi Han Qiu, ini adalah harta karun.
Ia mencuci semuanya dengan cepat di bawah pancuran air sumur, membersihkannya dari kotoran apa pun.
Langkah kedua: memasak. Ia menyalakan api di tungku kecil itu, menggunakan arang sisa. Ia tidak punya panci yang layak, jadi ia menggunakan mangkuk keramik tebal yang biasa dipakai untuk minum obat. Ia memasukkan semua bahan ke dalamnya, menambahkan sedikit air, lalu menutupinya rapat-rapat dengan sebuah piringan batu pipih.
"Cepat, cepat, cepat," gumamnya pada diri sendiri. Keringat mulai membasahi pelipisnya.
Masalah terbesar adalah aromanya. Kaldu ayam, bahkan yang paling sederhana sekalipun, memiliki aroma gurih yang khas. Aroma yang akan menjadi lonceng kematian jika tercium oleh Chef Gao. Ia melihat tumpukan kain lap basah di dekatnya. Sebuah ide muncul. Ia mengambil beberapa kain lap yang berbau cuka pembersih dan menyampirkannya di sekitar tungku.
Ia berharap bau asam cuka yang tajam bisa menutupi aroma kaldu yang mulai menguar.
Seorang pelayan laundry lewat, hidungnya berkerut.
"Bau apa ini, Xiao Lu? Kau merebus obat?"
"Iya, Kak," jawab Han Qiu cepat, tidak menoleh.
"Obat untuk perutku. Baunya memang mengerikan."
Pelayan itu bergidik dan mempercepat langkahnya.
"Cepat selesaikan. Baunya membuatku mual."
Berhasil. Han Qiu mengintip ke dalam mangkuk. Airnya sudah mendidih dan berubah warna menjadi kuning keemasan pucat. Aroma gurih yang kaya, meski samar, berhasil menembus bau cuka. Ia bisa menciumnya. Aroma kehidupan.
Waktunya habis.
Dengan tangan gemetar, ia mengangkat mangkuk panas itu menggunakan ujung bajunya. Ia harus menyaringnya. Ia tidak punya saringan. Ia merobek sepotong kecil kain dari bagian dalam bajunya yang sudah usang, mencucinya, lalu menggunakannya untuk menyaring kaldu itu ke dalam sebuah cangkir teh kecil yang ia temukan. Cairan emas itu mengalir perlahan, meninggalkan ampas tulang dan jahe di atas kain.
Ia membuang ampas itu kembali ke tumpukan sampah, lalu menyiram sisa-sisa di tungku dengan air hingga benar-benar padam. Tidak ada jejak.
Sekarang ia memiliki sekitar tiga sendok makan kaldu terkonsentrasi. Esensi dari rasa. Senjata rahasianya. Ia menyembunyikan cangkir teh itu di dalam lengan bajunya yang longgar. Panasnya masih terasa di kulitnya.
Ia berlari kembali ke dapur utama, tiba tepat saat Koki Zhang tampak lelah mengaduk.
"Sudah kembali?" tanya Chef Gao dingin.
"Perutmu sudah baikan?"
"Sudah jauh lebih baik, Chef. Terima kasih," jawab Han Qiu, mengambil alih sendok pengaduk.
Bubur itu hampir matang. Teksturnya lembut dan putih seperti susu. Sempurna. Sempurna membosankan.
Kasim Kepala masuk, diikuti oleh dua pelayan muda yang membawa nampan pernis emas.
"Chef Gao, Yang Mulia sudah menunggu sarapannya."
"Siapkan," perintah Gao.
Seorang pelayan mengambil mangkuk porselen putih dengan motif naga biru, mangkuk pribadi Kaisar. Chef Gao sendiri yang mengambil sendok perak besar dan dengan hati-hati menyendokkan bubur dari panci ke dalam mangkuk. Asap tipis mengepul, tidak berbau apa pun selain uap nasi.
Mangkuk itu diletakkan di tengah nampan. Di sampingnya ada piring-piring kecil berisi lauk steril: irisan akar teratai kukus dan rebung rebus.
"Xiao Lu," kata Chef Gao, matanya menusuk.
"Kau yang akan membawanya. Ingat, jika setetes pun tumpah..."
"Hamba mengerti," potong Han Qiu, jantungnya berdegup kencang.
Ini dia. Momennya. Ia memegang cangkir berisi kaldu panas di dalam lengan bajunya. Ia harus menuangkannya ke dalam bubur itu. Tapi bagaimana? Chef Gao berdiri tepat di samping nampan. Kasim Kepala mengawasi dari sisi lain. Semua mata tertuju pada mangkuk suci itu.
Kasim Kepala mengambil penutup perak yang berkilauan, siap untuk menutup mangkuk itu.
"Tunggu," kata Chef Gao tiba-tiba.
Han Qiu membeku. Apa ia ketahuan?
Chef Gao mendekati mangkuk, memiringkan kepalanya.
"Ada sesuatu... di permukaan bubur." Ia menyipitkan mata.
"Ah, hanya gelembung udara." Ia mengambil sendok kecil dan dengan gerakan anggun, memecahkan gelembung kecil itu hingga permukaannya kembali mulus sempurna.
"Sekarang, tutup."
Kasim Kepala mengangguk dan mulai menurunkan penutup perak itu. Waktu Han Qiu hanya tinggal sedetik. Kurang dari sedetik. Ini adalah satu-satunya kesempatannya. Sekarang atau tidak sama sekali.
Di bawah tatapan tajam semua orang, tangannya yang tersembunyi di dalam lengan baju bergerak. Otot-ototnya menegang, siap untuk melakukan gerakan kilat yang akan menentukan segalanya. Cangkir kecil berisi cairan emas itu terasa seperti bom waktu yang siap meledak.