Sebuah desa terpencil di Jawa Tengah berubah menjadi ladang teror setelah tambang batu bara ilegal tanpa sengaja membebaskan roh jahat yang telah tersegel berabad-abad. Nyai Rante Mayit, seorang dukun kelam yang dulu dibunuh karena praktik korban bayi, bangkit kembali sebagai makhluk setengah manusia, setengah iblis. Dengan kekuatan untuk mengendalikan roh-roh terperangkap, ia menebar kutukan dan mengancam menyatukan dunia manusia dengan alam arwah dalam kekacauan abadi.
Dikirim untuk menghentikan bencana supranatural ini, Mystic Guard—tim pahlawan dengan keterikatan mistis—harus menghadapi bukan hanya teror makhluk gaib dan jiwa-jiwa gentayangan, tetapi juga dosa masa lalu mereka sendiri. Dalam kegelapan tambang, batas antara kenyataan dan dunia gaib makin kabur.
Pertarungan mereka bukan sekadar soal menang atau kalah—melainkan soal siapa yang sanggup menghadapi dirinya sendiri… sebelum semuanya terlambat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ningsih Dalam Bahaya
Tanah seperti menjerit.
Dari titik-titik keretakan yang mengelilingi desa Gunung Jati, lima sosok muncul satu per satu. Tubuh mereka mengerikan—kulitnya seperti lapisan tanah liat yang merekah, mata membara seperti bara api terkubur. Salah satu dari mereka bertubuh tinggi dengan tanduk dari akar pohon beringin mencuat dari pelipis. Yang lain menggenggam kepala manusia yang masih berdarah, berayun pelan seperti lonceng kematian.
“Mereka bukan pawang... mereka iblis yang menyamar!” teriak Uwa Dargo ngeri.
Agent Rizaldi sudah berdiri di pintu masuk pesawat, memegang alat pemindai data sambil berteriak ke dalam komunikasi:
“Semua warga sudah masuk! Siapkan penerbangan ke Semarang sekarang juga! Kita harus keluar dari zona kutukan ini!”
Tapi mesin pesawat tak mau hidup.
Lampu indikator berkedip merah. Sistem penggerak seperti dibekukan. Rizaldi memukul panel kontrol.
“Tidak! Sistem terkunci. Sesuatu... menahan pesawat ini dari luar!”
Di luar, pertempuran berubah menjadi neraka.
Taki menahan satu pawang dengan mantra suara berbentuk pusaran yang memotong udara seperti pedang sonik. Namun si pawang hanya menangkisnya dengan tangan yang mengeras jadi semacam batu lava. Dia membuka mulutnya dan menghembuskan kabut tanah merah langsung ke arah Taki, membuatnya terdorong dan membentur tembok rumah warga.
Sasmita memutar tubuhnya di udara, menembakkan peluru mantra ke mata salah satu pawang bertubuh kecil dengan punggung yang dipenuhi tengkorak binatang. Tapi sebelum jatuh, tubuh itu berubah menjadi debu dan muncul kembali dari retakan tanah lain.
“Ini gak akan selesai kalau kita gak tutup sumber kekuatan mereka,” geramnya, kini bersimbah darah di lengan.
Yama, dalam wujud setengah werewolf, menahan dua pawang sekaligus. Salah satunya mencakar dadanya dengan kuku dari serpihan logam berkarat. Darah menetes tapi dia membalas dengan hantaman kimia dari tangannya, membuat kulit si pawang mengelupas, menyembur cairan hitam pekat.
“Kita butuh waktu! Beri mereka waktu kabur!”
Sementara itu, Ningsih dan Uwa Dargo nyaris mencapai tangga pesawat. Tapi dari balik reruntuhan lumbung tua, satu pawang melompat ke arah mereka. Wajahnya tidak jelas, hanya terdiri dari banyak mulut kecil yang terus berdoa dalam bahasa kuno.
Cakar tanahnya meraih Ningsih.
“TIDAAAK!!” jerit Uwa Dargo.
Tangan kasar itu mencengkeram perut Ningsih dan menyeretnya brutal ke tanah, membuat tubuhnya menghantam tanah dan terseret beberapa meter.
“LEPASKAN DIA!!” Sasmita berlari, tapi jalan diblok oleh dua pawang lain yang muncul serentak dari bawah tanah.
Yama menerjang ke arah Ningsih, tapi tiba-tiba satu pawang meledakkan lumpur pekat ke wajahnya, membuatnya terdorong dan membentur pohon.
Ningsih menjerit sekuat tenaga, matanya menatap langit dengan doa. Tapi suara itu teredam oleh tawa nyaring dari pawang yang menyeretnya.
Taki yang mulai siuman dari benturan melihat semua itu, dan matanya berubah. Dia mencabut pena keabadiannya dari sarung tangan dan menggambar simbol "Perlindungan" di udara.
Mantra itu bersinar terang, membentuk kubah pelindung sesaat di sekitar pesawat.
“Rizaldi! Hidupkan paksa sistem pesawat!”
“Sudah kupaksa! Tapi ada kekuatan kutukan yang mengunci sistem navigasi kita!”
“Kalau gitu... kita harus ambil Ningsih! Dia kuncinya!”
Tapi waktu berjalan cepat, dan cengkeraman sang Pawang Tanah Merah pada Ningsih semakin dalam, seolah ingin menenggelamkannya kembali ke rahim tanah kutukan.
Tangan itu kasar. Dingin. Bau tanah basah yang membusuk menempel di seluruh tubuh Ningsih saat ia diseret makin jauh dari tangga pesawat.
“LEPASKAN AKU!” teriaknya, meronta, kukunya mencakar-cakar tanah.
Namun tanah itu hidup. Setiap kali dia menendang, tanah justru menelan lebih dalam. Cengkeraman pawang itu seperti belenggu dari dalam liang kubur—erat, menyeretnya perlahan menuju lingkaran reruntuhan tempat tanah membelah dan menyimpan kegelapan.
Sasmita menerjang tanpa ragu, mantel trench-nya kini sudah sobek, darah menetes dari pelipis. Ia menembakkan peluru mantra beruntun, namun sang pawang tak goyah. Justru tanah di sekitarnya terangkat, menjadi semacam perisai yang menelan setiap serangan.
“Yama, bantu aku! Kita tarik Ningsih! SEKARANG!”
Yama meraung, setengah berubah jadi monster. Otot-ototnya membengkak, matanya merah menyala. Ia melompat dan mencengkeram tangan pawang itu dari belakang, mengerahkan seluruh kekuatan kimianya. Uap biru menyembur dari pori-porinya, membakar sedikit demi sedikit kulit pawang yang seperti tanah liat.
“Tarik sekarang, Sasmita!!”
Sasmita menggenggam tangan Ningsih dengan sekuat tenaga, menarik tubuhnya dari cengkeraman itu. Tapi pawang itu mendesis—tubuhnya terbelah dari dada, memperlihatkan mulut raksasa di dalam tubuhnya, lengkap dengan gigi-gigi batu tajam.
“Dia milik IBU!” makhluk itu melolong.
Dari belakang, pawang lain mulai mendekat.
Di sisi lain lapangan, Taki berlutut di atas tanah, pena emasnya melayang di udara. Di sekelilingnya, simbol-simbol tulisan bercahaya berputar cepat—mantra penghidup navigasi dan pelindung. Rizaldi masih di dalam kokpit pesawat, memukul layar monitor sambil berteriak:
“Cepat, Taki! Mereka akan sampai sini!”
“Aku butuh sedikit lagi waktu! Sistemnya dikunci dengan sihir kematian... aku harus menulis ulang kode realitasnya!”
Tangan Taki bergerak cepat, menulis di udara: “Kode Kehidupan, Navigasi Terbang, Tolak Kutukan.” Setiap tulisan bersinar terang sebelum diserap pesawat.
Di belakangnya, suara ledakan lumpur dan jeritan agent yang terakhir bertahan kini terdiam. Darah menyatu dengan tanah.
Kembali ke medan tarik-menarik, tubuh Ningsih kini setengah diangkat, namun kaki kirinya masih terikat tanah yang hidup. Sasmita nyaris menangis, wajahnya dipenuhi lumpur dan darah.
“Jangan mati di tanganku, Ningsih... bertahan sedikit lagi...”
Yama kini mulai dilemahkan. Tangan werewolf-nya mulai retak—penggunaan serum terlalu lama. “Aku gak bisa... tahan lebih lama...”
Dan saat itu juga, tanah di bawah Ningsih pecah terbuka, membentuk lubang hitam selebar dua meter. Dari dalamnya, suara nyanyian kuno terdengar—merintih, memanggil, memohon pengorbanan.
Wajah Ningsih menoleh, matanya berkaca-kaca. “Aku gak mau jadi bagian dari dia... aku cuma mau hidup normal... tolong aku...”
Tangan Sasmita tergelincir. Ningsih jatuh separuh ke dalam lubang.
Yama menerjang sekali lagi dan menangkap lengan Ningsih di saat terakhir.
“TAKI!!” teriak Sasmita. “NYALAKAN PESAWATNYA!!”
Kilatan cahaya menyambar ke langit—pena emas Taki menggambar simbol terakhir: Pelepasan Penjara Kutukan.
Monitor pesawat menyala hijau. Rizaldi menarik tuas.
Mesin meraung.
Tanah di bawah lubang mulai runtuh.
Yama kehilangan cengkeraman.
Teriakan Ningsih terdengar...