Aku seorang gelandangan dan sebatang kara, yang hidupnya terlunta-lunta di jalanan, setelah ibuku meninggal, hidup yang penuh dengan kehinaan ini aku nikmati setiap hari, terkadang aku mengkhayalkan diriku yang tiba-tiba menjadi orang kaya, namun kenyataan selalu menyadarkanku, bahwa memang aku hanya bisa bermimpi untuk hidup yang layak.
Namun di suatu siang bolong, saat aku hendak menata bantal kusam ku, untuk bermimpi indah tiba-tiba, ada segerombolan pria berpakaian rapi, mereka menyeretku paksa, tentu saja hal seperti ini sudah biasa, aku kira aku kena razia lagi.
Dan ternyata aku salah, aku dibawa ke rumah yang megah dan di dudukan di sofa mewah berlapis emas, karena terlalu fokus pada kemewahan rumah itu.
Tiba-tiba saja aku adalah anaknya, dan besok aku harus menikah dengan duda beranak satu yang tak bisa bicara, untuk menggantikan kakakku yang kabur.
Ayo baca yuk!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vie Alfredo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. Terkejut
Setelah selesai sarapan pukul 10.30 mereka menjemput putra mereka bersama.
Di depan gerbang tampak Badarawuhi dan juga temannya berdiri dengan kondisi kacau, sepertinya suami mereka sudah memberikan pelajaran yang sangat mantap.
"Mama..." Lenard datang memeluk Vania dengan sangat senang.
"Oh putraku sayang." Vania memeluk putranya dengan sangat hangat.
"Maafkan kami." terdengar suara permintaan maaf dari Badarawuhi dan temannya.
"Hem, apa kau dengar suara ghoib Lenard?" tanya Vania.
"Ya mama, itu membuatku merinding." ujar Lenard sambil memeluk tubuhnya.
"Ayo kita cepat kembali ke mobil, takut banget soalnya." ujar Vania.
Badarawuhi menghadang jalan Vania dan berlutut meminta maaf, mereka memohon untuk di maafkan jika tidak mereka tidak bisa pulang ke rumah.
"Maaf ya, aku bukan Tuhan yang maha pemaaf, aku tidak bisa memaafkan orang yang mengatakan anakku bencana, ini tidak hanya untuk kalian berdua tapi juga yang lain, jangan salahkan aku kalau hidup kalian jadi sengsara!" tegas Vania dengan wajah emosinya.
"Tolong, tolong maafkan aku." ujar Badarawuhi, karena memang dia yang memanggil Lenard anak bencana.
Vania pun tetap masuk ke dalam mobil dan pergi meskipun kedua orang itu menangis darah Vania tidak peduli, dalam pengalaman hidupnya yang penuh dengan derita.
"Mama sungguh tidak mau memaafkan?" tanya Lenard.
"Manusia seperti itu sudah banyak Mama temui Lenard, dulu Mama tak sengaja tertabrak oleh orang modelan seperti itu, Mama berdarah - darah, sampai darah Mama mengalir ke ban mobilnya, hanya karena darah Mama mengotori mobilnya Mama yang disuruh minta maaf." ujar Vania.
"Mama ..." Lenard memeluk Vania dengan erat.
"Mama, lalu siapa yang menolong Mama?" Lenard tampak berkaca-kaca.
"Tidak ada, orang sekitar hanya melihat saja, sambil berteriak-teriak, makanya jangan lari - lari dasar anak nakal, miskin, bau, dan menyusahkan." ujar Vania menceritakan hal itu sambil tersenyum.
"Kenapa Mama tersenyum, itu hal yang buruk." ujar Lenard heran.
"Ehm, itu sudah berlalu Lenard, pengalaman hidup itu sangat menarik bukan?" ujar Vania tersenyum.
"Iya, Mama hebat, Ma nanti kalau Lenard sudah besar, Lenard akan melindungi mama dengan baik, tidak ada yang boleh menyakiti Mama, termasuk Papa, aku akan menghajarnya." Ujar Lenard tampak sungguh - sungguh.
Divon mengernyitkan dahinya ketoke mendengar Lenard berbicara seperti itu.
"Wah, enaknya punya anak laki-laki, terimakasih Lenard Mama akan mengandalkan Lenard di masa depan." ujar Vania sangat senang.
"Itu artinya Mama tidak akan pergi meninggalkan Lenard kan?" ujar Lenard dengan polosnya.
Vania terdiam dan terkejut, tanpa sengaja dia membuat janji yang mungkin tidak bisa ia tepati suatu hari nanti, karena Vania ini hanya pengganti dan seorang gelandangan dulunya, Ibu mertuanya baik karena tahu Vania adalah anak yang dititipkan keluarganya di luar negeri.
Jika ibu mertua Vania tahu, mungkin akan mengusir Vania.
"Mama diam saja?" tanya Lenard.
"Ehm, Apa bisa Mama selalu bersama Lenard?, Lenard tahukan pernikahan ini hanya sebatas pernikahan bisnis?, nanti jika Mama melahirkan anak, Lenard dalam ancaman besar, tapi kalau Mama tidak melahirkan anak, mungkin Mama akan segera diusir dari kediaman Sandreas." ujar Vania.
Lenard melihat ke Papahnya.
Karena masih fokus menyetir, Divon hanya mengangguk saja, yang artinya terserah pada mamamu.
"Tidak, mama tidak boleh diusir, kalau mamah diusir, Lenard akan ikut dengan mama." ujar Lenard memeluk Vania dengan erat.
"Mama boleh kok melahirkan anak, Lenard tidak masalah." ujar Lenard.
"Lenard jika aku punya anak kau yang akan terusir, jika aku tidak memiliki anak aku yang diusir." tegas Vania.
"Aku tidak masalah di usir, sejak awal di rumah itu bukanlah tempat ku kan." ujar Vania.
"Hiks hiks hiks ... " Lenard pun bingung harus bagaimana karena keduanya tidak ada yang bisa membuatnya bertahan di sisi Vania.
"Sudah jangan menangis, kita nikmati peran kita saat ini dengan baik, masalah itu nanti kita pikirkan dengan pelan-pelan saja." ujar Vania menenangkan putranya.
"Iya ma." Lenard pun. Tertidur dengan nyenyak di pangkuan Vania.
Sesampai di kediaman, Lenard diambil alih oleh Divon dan di bawa masuk ke dalam kamarnya, rupanya Bella sedang membereskan kamar Lenard.
"Oh astaga Tuan muda tertidur, biar saya gendong Tuan." ujar Bella dengan sangat senang dan mengambil alih Lenard dari Divon.
Divon pun segera pergi ke kamarnya .
"Kenapa kau mengatakan hal itu pada Lenard!" tulis Divon.
"Aku tidak bisa berbohong, lalu aku harus bagaimana suami?, apa aku jahat?" ujar Vania berkaca-kaca.
"Lagian dia masih kecil, dia akan cepat melupakanku, jika sudah ada orang baru!" tegas Vania.
" Kau bahkan tahu kan, dia bukan anak biasa!" tulis Divon.
"Karena itu mungkin dia akan lebih mengerti." ujar Vania.
"Jika nanti Lenard bangun kau harus bilang jika, kalau kau selamat akan bersamanya." tulis Divon.
"Apa itu artinya aku harus menjadi istrimu selamanya?" ujar Vania.
"Pernikahan tanpa Cinta banyak, kau bisa memiliki kekasih tapi kau tidak boleh sampai ketahuan Ibuku." tulis Divon.
"Tidak, selama aku menjadi istrimu aku tidak akan ada hubungan dengan pria lain ." Vania tidak habis pikir dengan pemikiran Divon yang gila.
Benar pernikahan mereka tanpa Cinta, masak iya dia mengizinkan istrinya selingkuh, itu tidak masuk akal sama sekali.
"Ya kalau begitu terserahmu, aku tidak mau Lenard bersedih." tulis Divon.
"Iya aku mengerti." Vania pun menjatuhkan tubuhnya di sofa kamarnya karena merasa sangat lelah dengan banyak hal di hari ini.
Bisakah dia terlepas dari kehidupan yang tidak dia inginkan ini, memang banyak uang enak tapi, kalau tidak bisa melakukan apapun yang kita inginkan serasa hidup dalam sangkar, sedangkan sejak kecil kehidupan Vania bebas menggelandang.
Dalam kesenjangan ini, rupanya aku masih kesulitan dalam beradaptasi.
Dalam hati Vania.
Vania pun tertidur lelap begitu saja, dia tidak memperdulikan Divon masih ada atau sudah pergi, tapi yang jelas, yang setiap hari memindahkan dirinya di ranjang sudah pasti Divon.
Divon tersenyum saat akan memindahkan Vania ke ranjang.
Istrinya yang sekarang ini sangat unik, padahal karakter dan gaya berbicara sangat bertolak belakang dengan mendiang istrinya, namun rasanya mereka mirip.
Namun yang masih dipertanyakan Divon adalah di mana kemiripan itu, padahal berbeda jauh sekali.
"Gadis gelandangan ini sudah meluluhkan hati putraku yang ku dididik sangat keras, agar tidak mudah bersimpati dengan orang lain, tapi baru beberapa hari dengan anak ini, putraku yang tidak pernah menangis, sekarang menjadi sangat cengeng, dia benar - benar perusak parentingku." gumam Divon lirih.
Divon pun segera kembali ke ruang bacanya.
Vania langsung terbangun karena mengetahui kenyataan bahwa suaminya tidak bisu.
"Tadi aku salah dengar kan?, tidak tidak mungkin, aku pasti bermimpi." Namun Vania masih belum yakin itu antara kenyataan atau mimpi karena dia setengah tertidur.