NovelToon NovelToon
Tetaplah Di Sisiku (After 10 Years)

Tetaplah Di Sisiku (After 10 Years)

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintamanis / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Kehidupan Tentara / Romansa / Dokter / Gadis Amnesia
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: Pena Fantasi

Seorang pemuda lulusan kedokteran Harvard university berjuang untuk menjadi seorang tentara medis. Tujuan dari ia menjadi tentara adalah untuk menebus kesalahannya pada kekasihnya karena lalai dalam menyelamatkannya. Ia adalah Haris Khrisna Ayman. Pemuda yang sangat tampan, terampil dan cerdik. Dan setelah menempuh pendidikan militer hampir 2-3 tahun, akhirnya ia berhasil menjawab sebagai komandan pasukan terdepan di Kopaska. Suatu hari, ia bertugas di salah satu daerah terpencil. Ia melihat sosok yang sangat mirip dengan pujaan hatinya. Dan dari sanalah Haris bertekad untuk bersamanya kembali.

Baca selengkapnya di sini No plagiat‼️

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pena Fantasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Rebutan 3 Pria

Joko, pria tua arogan itu, sedang mengamati sebuah foto sembari tersenyum sendiri. Bahkan sesekali ia mencium foto tersebut, menunjukkan betapa ia sangat menyukai wanita di dalamnya. "Hana-ku sayang... kenapa kamu begitu cantik? Bahkan gadis-gadis di sini tidak ada tandingannya. Tunggu aku ya, aku pasti akan mendapatkanmu," ujarnya sembari berkhayal.

Padahal, Joko sudah memiliki tiga istri dengan usia yang berbeda. Istri pertamanya bernama Jaenab, 47 tahun, dengan empat anak—tiga laki-laki dan satu perempuan. Istri keduanya bernama Atika, 40 tahun, memiliki dua anak perempuan. Dan yang terakhir, Siti Badriah, 35 tahun, istri termuda dengan satu anak laki-laki berusia tujuh tahun.

Namun, Joko seakan tak pernah puas. Ia masih mengincar Hana, kembang desa di desa itu. Semua pria ingin meminangnya, termasuk Joko. Ia bahkan secara terang-terangan ingin menikahi gadis yang lebih cocok menjadi anaknya itu. Berkali-kali Hana menolaknya, dari lembut hingga membentak, tetapi hal itu tak membuat Joko gentar. Semakin Hana menolak, justru semakin meningkat rasa suka Joko terhadapnya.

Jaenab, istri pertama Joko, hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala mendengar perkataan suaminya. Ia sudah lelah terus-menerus dimadu seperti ini. Namun, karena tidak ingin hidup miskin, ia rela jika Joko menikah lagi. "Kamu ini kenapa sih, Pa? Lihat foto sampai segitunya? Lagipula Hana itu masih muda, dia lebih cocok sama anak kamu dibandingkan kamu!" protes Jaenab.

Joko menatap tajam istri pertamanya itu. "Heh, nenek tua! Jangan pernah mengajariku ya! Aku itu tampan, banyak yang mengantre ingin dinikahiku. Aku ingin menikah lagi karena aku bosan dengan kalian semua. Aku butuh daun yang masih muda untuk menyegarkanku. Aku tidak butuh nenek-nenek peyot seperti kalian, sudah tidak nafsu!" bentaknya pada Jaenab.

Jaenab yang tidak terima dengan hinaan itu, menatap suaminya dengan tajam. "Kamu anggap aku apa, Pa?! Aku ini istri kamu! Aku capek karena tingkah kamu itu. Aku juga ingin dapat kasih sayang dari kamu. Semenjak kamu nikah lagi, kamu sudah tidak peduli denganku, Pa!"

"DIAM KAMU! Aku tidak peduli dengan kalian semua. Yang aku pedulikan adalah kesenanganku. Sebentar lagi Hana akan menjadi milikku. Kalian bertiga harus bisa menerima dan melayani Hana-ku dengan baik," tegasnya.

Joko pun mengambil peralatannya seperti biasa dan pergi dari sana. Sebelum itu, ia menatap sang istri dengan tajam. "Kamu jangan pernah mencampuri urusanku. Urusi urusanmu sendiri. Jika kamu tidak menurut, akan kuceraikan kamu, biar hidup jadi gelandangan!" ancamnya. Lalu, ia pun pergi keluar rumah dengan dikawal oleh kedua pengawalnya.

Jaenab hanya bisa menangis pilu. Suaminya sudah benar-benar hilang kendali. Ia tak sanggup harus menerima kenyataan jika Joko akan menikahi gadis yang jauh di bawah umurnya.

Melihat istri pertama menangis, Atika dan Siti pun mendekatinya. "Teh... Teteh kenapa nangis?" tanya Siti.

"Teteh kesal sama A' Joko. Kenapa dia ingin menikah lagi padahal sudah punya kita," jawab Jaenab.

"Memang siapa, Teh, yang ingin dinikahi A' Joko?" tanya Siti, istri muda.

Jaenab menghapus air matanya. "Hana, anaknya Minarsih."

Mendengar itu, mereka berdua sangat syok dan terkejut. "Ya ampun, Teh... yang benar? Hana kan umurnya jauh banget sama kita, Teh, apalagi sama A' Joko," ujar Atika.

"Pasti si Hana itu sudah godain A' Joko, Teh, makanya dia mau nikahin dia. Secara dia kan hidup miskin," ujar Siti.

Mendengar itu, Jaenab berpikir sejenak. "Benar juga... tidak mungkin jika tidak ada asap tapi tidak ada api. Mungkin memang si Hana itu gatal jadi A' Joko tergila-gila sama dia," batin Jaenab yang emosi.

"Bagaimana, Teh? Apa yang aku bilang benar, kan?" ujar Siti.

Jaenab menatap Siti dengan serius sembari mengangguk. "Kamu benar... pasti si Hana itu sudah godain suami kita. Aku tidak rela jika A' Joko menikah lagi. Bisa-bisa dia jadi nyonya, kita semua jadi babunya dia," ujar Jaenab menggebu.

Seketika Siti dan Atika berubah menjadi marah. "Ish... tidak mau aku kalau jadi babu. Aku juga tidak terima!" ujar Atika.

"Iya, Teh... kita harus usir Hana dari kampung kita," timpal Siti.

"Kalian harus bantu Teteh ya... pokoknya Teteh punya cara supaya Joko membenci Hana," ujar Jaenab menyeringai.

***

Suasana pagi yang cerah memang sangat cocok untuk memulai aktivitas. Seperti biasa, di pagi hari Hana menyapu halaman rumah agar tetap bersih dan nyaman. Wajah cantiknya yang sederhana dihiasi dengan senyuman, nampak indah dilihat mata.

Sembari bersenandung kecil, ia pun menyapu seluruh kotoran yang ada di halaman rumahnya.

"Halo, Cantik," sapa seseorang.

"Haaa!" Seketika, ia dibuat terkejut oleh kedatangan pria di depannya dengan mengenakan baju olahraga khas tentara. Siapa lagi jika bukan Haris. Haris memulai aktivitasnya dengan olahraga pagi. Berhubung ia belum memasuki jam kerja, ia menghampiri Hana untuk sekadar mengunjunginya.

"Kamu ini bikin kaget saja!" keluh Hana.

"Maaf, hehehe... Baru selesai nyapu?" tanya Haris.

Hana mendengus kesal. "Menurut kamu? Aku habis ngasih ayam makan? Hah?" kesalnya, dan Haris pun tertawa.

"Sudahlah, aku mau masak. Eh iya, kamu mau aku bikinin kopi?" tawar Hana.

Seketika Haris berbinar mendengarnya. "Benarkah? Boleh memang?"

"Boleh dong... Kamu kan tamu. Kamu duduk saja di bale (kursi kayu) ya..."

"Oke... Maaf merepotkan."

Hana pun masuk ke dalam untuk memasak sarapan dan juga membuatkan Haris segelas kopi. Haris menunggu di bale atau kursi kayu yang sudah disediakan di sana, sembari melihat suasana pagi. Kapan lagi ia bisa merasakan kopi buatan "pacarnya" itu, meskipun Hana sendiri belum mengingat siapa sebenarnya dirinya.

Setelah menunggu lima menit, Hana pun keluar dengan secangkir kopi di tangannya.

"Ini kopinya..." ujar Hana sembari tersenyum manis.

"Makasih ya..."

"Maaf ya, aku harus masak dulu. Emak kan harus sarapan pagi biar bisa minum obat."

Mendengar itu, Haris hanya tersenyum. "Iya, gak apa-apa."

Hana pun berbalik masuk ke dalam rumahnya, meninggalkan Haris sendirian. Untuk mengobati kebosanan, ia mengeluarkan ponselnya dan memotret kopi sebagai kenangan yang ia terima dari Hana. Jarang-jarang gadis itu bersikap baik padanya.

Lalu, Haris pun meminum kopi yang masih lumayan panas itu. Setelah merasakan kopi tersebut, Haris tercengang. Ini benar-benar persis seperti buatan tangan Nahda dulu. Seketika Haris tersenyum bahagia, akhirnya ia bisa merasakannya lagi.

Karena penasaran, Haris pun memasuki rumah secara perlahan, meskipun mulutnya sudah berkata permisi. Saat ia melihat dapur, di sana ada Hana yang tengah memasak dengan serius. Wajahnya penuh peluh, gadis itu tampak bersemangat menghidangkan makanan. Tak mau meninggalkan momen tersebut, Haris memotret beberapa kali saat Hana fokus memasak.

Setelah itu, ia menghampiri Hana untuk sekadar membantu. "Halo, Hana..."

"Eh... kamu kok ke sini? Nanti gerah lho... panas soalnya," ujar Hana.

Lagi-lagi Haris tersenyum. Rupanya gadis "garang" itu sangat perhatian. (Ya iyalah, orang itu pacarnya kok, cuma lagi kehilangan identitas saja, haha.)

Haris lagi-lagi memperhatikan gadis itu yang sedang menata makanan ke dalam piring.

"Kamu kalau lagi masak, cantiknya nambah ya," goda Haris.

Hana yang mendengar itu syok dan menoleh cepat ke arah Haris. "Jangan menggodaku!"

"Serius tahu... Kamu nambah cantik kalau lagi masak."

Seketika senyum Hana pun terbit. "Terima kasih atas pujiannya." Ia pun meletakkan sajian tersebut ke atas nampan.

"Aku mau antar makanan dulu ke Emak ya."

"Iya, silakan."

Haris benar-benar tidak menyangka, sifat perhatian dan kebaikan gadisnya itu tidak pernah berubah dari dulu. Sifat yang lebih mementingkan kebahagiaan orang lain sangat terlihat jelas pada dirinya. Haris hanya menghela napas dikarenakan harus bersabar untuk menunggu Nahda pulih seperti semula.

"Kamu mau sarapan di sini?" tanya Hana saat memasuki dapur kembali.

"Kalau kamu izinkan, saya mau... Kebetulan saya juga belum sarapan," ujar Haris jujur. Memang benar jika ia kemari dalam keadaan perut kosong.

Tiba-tiba dering ponsel menyala keras. Dan itu membuat mereka berdua terkejut.

"Maaf, saya angkat dulu ya," ujar Haris yang dibalas anggukan oleh Hana.

"Halo, Ri... Ngapain lu telepon gue sih?! Ganggu saja!" dumel Haris saat Fahri menelepon. Padahal ia ingin berdua dengan Hana tanpa diganggu.

"Lu di mana? Cepat ke markas... Mau apel pagi," perintah Fahri.

"Gue izin dulu deh... Mau makan masakan ayang soalnya," bisik Haris.

"Tai lu... Bisa-bisa lu bucin, ya... Cepat kemari! Gue gak mau kena hukum ya karena lu gak ada!" balas Fahri.

Haris menghela napas kesal. "Iya, iya, ah... Entar gue ke sana."

"Cepat tapi!"

"Iye... Bawel amat lu."

Telepon pun terputup, menampilkan wajah kesal Haris. "Ganggu aja," gumamnya kesal.

Lalu, pandangan Haris jatuh pada Hana kembali. "Eumm, Hana... Kayaknya saya tidak bisa sarapan di sini. Ada apel penting soalnya... Maaf ya."

"Oh, gitu... Gak apa-apa. Mau aku bungkusin saja?" tawar Hana.

"Hah??"

"Iya, dibungkus, jadi buat bekal kamu? Mau gak? Kalau mau aku bikinin."

Lagi-lagi Haris tersenyum senang. "Boleh... Terima kasih."

"Tapi pakai kertas nasi gak apa-apa?"

"Gak apa-apa... Maaf merepotkan ya."

Lalu Hana kembali menyusun makanan ke dalam bungkusan itu. Haris yang tidak ingin mengganggu kembali ke depan dan menunggunya di sana. Tak lama kemudian, Hana keluar dengan membawa bingkisan di tangannya.

"Ini bekalnya."

"Eh, makasih..."

"Iya, sama-sama... Jangan lupa dihabisin ya."

"Pasti! Kalau gitu, saya pamit ya... Makasih bekal dan kopinya... Salam untuk Emak... Dah, Hana."

"Dahhh... Hati-hati ya."

Sepertinya hubungan Hana dan Haris mulai membaik, tidak seperti awal mereka yang seperti kucing dan anjing bertengkar terus setiap bertemu. Hana pun sudah terbiasa dengan Haris di sampingnya. Entah kenapa, ia justru sangat nyaman jika ada Haris di sisinya. Setelah melihat Haris pergi, Hana pun kembali masuk ke dalam rumah untuk bersiap ke kebunnya. Kali ini ia akan bekerja dengan sahabatnya, Puput.

Dan tanpa disadari, ada sepasang mata yang melihat keakraban mereka berdua. Orang itu adalah Amir. Dia datang ke rumah Hana untuk memberikan sebuah kebaya yang ia belikan saat festival di desa sebelah. Namun, saat ia bersemangat menuju ke tempat Hana, semangat itu runtuh ketika melihat Hana dan Haris sedang berduaan, bahkan ia melihat Hana memberikan bekal pada pria itu.

Melihat itu, Amir merasakan sakit yang luar biasa di hatinya. Bagaimana tidak, ia sangat mencintai Hana lebih dari dirinya sendiri. Melihat itu, ia pun merasa kecewa yang mendalam. Seketika, Amir pun pergi dari kediaman Hana dan membawa kebaya itu kembali ke rumahnya.

"Hana... Sekarang kamu kok dekat banget sama Pak Haris ya? Padahal dulu kamu ogah banget sampingan sama dia," ujar Puput pada Hana sembari melakukan pekerjaannya di kebun.

"Aku dan dia kan berteman, Put... Jadi ya wajar saja dekat," jawab Hana.

Puput pun menaruh hasil panennya di tempat pengumpulan. "Tapi kamu merasa aneh gak sih? Pak Haris kalau ke orang lain itu cuek banget, bahkan ke aku, Han... Tapi kalau ke kamu itu perhatian banget."

Hana masih berusaha berprasangka baik. "Ya karena aku temannya, makanya dia baik sama aku, Put."

Puput pun kesal akibat Hana yang tidak pernah peka akan omongannya. "Ih, bukan... Maksudnya kayaknya Pak Haris itu suka sama kamu... Buktinya dia perhatian. Kamu tuh, Hana, belajar peka dikit sama perasaan lelaki, coba!"

"Kayak kamu tidak gitu saja, Put... Sudah, ah, lanjut kerja lagi," elak Hana.

"Ya Tuhaaannn," batin Puput sangat kesal.

Sementara Puput hanya menghela napas kasar. Ia sudah tak bisa berkata apa-apa lagi karena kesal Hana yang tidak paham akan ucapannya. Membahas cinta pada Hana bagaikan air dan minyak, tidak bakal bisa menyatu. Begitulah Hana. Dia tidak bakal paham. Yang ada, dia justru mengaitkannya dengan hal yang tidak masuk akal.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!